“Ponsel kamu sedari tadi berdering,” ucapku setelah melepas paksa genggamannya.
Ardika meraih ponselnya dan segera menghubungi kembali Mama Ajeng. Dari nada suaranya, aku bisa merasakan ketegangan di antara mereka. “Papamu tidak mau dokter lain, hubungi dia sekarang, Ar.” Aku bisa mendengarnya meski Ardika tidak menekan pengeras suara. Ardika menoleh, menatapku yang masih duduk di sampingnya. Dia menggerakkan tangannya, mengusirku agar pergi.
Aku pun segera melanjutkan kegiatanku memasak. Aku mempersiapkan chicken katsu cheese melt lengkap dengan saladnya. Meskipun aku tahu kemungkinan besar dia tidak akan menyentuh makanan ini, rasanya tidak pantas saja masak hanya untuk diri sendiri.
Setelah selesai memasak dan menata makan malam, aku melihat Ardika bergegas keluar apartemen. Aku mencoba untuk menawarkannya makanan, berharap setidaknya dia tidak pergi dengan perut kosong. "Mas, mau makan dulu?" tanyaku dengan suara lembut.
Ardika berhenti sejenak di ambang pintu, lalu berbalik menatapku dengan tatapan dingin. "Kamu sedang berusaha mencari perhatian saya? Kamu pikir dengan bersikap lembut dan manis seperti itu bisa membuat saya melihatmu berbeda? Jangan harap," katanya dengan nada sinis sebelum benar-benar keluar dari apartemen.
“Sebentar! Jadi secara tidak langsung maksudmu aku lembut dan manis?” tanyaku hati-hati, mencoba menjaga nadaku tetap tenang.
Ardika menjelingkan matanya kesal. Dia melanjutkan langkahnya keluar apartemen dan membanting pintu dengan kasar. Setelah pintu tertutup, aku terduduk di kursi dekat meja makan, tertawa sumbang. Kenapa semuanya harus seperti ini? Tidak di rumah ataupun di sini, aku tidak pernah dianggap. Pernikahan yang seharusnya menjadi awal bahagia, yang ada bagai mimpi buruk yang tak berkesudahan.
***
Setiap hari di apartemen ini terasa seperti penjara. Aku hanya menjadi bayangan, seseorang yang tidak dianggap dan tidak dihargai. Aku tetap menyiapkan sarapan dan makan malam untuk Ardika walau berakhir tidak disentuh.
Selama dua minggu ini, aku diantar dan dijemput oleh supir yang Ardika tunjuk untukku. Hari-hari terasa semakin suram dengan rutinitas yang monoton dan sikap Ardika yang selalu dingin dan kasar. Aku hanya merasa hidup saat berada di rumah sakit. Sering kali aku memilih melepas penat terlebih dahulu di rumah sakit sebelum akhirnya pulang ke apartemen.
“Darimana saja kamu?” tanyanya tiba-tiba, membuat aku tersentak ketika akan masuk ke dalam kamarku. Aku semakin yakin dia ini benar titisan ninja. Aku melihat ke kiri dan kanan untuk memastikan dia sedang bicara denganku, saking jarangnya kami bertegur sapa. “Jawab Asya!”
“Dari rumah sakit tentu saja,” jawabku apa adanya.
“Kenapa ponselmu tidak bisa dihubungi?” tanyanya tampak tidak puas. Aku pun mengatakan kalau daya ponselku habis dan aku tidak menyadarinya karena selama lima jam terakhir aku berada di ruangan operasi. Setiap hari, ada saja hal kecil yang bisa memicu kemarahannya, seakan dia mencari-cari kesalahanku.
“Buang saja ponselmu itu, tidak berguna. Sekali lagi saya tidak bisa menghubungimu—” Ardika mendekat menarik rahangku. “Kamu akan tahu akibatnya,” lanjutnya kemudian menghempasku kasar.
“Permisi, bukankah kita sudah sepakat untuk tidak saling mengurus urusan pribadi?” tanyaku mengingatkannya.
“Memang saya tidak peduli dengan urusanmu, tapi saya tidak suka kamu membuang waktu Kakek yang datang hanya karena ingin melihatmu.”
Salah gue? batinku. Mana aku tahu kalau kakeknya tiba-tiba akan datang hanya untuk bertemu denganku.
Ardika menarikku kasar ke arah sofa dan aku memberontak. “Duduk!” titahnya. Aku melipat kedua tanganku menantangnya. “Duduk! Telepon Kakek—”
“Katakan dengan lebih baik, Ardika, saat ini kamu yang sedang membutuhkanku.” Dia tidak mengindahkanku, mendorong tubuhku dengan kasar.
Tak lama suara kakek sudah menyapa. “Ar, Asya sudah pulang?”
“Sudah, Kakek—Kakek ingin bicara dengan kamu—”
Aku menarik paksa ponsel dari tangannya dan menutup kamera hingga Kakek mengeluh layar ponselnya berwarna hitam.
Mata Ardika melebar dan rahangnya mengeras. “Gila kamu,” bisiknya penuh penekanan.
Entah darimana datangnya keberanian ini, aku hanya ingin menyadarkannya kalau aku tidak semudah itu dia tindas.
"Asya!" bentaknya saat aku mematikan sambungan telepon secara sepihak. “Perempuan gila!” Ardika mengangkat sebelah tangan ingin menamparku dan aku mendekatkan pipiku, menantangnya.
“Tampar,” pintaku dan dia mengurungkan niatnya, mengusap wajahnya kasar.
Aku tersentak saat dia menangkup pipiku dengan sebelah tangannya lembut, mengatakan kalau Kakek ingin bicara denganku. Beliau meminta Ardika segera menghubungi beliau begitu aku tiba di rumah, jelasnya dengan nada rendah meski tidak lembut.
Aku menunduk menatap layar ponselnya di tanganku yang kembali berdering dan segera menerima panggilan video call dari Kakek.
“Nah, ini baru kelihatan,” ujar Kakek penuh semangat memamerkan senyumnya.
Aku pun menyapa beliau, meminta maaf karena membuat beliau menungguku tadi dan menjelaskan jadwalku yang tak menentu di rumah sakit.
“Kakek yang salah karena tidak menghubungi kalian dulu sebelum mampir.”
Aku menoleh ke arah Ardika yang sedang menatapku sedari tadi dengan tatapan yang sulit aku artikan. Sengaja aku mengarahkan kamera ke arahnya hingga wajahnya masuk ke dalam layar. Dia tersenyum tipis menyapa Kakek.
Puas bertukar kabar dan cerita, wajah Kakek terlihat serius ketika memanggilku.
“Apakah Asya selalu sesibuk hari ini?” tanya Kakek hati-hati, aku menoleh ke arah Ardika dan dia juga tampak sama bingungnya.
“Ada yang bisa Asya bantu, Kakek?” tanyaku hati-hati. Kakek memintaku merawat Papa Prastyo yang sedang kurang sehat beberapa minggu terakhir, tapi Ardika cepat menolak.
“Saya sudah meminta Bram mencari dokter—”
“Kamu masih juga tidak paham, Ar? Papamu hanya ingin dirawat oleh Al, atau lebih tepatnya ingin Al segera kembali. Namun, membawa dia kembali saja kamu tidak becus.” Ardika tertunduk lesu tidak membantah Kakek.
“Asya bersedia, Kakek,” jawabku mantap membuat Ardika menatapku tajam dan Kakek protes dengan tatapan cucunya padaku.
“Berani-beraninya kamu menatap Asya setajam itu!” Aku mengulum senyumku, tidak tahu saja Kakek cucunya sekejam itu padaku. Aku menerjap saat Ardika menyentuh kepalaku, menarik dan menautkan kepala kami, lalu mengacak rambutku sebelum menjauhkan tangannya dari kepalaku. Kemudian meminta maaf pada Kakek dan juga padaku.
Panggilan video call berakhir setelah aku menyetujui permintaan Kakek. Sebelumnya, Kakek meminta maaf padaku karena menyusahkan—harus merawat keluarganya yang pada sakit-sakitan. Kakek juga mengaku kesehatannya menurun, tapi beliau rutin kontrol tidak seperti Papa Prastyo yang acuh pada kesehatannya.
“Kenapa kamu mau merawat Papa? Apa yang kamu harapkan, harta?” Aku menjelingkan mataku kesal, memberikan ponselnya, dan meninggalkannya. “Asya!”
“Iya, aku akan merampas semua hartamu, puas!” Aku segera masuk dalam kamar takut dia mengejarku, tatapannya begitu menyala memancar amarah.
“Perempuan gila!” serunya membuat aku terkekeh geli mendengar dia mengumpat di luar sana.