Si Mulut Pedas

1249 Kata
"Sore nanti saya yang akan menjemputmu," ujar Ardika saat aku akan berangkat ke rumah sakit. Hari ini rencananya sepulang dari rumah sakit, aku ingin melihat keadaan Papa Prastyo. Aku menoleh ke arah Ardika sekejap lalu melanjutkan langkahku keluar dari apartemen. “Tidak sopan. Kalau bukan karena kakakmu kabur saya tidak akan—” Aku tidak lagi mendengar kalimatnya setelah membanting pintu meski tidak terlalu keras. Home sweet home, bagiku rumah sakit adalah rumah terbaikku. Di sini aku bisa menjadi diriku sendiri, dihargai dan disayangi. Lebih tepatnya diterima apa adanya. “Dokter Asya sini. Kami baru saja palakin Dokter Reno,” panggil seorang perawat membuat aku terkekeh geli melihat meja nurse station dipenuhi jajanan kue tradisional, tapi aku lebih tertarik dengan prata serta kuah karinya. Aku selalu mencari menu ini tiap kali ke Singapura. “Katanya ini yang jual orang melayu asli, Dok,” terang seorang perawat dan aku mengangguk paham. “Enak,” rengekku manja dan semua tertawa. Tawa yang renyah seketika berubah jadi tatapan sendu membuat aku menyernyitkan dahiku. “Ada apa?” tanyaku masih menyantap makanan di hadapanku. “Dokter Asya tidak rindu, Dokter Farhan?” Aku terbatuk-batuk dan mereka panik berhampuran mencari minuman untukku. “Ah, elu sih! Segala tanyain Dokter Farhan,” protes perawat lain bersahutan sementara aku menegak habis minuman yang diberikan. “Ya maaf—Maaf ya, Dok. Saya merasa sekarang IGD sepi—” Aku terkekeh saat Rena mulutnya ditutup oleh rekannya karena mengucapkan kalimat sakral di IGD yaitu ‘IGD sepi’. “Ya tuhan, maafkan aku salah bicara,” rengek Rena seraya mengetuk kepalanya dan meja nurse station. “Maksudnya kalau Dokter Asya dan Dokter Farhan nggak berantem sehari aja itu IGD terasa sepi—” Rena kembali melipat mulutnya saat rekan berseru kesal padanya. Detik kemudian telepon di meja berdering dan mereka saling suruh menyuruh menerima telepon itu. Aku terkekeh geli melihat reaksi semuanya dan mengangkat sambungan telepon tersebut. “Instalasi gawat darurat rumah sakit Harapan Nusa, dengan Dokter Asya. Ada yang bisa saya bantu?” Aku memandangi satu per satu wajah mereka yang tegang. “Baik, silahkan.” “Dok, telepon dari siapa?” tanya salah seorang perawat begitu aku meletakkan kembali gagang telepon. “Korban kecelakaan, tiga terluka parah dan satu tidak sadarkan diri,” jelasku. “Kan, kan, udah dibilangin jangan sebut kalimat sakral itu.” “Semangat-semangat! Korban dalam perjalanan. Ada lima korban lagi luka ringan, total sembilan korban dalam mini bus. Saya permisi dulu, ada operasi terjadwal. Jia you!” ucapku penuh semangat mengepalkan tanganku melayang ke udara. “Dokter Asya …!” seru semua lalu berlari mengemasi makanan dan bersiap menerima korban. *** Setelah menjalankan tugasku hari ini, aku tidak lagi berlama-lama di rumah sakit karena khawatir dengan kondisi Papa Prastyo pasalnya sudah lama aku dengar beliau sakit. Ponselku berdering dan nama Pak Bram tertera di layar ponselku segera saja aku menerimanya. “Halo, Pak,” sapaku lebih dulu dan Pak Bram ikut menyapaku. Beliau memberitahuku kalau Ardika sudah berada di parkiran rumah sakit dan aku menyahut paham. Gegas aku berjalan cepat tidak ingin membuatnya menunggu lama hingga merasa waktunya terbuang percuma. Aku mencari mobil yang biasa Ardika pakai, tapi tidak menemukannya. “Asya!” Aku menoleh cepat melihat Ardika memanggilku. Wajahnya terlihat kesal. “Lelet banget sih! Buang waktu tahu nggak!” ucapnya kemudian memintaku masuk ke dalam mobilnya. “Aku nggak tahu kalau kamu—” “Apa yang kamu tahu, hah?” Aku memilih diam, buat apa juga meladeninya. Mana aku tahu kalau dia akan menggunakan koleksi mobilnya yang lain. Siapa suruh mempersulit diri, segala minta Pak Bram yang menghubungiku sementara dia sudah tiba di rumah sakit. Ardika si paling suka mempersulit diri. Sebulan menikah percaya tidak ini kali pertama kami semobil berdua. Rasanya sangat canggung, walaupun biasanya juga canggung kali ini double kill canggungnya. Ardika memintaku untuk tidak banyak bertanya saat tiba di rumah Papa Prastyo nanti, lagi-lagi aku hanya diam. “Dengar tidak?” tanyanya kesal. “Dengar,” jawabku singkat. Begitu Ardika memarkirkan mobilnya di halaman rumah. Aku terperangah melihat rumah yang megah dengan pilar yang besar dan kokoh. Rumah Papa dan Mama juga sama besarnya tapi lebih modern dengan konsep minimalis dan terbuka mengedepankan kealamian pencahayaan dan keasrian. Kalau rumah ini dibuat dengan konsep bak istana. “Dengar jangan banyak tanya dan begitu keluar dari rumah ini jangan berani—” “Permisi, ini kapan kita masuknya ya? Kelamaan briefing-nya ini…,” pangkasku dan Ardika berdecak kesal kemudian menuntunku masuk. Begitu masuk pelayan menyambut kami, tapi pandanganku tertuju pada wanita yang sudah berusia tapi terlihat muda berjalan cepat masuk ke dalam kamar di lantai dua. Aku yakin sekali itu bukan Mama Ajeng. Ardika menarik tanganku menggenggamnya menuntun ke ruangan di lantai satu. Setelah mengetuk dan mendapat sahutan dari dalam kami pun masuk. “Ar.” Melihatku Papa Prastyo berdecak kesal seolah mengharapkan orang lain yang datang bersama Ardika. “Jangan bilang kau gagal membawa Al pulang?” “Al bukan anak kecil lagi, Pa. Kakek meminta Asya untuk memeriksa Papa,” jelas Ardika dan Papa Prastyo kembali berdecak kesal, tapi tetap menurut berbaring di kasur kecil di sudut ruangan kerjanya. Aku mengeluarkan peralatan tempurku seraya menyapa Papa dengan ramah. “Kalau tidak salah Asya bekerja di rumah sakit—” “Pa …,” tegur Ardika pada Papa Prastyo yang langsung diam dan tenang ketika aku memeriksa beliau. “Papa hanya kelelahan,” ujarnya dan aku mengangguk paham. “Kalau Papa istirahat besok sudah baik lagi,” tambah beliau. Berdasarkan keluhan Papa dan cerita Ardika, aku mendiagnosa Papa stroke ringan, wajahnya masih terlihat kaku, tapi Papa tetap mengatakan beliau baik-baik saja. Aku meresepkan beberapa obat yang sudah aku diskusikan bersama rekan sejawatku yang merupakan dokter spesialis saraf. Papa beristirahat sementara aku dan Ardika keluar, duduk di ruang tengah menikmati jamuan yang disediakan oleh pelayan. “Mas,” panggilku setelah meletakkan gelas kembali ke atas meja dan Ardika menoleh saat tengah menyesap minumannya. “Mas … Mas …, jangan sok akrab,” tekannya. “Stt …! Sudah nurut saja,” kesalku, segala nama panggilan saja bisa jadi pemicu amarahnya. Aku rasa Ardika ini penderita tekanan darah tinggi. “Btw, aku ini dokter bedah dengan spesialis saraf bukan dokter spesialis saraf. Kalau mau nanti aku rekomendasikan—” “Tidak perlu. Sebenarnya ada dokter yang sesekali datang untuk merawat Papa juga bukan spesialisnya. Papa itu hanya tidak bisa stres, selalu drop akhirnya.” “Tapi Papa tetap harus—” “Bawel! Kamu itu tidak tahu apa-apa, diam dan turuti saya saja. Ini semua gara-gara biang kerok sialan itu! Dasar bocah manja!” kesalnya entah ditujukan pada siapa sambil sibuk dengan ponselnya. “Bram, hubungi dia. Katakan papanya sakaratul maut.” Aku membulatkan mataku dan menutup mulutku yang menganga mendengar kalimatnya dan dia melirikku sinis. “Kenapa?” tanyanya sinis dan aku menggeleng. Berdebat dengan Ardika hanya akan membuat emosinya meledak-ledak. Ardika memintaku menunggunya sementara dia naik ke lantai dua. Ingin mengambil sesuatu di kamarnya. Jenuh menunggu, seketika sudut bibirku naik ke atas melihat bingkai foto keluarga melihat Ardika kecil. Ternyata sejak kecil wajahnya memang sudah jutek seperti sekarang. Kemudian mataku menyipit melihat pajangan foto di atas bufet foto, Ardika bersama anak kecil yang wajahnya tampak tidak asing bagiku. “Aku seperti pernah melihatnya,” gumamku seorang diri. Aku bergeser ke arah bingkai lain dan mengerutkan keningku yakin aku mengenali anak di dalam foto ini yang bersama dengan Ardika. Aku tersentak saat tanganku digenggam keras oleh Ardika yang baru saja tiba. “Jangan lancang kamu, Asya!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN