Aku memandang Ardika dengan tatapan tak percaya. "Kamu serius?" tanyaku.
Ardika tidak menoleh, hanya mengangguk pelan. "Ya, saya serius. Saya butuh istirahat yang cukup, jadi kamu tidur di sofa."
Aku memicingkan mataku ke arahnya sekalipun dia tidak menatapku. Aku menolak tidur di sofa, seenaknya saja. Bukankah dia bilang ini adalah fasilitas liburan untukku, kenapa aku yang harus tidur di sofa?
"Kamu saja yang tidur di sofa, aku tidak mau,” kataku dengan nada tegas, meskipun hatiku berdebar kencang karena begitu menolak dia langsung melirik ke arahku tajam, kemudian kembali menatap layar ponselnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sikapnya yang dingin dan acuh tak acuh membuat aku kesal.
"Aku tidak percaya kamu bisa seegois ini," kataku kemudian berbalik menjauhinya. "Bertanggung jawab apanya? Cih," decakku kesal.
Ardika tetap diam, mengabaikan setiap kata yang keluar dari mulutku.
"Kalau begitu aku akan mencari tempat lain untuk tidur malam ini."
Aku kemudian mengambil ponselku dan menghubungi Pak Bram. "Pak Bram, tolong pesankan satu kamar lagi untuk malam ini," kataku dengan tegas. "Saya tidak bisa tidur sofa—"
Aku menerjap saat Ardika merampas ponsel dari tanganku. “Apa kamu selalu bising seperti ini?”
Aku kembali merampas ponselku dan telepon masih tersambung. “Pesankan satu kamar untuk saya, Pak,” ujarku pada Pak Bram seraya menatap Ardika dengan tatapan menantang.
Pak Bram menyahut paham dan mengatakan akan segera memesan kamar tambahan tanpa banyak bertanya. "Baik, Bu Asya. Kamar tambahan akan siap dalam lima belas menit," jawabnya singkat.
Aku menutup telepon dan mulai mengemasi barang-barangku dengan cepat. Ardika, yang sebelumnya tampak tidak peduli, mulai merasa terusik dengan tindakanku. Dia duduk di tempat tidur, menatapku yang sedang sibuk memindahkan pakaian ke dalam koper.
"Tidak ada yang akan keluar dari kamar ini," ujar Ardika, menarikku kasar.
Aku tersentak, lalu memicingkan mataku ke arahnya. "Aku akan tidur di kamar lain. Bukankah kamu sudah menyiapkan liburan untukku? Jadi jangan merusak liburanku," jawabku tegas.
“Jangan berani membantah saya. Tidak ada yang akan keluar dari kamar ini,” tekannya seraya meremas lenganku kasar.
Aku meringis kesakitan, tapi dia tidak menghiraukanku. “Kenapa tidak mau tidur di sofa, hm? Sebegitu inginnya kamu tidur seranjang dengan saya. Kamu tidak lebih dari wanita jalang di luaran sana—”
Tangan kananku melayang menyapa pipi Ardika hingga meninggalkan jejak kemerahan. “Jaga ucapanmu!”
Aku melepas paksa tangan Ardika yang masih menahanku. Tenaganya terlalu kuat hingga aku kesulitan dan berakhir kami jatuh bersamanya ke atas kasur dan Ardika menimpaku.
Mata kami saling bertemu, wajah Ardika tepat di hadapanku. Bahkan sedekat ini aku bisa merasakan aroma mint dari napasnya. Ardika tampak terkejut kini pandangannya beralih menatap bibirku.
“Siapa yang jalang sekarang, hah?” tanyaku menatap Ardika seolah menyepelekannya.
Aku melihat jakunnya bergerak saat dia menelan salivanya dan segera bangkit begitu mendengar ketukan pada pintu dan suara Pak Bram menyapa pendengaran kami.
“Kamu tidak perlu pindah, saya yang akan menggunakan kamar itu,” ujarnya lalu pergi membawa kopernya.
Aku mengembuskan napas lega saat Ardika keluar dari kamar ini. Jantungku tidak baik-baik saja. Jujur, aku takut kalau Ardika tiba-tiba meminta haknya. Sementara aku tidak sanggup melakukannya jika tanpa cinta. Apakah suatu hari nanti aku bisa mencintai Ardika?
***
Mataku melirik jam di meja nakas, pukul tujuh pagi. Aku duduk di tepi tempat tidur, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menghadapi hari ini. Akhirnya aku memutuskan untuk memesan layanan kamar untuk sarapan pagi ini.
Baru saja membersihkan diri dan ingin menyantap sarapanku, Pak Bram menghubungiku mengatakan kalau Ardika akan melanjutkan perjalanan bisnis ke Singapura dan aku diminta untuk bersiap karena penerbangan kami sore ini. Benar-benar sesuka hatinya.
“Sore ini?” kejutku, padahal aku masih ingin mengunjungi beberapa spot terbaik di sini.
“Apa Mbak Asya tidak membaca jadwal Pak Ardika? Pak Ardika sudah mengatakan kalau dia sudah memberikannya pada Mbak Asya.” Aku menepuk dahiku, lupa kalau Ardika memang sudah memberikannya, tapi aku tidak membacanya dengan seksama.
“Makanya budayakan membaca!” Aku menjelingkan mataku kesal mendengar suara Ardika menyindirku. Dia pasti mendengar pembicaraanku dengan Pak Bram. Kenapa tidak dia saja yang mengatakan langsung? Hobinya memang menyusahkan orang saja. Panggilan telepon berakhir dan aku cepat melahap sarapanku, supaya ada tenaga menghadapi suami dadakanku yang dinginnya seperti bongkahan es.
Sore harinya begitu tiba di bandara aku melihat Zein dengan dua sepupuku lainnya yaitu Damar dan Seno. Senyumku memudar saat beradu pandang dengan Ardika yang menatapku tidak bersahabat.
“Aku boleh menghampiri mereka?” tanyaku hati-hati. Sudut bibirku melengkung sempurna saat Ardika mengangguk mengizinkanku.
“Segera kembali, jika terlambat, saya akan meninggalkanmu,” tekannya padaku.
Aku mengangguk paham dan berlari girang memeluk Zein dari belakang—mengejutkannya. Ternyata mereka juga akan menuju Singapura. Damar menyebutkan nama hotel tempat mereka akan menginap selama di sana seketika terlintas ide dalam benakku. Semoga Ardika menyetujuinya.
***
“Ada apa?” tanya Ardika seolah tahu keresahanku. Saat ini kami sudah di penerbangan menuju Singapura.
“Zein dan kedua sepupuku lainnya menginap di hotel dekat airport,” ujarku menyebutkan nama hotelnya. “Bolehkah aku menginap di hotel yang sama dengan mereka?” tanyaku hati-hati.
“Melunjak, diizinkan menyapa sekarang mau tidur sehotel pula,” ketusnya.
Aku memilih diam alih-alih menanggapinya. Bibirku maju, cemberut mendengar jawaban Ardika. Aku memilih memejamkan mataku. Tidur, aku akan tidur saja sepanjang perjalanan ini. Namun, tak lama suara Ardika menyapa pendengaranku. “Kita akan bertemu lagi di airport. Tidak boleh terlambat sedetik pun! Bram akan menghubungi kamu—”
Aku membuka mataku selebar mungkin. “Terima kasih.” Wajahku yang semula murung kembali sumringah.
Ardika tidak mengatakan apa pun lagi, dia hanya menatapku datar, sangat tidak bersahabat.
***
Singapura
Liburanku kali ini lebih baik dari sebelumnya, aku puas menjelajah, tapi Pak Bram tetap memantauku, menghubungiku setiap waktu. Ardika menginap di hotel yang berbeda, dia harus menyelesaikan pekerjaannya selama beberapa hari ke depan.
Aku sangat menikmati liburanku kali ini, setiap hari begitu menyenangkan hingga kemudian aku mendapat pesan singkat berisi e-tiket kembali ke Indonesia.
Begitu tiba di Bandung Ardika langsung menuju rumah Kakek. Katanya beliau tak sabar ingin bertemu dengan kami. Dan benar saja begitu kami tiba beliau menyambut dengan suka cita.
“Akhirnya pulang juga, bagaimana bulan madunya?” tanya Kakek tampak penasaran.
“Menyenangkan, iya ‘kan Sya?” Aku mengangguk ragu seraya tersenyum palsu.
Puas berbincang dengan Kakek, deringan dari ponsel Ardika membuatnya pamit pada Kakek untuk menerima sambungan telepon. Tak lama seseorang datang mendekat ke arah Kakek membisikkan sesuatu.
Aku menoleh ke arah Ardika yang mendekat ke arahku. “Sya, kamu pulang dengan Bram.” Ardika mengatakan dia akan singgah ke rumah papanya yang dikabarkan jatuh sakit.
“Bolehkah aku ikut?” tanyaku hati-hati.