Selalu Berprasangka Buruk

1157 Kata
Ardika tidak setuju, dia tidak ingin titahnya dibantah. Alhasil, aku pulang ke apartemen diantar Pak Bram. Aku khawatir dengan kesehatan papa Prastyo, ayah Ardika. Jiwa dokterku tak tenang saat mendengar seseorang sakit, rasanya ingin segera menanganinya. Namun, tentu keluarga Ardika memiliki dokter pribadi, ‘kan? Aku membersihkan diri dan merebahkan tubuh lelahku di atas kasur hingga akhirnya terlelap. Aku bangun menjelang waktu makan malam dan tergerak untuk memasak, tapi kulihat kulkas kosong. Segera, aku mengambil cardigan dan dompetku, lalu turun ke swalayan di lantai bawah. Sebelumnya aku menghubungi Pak Bram dan memberitahunya bahwa aku akan pergi ke swalayan yang berada di gedung yang sama dengan apartemen ini. Apartemen ini berada di atas sebuah pusat perbelanjaan yang sangat lengkap. "Masak apa ya," gumamku pada diri sendiri. Aku menelusuri seluruh swalayan sambil berbelanja bulanan. Aku akan mengisi dapur Ardika yang sepi dan sunyi. Puas berbelanja, aku melangkah untuk membeli dimsum, makanan yang selalu enak dinikmati kapan saja. Setelah memasak makan malam, aku duduk di meja makan dan menyantap spaghetti favoritku dan Farhan. Sebentar, aku terdiam sejenak ketika pikiranku teringat pada Farhan. Aku melihat ke arah dapur yang berantakan akibat aktivitas memasakku. Biasanya, aku yang memasak dan Farhan yang merapikan serta membersihkan apartemen. Aku tersenyum kecut, menggeleng, lalu melanjutkan makan malamku. "Ada apa dengan dapurku? Kenapa porak poranda begini?" Aku mengangkat pandanganku dan mendapati Ardika berdiri tak jauh dariku mengembuskan napas kasar. Apakah dia ini titisan ninja? Aku sampai tidak mendengar kedatangannya. "Maaf, setelah makan aku akan merapikannya—" "Wajib! Itu ulahmu!" ucapnya tak senang. Mata Ardika jatuh pada spaghettiku yang tinggal satu suapan lagi. "Ah, kamu sudah makan malam? Mau aku buatkan—" Aku terhenti karena tatapannya yang tajam seolah sangat tidak menyukaiku. Aku pun menggeleng, seolah tahu arti tatapannya. "Tidak mau, ya? Kalau dimsum, mau?" tanyaku lagi. Ardika menatapku dalam dan tidak berkedip. Dia melangkah maju, menarik rahangku, dan menekannya keras. "Kamu ingin membunuhku, hah?" desisnya penuh penekanan. "Sekalipun aku mati, harta yang aku miliki tidak akan jatuh padamu, Sya," lanjutnya. Aku menepis kasar tangannya hingga terlepas. "Jangan kebanyakan berprasangka buruk! Kalau tidak mau, tinggal bilang saja. Kenapa harus sekaku itu sih?" kesalku. Aku melanjutkan suapan terakhir makananku dan segera beranjak ke dapur untuk merapikannya. “Nggak asik,” seruku ketika melewatinya. *** "Kamu akan dijemput Hendra, supir khusus untukmu," ujar Ardika sebelum aku turun dari mobil. Aku mengangguk paham. Hari ini, aku akan kembali bekerja. Aku diantar ke rumah sakit oleh Ardika dan Pak Bram. "Lalu, haruskah aku menghubungi kamu melalui Pak Bram? Bukankah sekarang kita—" "Jangan membantah, Asya. Kenapa kamu selalu membantah? Sesulit itukah mengikuti arahanku?" Aku mengembuskan napas kasar dan segera turun. "Marah? Kamu pikir aku akan membujuk—" Aku menutup pintu mobilnya dengan kasar dan berlalu masuk ke rumah sakit. Sesederhana itu saja, Asya menjadi istri Ardika, duduk manis menyandang status tanpa perlu usaha lebih, batinku. "Ok, siapa takut," ucapku penuh semangat pada diri sendiri. Aku menghela napas panjang saat melangkah memasuki rumah sakit. Aroma antiseptik yang khas segera menyeruak ke hidungku, membangkitkan kembali semangat akan rutinitas yang sudah kutinggalkan sejenak untuk menikmati honeymoon—eh, tidak, liburan. Liburan yang memang menyenangkan. Kini tiba waktunya kembali ke dunia yang kucintai—dunia medis, tempatku mengabdikan diri sebagai seorang dokter bedah saraf. Hari pertama kembali bekerja, jadwalku padat. Sejak pagi, aku sudah sibuk dengan berbagai persiapan operasi dan konsultasi pasien. Namun, ada satu hal yang mengganjal di benakku, Farhan. Dia tidak terlihat. Aku sudah mencari dan bertanya kepada semua penghuni rumah sakit, tetapi tak satu pun yang mengetahui keberadaannya. Rasa penasaranku semakin menjadi-jadi. Kenapa mereka semua seolah acuh tak acuh ketika aku menanyakan keberadaan Farhan? Setiap kali aku bertanya, mereka hanya mengangkat bahu atau memberikan jawaban yang tidak memuaskan. "Rindu, ya? Telepon dong, ayangnya," kata salah satu rekanku menggoda. Aku memutuskan untuk bertanya langsung kepada pihak administrasi. Dengan harapan mendapatkan jawaban, aku mendatangi meja resepsionis dan berbicara dengan seorang staf administrasi. Namun, lagi-lagi aku tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. "Maaf, Dok. Kami tidak bisa memberikan informasi pribadi dokter Farhan kepada siapa pun. Ini adalah kebijakan rumah sakit." Aku mengangguk paham. Aku tertawa sumbang. Bukankah ini yang aku inginkan—melupakan dan dilupakan oleh Farhan? Setelah tidak mendapatkan informasi apa pun dari administrasi, aku kembali ke ruang dokter untuk mengemasi barang bawaanku dan segera pulang. "Sya." Aku menoleh dan mendapati Ganda mendekat, lalu duduk di hadapanku. "Benar kamu sudah menikah?" Aku melihat sekeliling, lalu mengangguk membenarkan pertanyaan Ganda. Dia adalah salah satu temanku sejak PPDS, sama seperti Farhan. Namun, aku lebih dekat dengan Farhan daripada dengan Ganda yang lebih suka menyendiri. Ganda tampak gusar mendengar jawabanku. Dia mengembuskan napas panjang. "Bagaimana dengan Farhan?" tanyanya. "Tidak bagaimana-bagaimana. Kami tetap berteman seperti sebelumnya," jawabku enteng. "Lalu, kenapa pernikahanmu dirahasiakan?" tanyanya lagi seolah tak puas dengan jawabanku. "Bukan dirahasiakan, Ganda. Kami hanya membuat acara sederhana, yang penting sah—" "Kamu mencintai lelaki itu?" tanya Ganda, memotong kalimatku. Aku membeku. Untuk saat ini, tidak. Bisa jadi nanti iya. Begitu ‘kan? Katanya cinta akan datang karena terbiasa. Semoga saja. "Kamu tahu aku selalu mendukung apa pun pilihanmu." Aku tersenyum seraya mengangguk paham. Saat aku menanyakan dari mana dia tahu perihal pernikahanku—padahal aku tidak mengundang satu pun temanku, bahkan saudaraku—Ganda merahasiakan informannya. Aku pun tidak mengambil pusing akan hal itu. Begitu keluar dari pintu utama rumah sakit, aku melihat Pak Bram berdiri di dekat mobil Ardika dan mengangguk sambil tersenyum. "Loh, katanya aku akan dijemput supir," ucapku pada diri sendiri sambil berjalan mendekati mobil yang terparkir tidak begitu jauh. Pak Bram membuka pintu untukku dan Ardika ada di dalam, menatap lurus ke depan. "Bukannya tadi kamu bilang aku akan dijemput supir?" tanyaku begitu masuk. "Tidak tahu diuntung. Harusnya kamu bersyukur saya masih menyempatkan waktu saya yang berharga ini untuk menjemputmu," ketusnya. "Haruskah aku berterima kasih?" Ardika menoleh ke arahku dan menatapku tajam. Dering dari ponsel Ardika mengalihkan perhatiannya. Dengan cepat, dia menerima panggilan tersebut dengan menekan earphone yang sejak tadi menempel di telinganya. "Sialan!" bentaknya, membuatku membeku. "Bilang padanya kalau perlu tidak usah kembali. Dia kira dia sepenting itu? Carikan dokter lain untuk menjaga Papa," pintanya di akhir sambungan telepon dan melempar earphone-nya sembarangan, membuatku tersentak. Sepanjang perjalanan menuju apartemen, suasana mobil tampak mencekam. Begitu masuk ke dalam apartemen, Ardika langsung duduk menyandar ke sofa dan memejamkan matanya. Aku pun segera masuk ke kamarku. Ketika aku keluar dari kamar setelah membersihkan diri, Ardika masih pada posisinya. Kali ini aku mendengar dengkuran halus. Ponsel Ardika berdering. Satu kali panggilan terlewatkan, lalu panggilan kedua masuk lagi. Aku yang sedang berada di dapur mendekat dan melihat nama Mama Ajeng di layar ponselnya. Aku sempat melihat popup notifikasi pesan singkat dari Mama Ajeng yang berisikan perintah untuk mengangkat panggilannya karena penting. "Mas," panggilku ragu. Aku belum pernah memanggil atau menyapa Ardika lebih dulu, tapi rasanya panggilan ‘Mas’ pantas untuknya. "Mas," ulangku lagi, dan dia tersentak, menarik dan meremas lenganku hingga aku terduduk di sampingnya dan meringis kesakitan. "Apa kerjamu hanya bisa menggangguku?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN