Aku meminta maaf pada Ardika dan mengatakan kalau aku memesan dimsum tanpa udang. Aku ingin mengatakan padanya, tapi aku tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan. Ardika acuh, dia diam saja. Jujur melihat Ardika, dia terlihat sangat kesepian hingga bekerja selalu menjadi pelariannya—yang mampu membangkitkan kembali semangatnya. Mungkinkah dia pernah dikecewakan sebelumnya hingga begitu tertutup? “Mas, aku dimaafin nggak?” tanyaku hati-hati dan dia hanya menyahut seraya berdehem. “Kamu nggak mau minta maaf juga? Aku kesakitan tiap kamu bersikap kasar.” Entah keberanian dari mana aku mengatakan itu. Padahal aku tahu setelah ini dia akan semakin mencak-mencak. Namun ternyata tidak, Ardika tetap diam seribu bahasa. Dia sudah mengganti pakaiannya dan bersandar di sandaran kasur memainkan po