Episode 5 : Permohonan Rarendra
***
“Beri aku waktu! Beri aku kesempatan untuk memperbaiki hubungan kita!”
“Yang mau Mas perbaiki apa? Kan aku sudah mundur. Aku beneran ikhlas. Tapi kalau Mas minta aku tetap bertahan di antara kalian, … maaf, Mas, aku beneran enggak bisa. Aku enggak sebaik itu. Bahkan aku yakin, Mas jauh lebih tahu. Mas tahu aku lebih dari siapa pun.”
Dering telepon masuk yang terdengar dari tote bag, mengalihkan fokus Sasmita. Sasmita segera meraih ponselnya dari dalam tote bag. Ia sampai kesulitan lantaran Rarendra tetap mempertahankan cekalannya.
Dari nomor baru dan ternyata sopir ojek online yang mengabarkan sudah menunggu di depan perusahaan.
“Oke, Pak. Sebentar lagi saya sampai depan.”
“Kita pulang,” ucap Rarendra tak lama setelah Sasmita mengabarkan kedatangannya kepada sopir ojek online.
Sasmita menatap bingung Rarendra. “Iya. Aku juga mau pulang. Ojek pesananku sudah nunggu di depan.”
“Ta … kita bahas semuanya di rumah saja.” Rarendra benar-benar memohon.
Sasmita menepisnya dengan gelengan cepat. “Enggak, Mas. Semuanya terlalu mengerikan. Aku beneran ingin hidup tenang. Sudah, Mas. Lepas.”
Rarendra menggeleng, masih menatap Sasmita dengan sangat memohon.
“Enggak semudah itu, Mas. Aku benar-benar butuh waktu buat sendiri. Aku ingin sendiri. Kalian banyak, dua keluarga bahkan mungkin lebih, sedangkan aku hanya sendiri. Sementara janji, … janji selalu dengan mudah diingkari.” Sasmita menghela napas dalam. “Aku mohon, … aku beneran ingin hidup tenang. Aku enggak mau egois menjadi penyebab luka-luka kalian, bahkan lukaku sendiri.” Tanpa kembali berucap, kali ini Sasmita sengaja menggunakan tangannya yang bebas untuk melepas paksa, cekalan tangan Rarendra.
Sasmita berlari ke depan tanpa kembali menoleh apalagi menatap Rarendra. Sasmita tidak mau berharap, apalagi janji dan kesempatan tetap bisa dikhianati, seperti apa yang beberapa saat lalu ia tegaskan kepada Rarendra.
****
Dua hari kemudian ….
“Butuh berapa hari lagi?”
Sasmita dikejutkan oleh kehadiran Rarendra yang ternyata menunggu di depan ruang kerja Sasmita.
Dua hari telah berlalu dan selama itu, mereka tak ubahnya orang asing yang meski bertemu, tidak akan bertegur sapa. Hanya sesekali melirik dan itu saja tidak pernah bertemu karena keduanya tidak pernah melakukannya dalam waktu yang sama.
“Kita pulang,” lanjut Rarendra.
Beruntung, sebagai karyawan baru, Sasmita selalu menjadi karyawan terakhir yang keluar dari ruang kerja, karena Sasmita harus menyelesaikan tugas tambahan dari para seniornya. Jadi, obrolan kali ini terbilang cukup bebas terlebih suasana di sana juga terbilang sepi, dan sepertinya memang hanya tinggal Sasmita dan Rarendra.
Sasmita tidak mengerti maksud Rarendra, padahal Sasmita berpikir, Rarendra sudah benar-benar melepaskannya. Bahkan sebenarnya, diam-diam Sasmita sedang menunggu surat cerai dari Rarendra.
“Ta … aku beneran minta maaf.”
“Sebelum Mas minta maaf, aku sudah maafin Mas, kok.”
“Bukan hanya itu, karena aku beneran minta kesempatan, Ta.”
“Ke-sem-patan?” Sasmita mengernyit, menatap Rarendra tak mengerti.
Rarendra mengangguk sambil menatap serius Sasmita.
Sasmita bingung dan tak kuasa menjawab. Sasmita memang sangat mencintai sekaligus menghormati Rarendra. Namun di lain sisi, Sasmita takut dan memang telanjur trauma. Perselingkuhan yang dilakukan oleh pasangan memang selalu bisa terjadi di setiap kesempatan itu ada, tanpa memandang dengan siapa, karena orang-orang terdekat kita juga bisa menjadi pelakunya. Namun, apakah kesempatan bisa membuat mereka jera dan jauh lebih menghargai kita?
“Aku akan membahas ini dengan keluarga kita. Aku enggak bisa tanpa kamu. Beneran, aku enggak bisa tanpa kamu,” ucap Rarendra lagi sambil terus menatap Sasmita yang justru menjadi menunduk.
“Ta?”
Sasmita memejamkan kedua matanya kemudian menggeleng. “Aku masih butuh waktu, Mas!” Emosinya campur aduk. Namun, ia masih berusaha menghargai Rarendra sebagai orang yang ia cintai dan pernah membuatnya bahagia, meski luka yang pria itu berikan juga membuatnya trauma, bahkan hingga detik ini.
“Sampai kapan?”
“Aku kurang tahu ….”
“Aku tahu kamu tinggal di mana.”
“Kalau gitu, harusnya Mas tahu, tinggal di sana, aku baik-baik saja.” Sasmita masih belum menatap Rarendra.
Rarendra mengangguk-angguk paham seiring ia yang terpejam pasrah. “Ya sudah, aku antar kamu ke sana, kalau memang, di sana kamu merasa baik-baik saja.”
“Enggak usah, Mas. Aku sudah pesan ojek. Aku sudah biasa kok, ngelayab sendiri. Aku bukan Mbak Suci yang dikit-dikit harus diantar bahkan dikawal. Ya sudah, Mas ... sebentar lagi ojeknya sampai. Enggak enak takut tukang ojeknya nungguin.” Setelah buru-buru meninggalkan Rarendra, Sasmita juga sampai berlari sambil mendekap erat tote bag warna hitam yang menghiasi pundak kanannya.
“Tuhan, … aku beneran enggak mau berharap. Jadi aku mohon, jangan biarkan aku tergoda lagi sama Mas Rara!” batin Sasmita.
****
Hari ke tiga dari penolakan yang Sasmita lakukan dua hari yang lalu, Rarendra masih rutin menyambangi kontrakan Giani. Biasanya, Rarendra masih mengenakan pakaian yang sama, di mana Sasmita yakin, Rarendra memang belum sempat pulang di setiap pria itu datang dan akan pulang setelah Sasmita temui.
“Kasihan sih lihatnya. Kelihatan usaha banget. Aku juga sudah minta Adi buat diam-diam mengawasi gerak-gerik Rendra dan Suci. Untuk saat ini, semuanya aman.” Giani sengaja berbisik-bisik di sebelah Sasmita.
Sasmita sendiri duduk di tikar yang menjadi alas sekitar tempat tidur. Wanita cantik yang akhir-akhir ini mengeluhkan keadaan rambutnya yang mendadak mengalami rontok parah itu masih berkutat dengan laptop, menyelesaikan pekerjaan yang sungguh menguras waktu Sasmita akhir-akhir ini.
Setelah hanya diam, Sasmita menatap Giani yang masih mengenakan seragam kerja. Giani merupakan seorang SPG di salah satu pusat perbelanjaan ternama. Cantik, begitulah parasnya, tak berbeda dengan hatinya yang dipenuhi ketulusan kendati Giani terbilang galak.
“Beberapa hari terakhir, semenjak Mas Rara bilang, Mas Rara enggak bisa tanpa aku, aku memang enggak pernah lihat Mbak Suci datang ke kantor lagi.”
“Jadi memang rutin gitu, yah, datangnya? Apalagi ternyata tempat kerja mereka dekat! Siiit! Berasa minum obat yang harus selalu rutin bahkan tepat waktu!” Giani tak kuasa menyembunyikan kebenciannya terhadap Suci. “Bisa-bisanya ipar sendiri diembat! Rarendra juga kebangetan!”
Sasmita menunduk pasrah.
“Ya sudah, … kalau kamu memang masih cinta Rarendra, kamu kasih dia kesempatan. Tapi kamu harus tegas, harus posesif juga. Intinya, jangan sampai kasih kesempatan siapa pun deketin Rarendra! Kamu tahu-lah, maksudku, apalagi saudaramu saja tega!”
“Aku masih bingung, Gi. Aku rasa, … apa yang aku miliki sekarang, sudah membuatku lebih dari nyaman. Bahkan kalau sudah gajian, rencananya aku mau cari tempat tinggal.”
Melihat Sasmita yang terlihat sampai lemas karena kebingungan, Giani merasa tidak tega. Sungguh, bisa ia pastikan, Sasmita benar-benar trauma.
“Kalau Rarendra beneran ngajak kamu ketemuan sama keluarga kalian buat beresin masalah kalian, … kamu, siap?” Kali ini, Giani bertanya dengan sangat hati-hati.
Selain refleks menunduk sambil menghela napas, kali ini air mata Sasmita juga mengalir, menuangkan kesedihan sekaligus kepedihan yang selama ini ditahan.
“Berat banget rasanya. Sakit, Gi!” pekik Sasmita dengan suara yang nyaris tak terdengar dan terlampau sengau.
Giani mengangguk-angguk paham. Ia merangkul Sasmita dan menepuk-nepuk pelan punggung sahabatnya itu.
“Aku ingin bebas, aku berharap Mas Rara lepasin aku. Tapi jujur, aku masih sayang. Aku sayang banget sama Mas Rara. Mas Rara satu-satunya orang yang pernah bikin aku merasa berharga. Apalagi kamu tahu sendiri, dari dulu bahkan sampai saat ini, aku enggak bisa sebaik apalagi lebih baik dari mbak Suci! Enggak hanya dari prestasi maupun pekerjaan, tapi juga penampilan.”
“Sudah, Ta. Sudah. Yang sudah-sudah jangan diingat lagi. Yang ada kamu bisa semakin sakit hati. Sudah, biarkan saja Rarendra dan Suci! Kamu terlalu berharga untuk orang seperti mereka.”
“Akhir-akhir ini aku sering berpikir untuk menghilang saja dari Mas Rara dan keluarga kami. Aku berpikir, menghilang merupakan satu-satunya cara lepas dari keadaan kini, apalagi kamu tahu sendiri, meski aku sudah bilang ikhlas asal Mas Rara menceraikan aku lebih dulu, nyatanya Mas Rara enggak mau lepasin aku. Tapi masalahnya, seandianya aku menghilang, apakah semuanya benar-benar akan hilang? Apakah aku benar-benar bisa bebas, Gi?” Sasmita menatap kosong ke dinding yang ada di hadapannya. Air matanya terus berlinang meski isak tangis tak lagi terdengar.
“Kebebasan apa yang kamu inginkan, Ta?” Giani menatap khawatir sahabatnya. Giani takut, Sasmita yang tengah berada di titik nadir kehidupan, nekat melakukan tindakan yang berakhir fatal dan bahkan kematian.
“Aku sempat mencoba bunuh diri, tapi nyatanya aku justru semakin sakit karena lenyap tidaknya aku dari kehidupan, semua itu belum tentu bisa mengubah keadaan. Dan kini aku sadar, alasan Tuhan memberiku cobaan ini, karena Tuhan ingin melihatku semakin menjadi lebih baik lagi.” Sasmita menunduk pasrah. Sepasrah perasaannya saat ini.
Akan tetapi, apa yang Sasmita katakan sukses membuat Giani tak bisa berkata-kata. Giani terdiam lemas dan berakhir sempoyongan terduduk di hadapan Sasmita.
Bersambung ....