Zia Pov
Dua bulan sudah aku menjalani kehidupan rumah tanggaku bersama mas Alvand dengan sangat bahagia. Meskipun mas Alvand belum juga mengatakan jika dia mencintaiku, tak masalah bagiku karena sikapnya padaku makin hari makin manis.
Aku bersyukur kesalahpahaman antara aku dan mas Alvand sudah terselesaikan dengan baik tanpa berlarut - larut.
Aku sedang duduk di ruang guru, aku merasa tubuhku lemas, sudah beberapa hari ini perutku juga mual rasanya tak nyaman.
"Bu Zia sakit ya? Wajahnya pucat sekali." Kata bu Reta mendekatiku.
"Nggak tahu bu, rasanya lemas dan mual sepertinya asam lambung saya naik." Kataku karena memang aku memiliki masalah asam lambung yang sering kambuh jika terlat makan.
"Jangan - jangan bu Zia hamil." Aku terkejut mendengar perkataan bu Reta, tak terasa sudut bibirku terangkat, benarkah aku hamil?.
Aku menyentuh perutku, mengingat kembali apa tamu bulananku sudah datang apa belum dan seingatku belum, berarti? Aku menatap bu Reta yang tersenyum padaku.
"Pulang ngajar langsung ke Rumah Sakit, semoga benar kalau bu Zia hamil."
"Aamiin, doakan ya bu." Kataku tersenyum.
Selesai mengajar aku segera memesan taxi untuk ke Rumah Sakit, mas Alvand sedang ada kunjungan dan Hafiz juga ikut serta jadi hari ini aku memang tak ada jemputan.
Taxi datang dan aku segera memasukinya, "Rumah Sakit ABDI ya pak." Kataku pada supir taxi.
"Baik bu."
Jantungku sudah berdegup kencang, tanganku bahkan sudah terasa dingin. Semoga saja aku benar - benar hamil, mas Alvand pasti bahagia karena dia selalu mengatakan ingin segera memiliki Alvand junior.
Taxi sampai di Rumah Sakit aku segera membayarnya, keluar taxi berjalan menuju poli kandungan, sepanjang jalan seperti biasa para dokter dan perawat yang mengenalku sebagai menantu keluarga Abhimanyu pemilik Rumah Sakit ini menyapaku ramah dan aku balas dengan senyuman.
"Bu Alvand, ada yang bisa kami bantu?" Tanya salah satu suster saat aku sudah sampai di depan poli kandungan.
Aku mengangguk, "Saya mau bertemu dokter Obgin, di dalam siapa?" Tanyaku.
"Kebetulan hari ini yang praktik dokter Vina bu, setelah ini ibu langsung masuk saja" Jawabnya sambil tersenyum.
"Alhamdulilah, terima kasih sus tapi saya tunggu sesuai antrian saja." Kataku.
"Tapi bu."
"Nggak apa sus, santai saja." Aku berjalan menuju kursi tunggu.
Sudah 3 jam lebih aku menunggu, bukan rahasia lagi jika Vina atau Mommy yang praktik pasien memang sangat banyak karena mereka sangat enak di ajak konsultasi.
"Mbak Zia." Aku menoleh, Vina berdiri di depan pintu praktiknya tersenyum dan melambaikan tangannya.
Aku berjalan mendekatinya, seperti Vino maka Vina pun sama setiap bertemu denganku akan mencium punggung tanganku.
"Kenapa nggak langsung masuk saja sih, untung suster bilang." Kata Vina sambil membawaku masuk ruangannya.
"Nggak apa dik, mbak juga kan pasien jadi harus ikut ngantri." Kataku tersenyum.
"Ish mbak Zia ini, mbak menantu kesayangan pemilik Rumah Sakit dan juga kesayangan Vina jadi bukan pasien biasa, mbak pasien VVIP." Kata Vina membuatku tertawa.
"Oke, sekarang katakan mbak datang ke sini mau konsultasi atau__"
"Mbak mau memastikan saja dik, apa mbak beneran hamil. Tadi di sekolah rekan guru mbak bilang mungkin mbak hamil karena lemas, mual dan mbak juga belum haid dik." Jawabku dan adik iparku tersenyum lebar.
"Aamiin mbak, sus tolong siapkan tespack, mbak Zia ikut suster ya." Kaya Vina dan aku mengangguk berjalan mengikuti suster yang memberiku tespack.
Aku keluar dari kamar mandi membawa tespack yang langsung di minta Vina, dia sudah nggak sabar melihat hasilnya.
"Aaaa mbak Zia, Vina bakal punya keponakan." Katanya yang berdiri lalu memelukku, aku terkejut mendengar perkataan Vina. Aku hamil? Benarkah?.
Tak terasa air mataku berjatuhan, aku bahagia sekali akhirnya apa yang mas Alvand dan aku nantikan hadir juga dalam rahimku. Vina melepaskan pelukannya, dia tersenyum dan menghapus air mataku.
"Selamat mbak Zia, Vina ikut bahagia bahkan sangat bahagia."
"Terima kasih dik."
"Sekarang mbak naik ke bed, Vina mau lihat keponakan Vina sudah sebesar apa." Vina mununtunku untuk naik ke atas bed, suster mengoleskan gel pada perutku dan Vina yang duduk menghadap monitor tak lama menyentuhkan alat USG di perutku.
"Aduuhh keponakan Aunty udah gede ya, sudah 7 minggu mbak." Kata Vina, aku menatap layar di depanku memperlihatkan titik hitam yang kata Vina itu janinku.
Aku tersenyum melihatnya, terima kasih Ya Allah sudah mengabulkan doaku juga doa mas Alvand untuk memiliki momongan.
Selesai USG aku kembali duduk di depan Vina yang sedang menuliskan sesuatu, mungkin resep Vitamin.
"Sus tolong tebusin resep ini." Kata Vina pada suster.
"Mbak saja dik." Vina menggeleng dan susterpun menerima resep dari Vina.
"Kenapa abang nggak antar mbak Zia?"
"Lagi ada kunjungan, dik jangan beri tahu mas Al atau orang rumah dulu ya soalnya mbak mau kasih kejutan buat mas Al." Kataku dan Vina tersenyum menggodaku.
"Ciee kejutan, okelah kalau begitu Vina akan diam saja, memangnya kapan mau kasih tahu abang mbak?"
"Sepulang dari sini dik." Vina mengangguk.
Aku pamit pulang setelah suster datang membawa Vitamin, sambil menunggu taxi datang aku menelfon suamiku.
"Assalamualaikum dik."
"Waalaikumsalam mas, sudah pulang apa belum?"
"Ini lagi dijalan sebentar lagi sampai, kenapa? Kamu belum pulang?"
"Lagi nunggu taxi mas, yasudah sampai jumpa dirumah, Zia ada kejutan untuk mas."
"Oya, apa dik?"
"Kalau kasih tahu sekarang namanya bukan kejutan mas."
"Iya deh iya mas tunggu, sudah dulu ya kamu hati - hati dijalan, Assalamulaikum."
"Iya mas, Waalaikumsalam"
Aku memasukkan ponselku kembali ke dalam tas, rasanya sudah nggak sabar buat kasih tahu mas Al tentang kehamilanku ini.
Taxi datang dan aku segera memasukinya, sepanjang perjalanan tak hentinya aku tersenyum dan bersyukur karena aku hamil, semoga saja dengan kehamilanku ini makin menguatkan hubunganku dengan mas Alvand, perlahan dia bisa mencintaiku seperti aku yang sudah lebih dulu mencintainya.
Taxi berhenti di depan gerbang asrama, aku turun dan berjalan memasuki asrama menyapa Om tentara yang sedang berjaga. Lampu - lampu sudah menyala karena Maghrib juga sudah lewat.
"Mbak Al wajahnya berseri amat, lagi bahagia ya?" Aku menoleh kesampingku, Hafiz yang menaiki motor menyapaku, aku tersenyum.
"Sangat bahagia Om." Kataku.
"Boleh dong bagi - bagi."
"Nanti kalau mas Alvand sudah tahu ya, karena mas Alvand yang berhak tahu lebih dulu."
"Tunggu biar Hafiz tebak, Mmm mbak Al hamil ya?" Tanya Hafiz tepat sasaran dan aku tersenyum.
"Waaahh selamat mbak Al, kalau gitu ayo Hafiz antar, kan mbak nggak boleh cape, nggak baik juga bumil malam - malam jalan sendirian diluar." Aku mengangguk dan menaiki motornya.
"Mbak tadi kata sertu Ali ada tamu perempuan mau ke rumah mbak Al, siapa mbak? Kalau mbak Vina semua sudah kenal."
"Nggak tahu Om, mas Alvand juga kan masih dijalan waktu mbak telfon tadi."
"Abang sudah sampai mbak, kira - kira 10 menit yang lalu." Aku hanya mengangguk saja.
Sampai depan Rumdin aku segera turun dari motor dan mengucapkan terima kasih, Hafiz juga pergi melajukan motornya, aku memasuki rumah yang lampunya sudah menyala berarti mas Alvand sudah pulang, aku berjalan menuju kamar, tapi ko gelap? Tumben sekali.
"Terima kasih mas bahagia sayang." Deg jantungku nyaris lepas saat mendengar suara seperti mas Alvand sedang berbicara di dalam dan tadi apa? Sayang? Mas Alvand dengan siapa?.
Aku penasaran langsung aku buka pintu kamar dan aku nyalakan lampu kamar, betapa terkejutnya aku melihatnya.
Dua orang manusia berbeda kelamin hanya memakai handuk sedang berpelukan, lebih tepatnya perempuannya yang memeluk dari belakang.
"MAS ALVAND!" Teriakku.
Mas Alvand menoleh dan tampak terkejut melihatku.
"Dik kamu, loh ini siapa." Kata mas Alvand melepaskan pelukan perempuan itu.
"Mitha." Mas Alvand dan aku sama - sama terkejut.
"Kenapa bisa kamu di sini?" Tanya mas Al.
"Kamu sendiri yang memintaku datang Al, kamu lupa apa yang sudah kita lakukan? Jangan karena ada istrimu kamu jadi amnesia Al." Kata bu Mitha.
"Kamu ngomong apa sih Mit." Sentak mas Al, dia mendekatiku dan menggenggam kedua tanganku erat.
"Dik, mas berani bersumpah kalau mas nggak ngapa - ngapain sama Mitha, percaya sama mas dik, mas kira itu kamu yang akan memberi mas kejutan."
"Jahat kamu Al setelah puas merenggut kesucianku kamu pura - pura lupa, bu Zia lihat ranjang itu bahkan masih berantakkan ulah suamimu dan aku." Aku menatap ranjang yang memang berantakan, dan noda merah pada sprei putihku membuat dadaku makin sesak.
Air mataku sudah keluar dengan kurang ajarnya, aku menatap mas Alvand yang masih menggenggam tanganku.
"Tega kamu mas, kamu menuduhku selingkuh dengan kak Agam tapi ternyata kamu sendiri yang selingkuh, jijik aku mas, ceraikan aku." Aku menghentak tangan mas Alvand dan segera keluar rasanya tak sanggup lagi, sakit sekali seperti tertusuk ribuan anak panah.
"Dik dengar mas, kamu salah paham dik." Mas Alvand mengejarku, menarik tanganku dan memelukku tapi aku berontak melepas pelukannya.
"Jangan sentuh aku mas." Teriakku.
"Dik, mas__"
"Ada apa ini?" Aku menoleh ke pintu yang ternyata ada Mayor Andi, Vino dan Hafiz.
"Kenapa mbak Zia menangis bang?" Tanya Vino yang mendekat dan aku langsung memeluknya menumpahkan air mataku.
"Tenang mbak ada Vino, jangan menangis." Katanya sambil mengusap bahuku.
"Vin bawa mbakmu ke kamar." Kata Mayor Andi tapi aku menolaknya.
"Kenapa mbak?" Aku belum menjawab bu Mitha keluar kamar sudah memakai pakaiannya membuat tiga pria yang baru datang ini terkejut.
"Pulang ke rumah Mommy ya mbak, bang Hafiz boleh minta tolong antarkan mbak Zia, ada yang ingin Vino bicarakan sama mereka berdua." Kata Vino dengan nada suara tegas, terdengar menakutkan.
"Ayo mbak Al." Ajak Hafiz dan aku mengikutinya berjalan keluar.
"Dik dengar dulu, kamu salah paham dik." Lagi dan lagi mas Al mecekal tanganku.
"Cukup Al, biarkan Zia dirumah Ayah Dhika, kamu selesaikan urusanmu dengan wanita itu jangan sampai buat malu kesatuan Al." Perkataan Mayor Andi membuat mas Al melepaskan cekalannya.
Aku kembali berjalan keluar menaiki mobil bersama Hafiz, hatiku sungguh hancur lebur. Rencana akan memberikan mas Alvand kejutan malah aku yang mendapat kejutan, kejutan menyakitkan.