Dik bangun, shalat ashar dulu." Aku membangunkan istriku yang tertidur dalam pelukanku, hangat tubuhnya masih aku rasakan karena kami hanya tertutup selimut saja.
Dia menggeliat membuatku tersenyum, istriku terlihat menggemaskan.
"Jam berapa mas?"
"Jam empat lebih lima belas menit." Kataku.
"Sepuluh menit lagi mas." Katanya, dia malah makin erat memelukku.
"Jangan menunda dik, kalau sudah Shalat kamu boleh peluk mas sepuasnya." Kataku sambil mengusap pipinya yang halus.
"Iya iya." Jawabnya yang langsung bangun, dia tak menyadari jika saat ini tak memakai pakaian, aku kembali di buat terpesona melihat bukit kembarnya itu. Aku pria normal yang 27 tahun baru bisa melihat hal begituan, apa lagi bayang - bayang dari rasa itu masih berkelebat di pikiranku, jadi wajar jika aku kembali di buat terpesona.
"Dik, mas minta kamu mandi dan shalat, bukan menggoda mas lagi." Kataku, dia menatapku bingung.
"Maksudnya?" Aku berdecak, masih saja nggak tahu maksudku.
Aku menunjuknya, dia menatap kebawah dan detik berikutnya, "Aaaa mas Alvand, kenapa nggak ngomong, Zia malu mas." Katanya sambil menarik selimut untuk menutupinya.
Aku tertawa melihat tingkahnya, "Malu kenapa, toh mas juga sudah lihat semuanya dan sudah merasakannya juga, iya kan." Kataku menarik turunkan kedua alisku, wajah istriku merona membuatnya makin terlihat menggemaskan.
"Udah ah Zia mandi dulu." Katanya yang akan turun dari ranjang , "Aww."
"Kenapa? Sakit dik?" Tanyaku dan dia mengangguk.
"Tunggu sebentar." Aku mengambil celana boxer yang tergeletak di lantai dan segera memakainya. Aku keluar kamar menyiapkan air hangat untuknya mandi, di sini nggak ada bathtub jadi aku memakai ember besar yang bisa Zia duduki.
"Ayo mas bantu ke kamar mandi." Kataku saat sudah kembali ke kamar, aku memberikan handuk untuk mengganti selimut yang menutupinya.
Aku menggendong tubuhnya ala bridal style menuju kamar mandi.
"Itu untuk apa mas." Tanya istriku saat melihat ember besar yang aku isi air hangat.
"Maaf disini nggak ada bathtub dik, jadi pakai ini saja ya, kamu duduk disana buat ngurangin nyeri." Kataku.
Dia menggeleng, "Nggak usah mas, mandi saja nanti juga enakkan, nggak harus berendam." Katanya.
Aku hanya mengangguk lalu menurunkannya, "Mau mas bantuin mandi?" Tanyaku sengaja menggodanya, dia memukul dadaku pelan.
"Terima kasih tawarannya kapten, tapi istrimu ini masih bisa mandi sendiri." Katanya tersenyum, senyum manis yang menyejukkanku.
"Baiklah, mandi yang bersih ya sayang." Kataku sambil mengecup bibirnya sekilas dan melangkah pergi meninggalkannya.
Jantungku berdegup kencang saat aku memanggilnya sayang, aku sendiri bingung kenapa aku bisa mengatakan itu.
Aku ke dapur membuat lemon tea hangat untukku dan juga istriku, kami sama - sama menyukai lemon tea hangat seperti Mommy Forza.
Istriku keluar dari kamar mandi, kini giliranku yang masuk untuk membersihkan diri dan shalat ashar.
Selesai shalat kami duduk di depan Tv, melihat acara kartun kesukaan istriku, dua anak kembar dengan kepala botaknya yang suka sekali mengatakan betul betul betul.
Tok tok tok
Pintu ada yang mengetuk, "Biar mas saja, kamu ambil jilbab sana." Kataku, karena istriku tak memakai jilbab rambutnya masih basah.
Aku berjalan membuka pintu rumah, aku terkejut melihat siapa yang datang. Di depan pintu ada Vino, Agam dan juga wanita berhijab yang tak aku kenal, mau apa datang kesini.
"Kita nggak disuruh masuk bang?" Tanya Vino menyadarkanku.
"Maaf, mari masuk." Kataku merekapun masuk dan duduk setelah aku mempersilahkannya untuk duduk.
Istriku datang dia tampak terkejut, "Buatkan minum dik." Kataku yang di angguki istriku.
"Maaf ada apa ya?" Tanyaku langsung tak ingin berlama - lama.
"Vino sengaja bawa mas Agam dan calisnya buat jelasin ke abang, kalau yang siang tadi abang lihat semua nggak benar bang." Kata Vino mengawali.
"Benar mas Alvand, apa yang tadi anda lihat itu nggak benar, saya nggak ada hubungan apa - apa sama Acha, saya minta tolong dia menemani saya menemui Maya calon istri saya yang kebetulan juga teman Acha dulu."
Aku mengangguk, "Istriku sudah menjelaskannya, maaf kalau saya sudah suudzon."
"Wajar mas, suami mana yang nggak marah jika melihat istrinya ada di hotel bersama pria lain walau nyatanya nggak hanya berdua, itu wajar karena mas Alvand sangat mencintai Acha, cemburu itu bumbu cinta yang bisa menghancurkan juga bisa lebih mendekatkan."
Aku terdiam mendengarkan perkataan pria di depanku ini, benarkah aku sangat mencintai Zia istriku? Apa benar aku cemburu dengannya? Aku masih belum juga tahu perasaanku pada Zia, sedangkan tadi Zia mengakui sudah mencintaiku.
"Silahkan di minum Vin, kak, May." Suara istriku menyadarkanku, aku menatap wajahnya yang tengah tersenyum.
Jantungku berdegup kencang, benarkah ini cinta? Rasa nyaman dan bahagia hanya dengan melihatnya.
"Mas." Istriku mengusap bahuku, saat ini dia duduk di sampingku.
"Ya, kenapa dik?" Tanyaku.
"Mas yang kenapa, Vino dari tadi tanya kamu diam saja." Katanya, aku gugup dibuatnya, aku menatap Vino yang sedang cekikikan membuatku ingin melempar sandal.
"Kenapa?" Tanyaku.
Dia menggeleng, "Nggak jadi, malas siaran ulang lagi." Katanya membuatku kesal.
"Acha maaf ya karena kakak suami kamu jadi salah paham, mas Alvand percaya sama Acha dia akan menjaga kehormatannya, dia wanita baik - baik anda beruntung bisa mendapatkannya, maaf jika sudah membuat kekacauan sama rumah tangga kalian, saya menyesal sudah melibatkan Acha."
"Yang penting sekarang permasalahannya sudah selesai, kesalahpahaman ini sudah berakhir." Kataku.
Sekarang tinggal mengungkap siapa yang mengirim foto itu, harus lebih ekstra lagi menyelidikinya.
Kami berbincang hingga Adzan maghrib berkumandang dan kami shalat maghrib berjamaah.
Selesai shalat maghrib Vino, Agam dan calisnya berpamitan pulang.
Istriku sedang memasak untuk makan malam, aku menemaninya dengan duduk di meja makan memperhatikan setiap gerakanya yang terlihat lincah memainkan spatula di atas wajan.
Masakan matang dan dia segera menghidangkannya padaku, aku makan dengan lahap karena beban pikiranku sudah berkurang nafsu makanku kembali lagi di tambah masakkan istriku memang juara sama seperti Mommy.
Selesai makan aku masuk ruang kerjaku untuk memeriksa beberapa dokumen yang berkaitan dengan Yon juga Universitas karena Ayah Dhika sudah menyerahkan Universitas untuk aku urus.
Jam 11 malam selesai memeriksa dokumen aku melangkahkan kaki menuju kamar, saat pintu aku buka istriku menatapku, ternyata dia belum tidur juga padahal sudah malam.
"Kenapa belum tidur dik?" Tanyaku sambil melepas baju yang ku pakai, menggantinya dengan kaos dalam, aku lebih nyaman menggunakan kaos dalam jika tidur dan istriku dari awal menikah tak mempermasalahkannya.
"Tanggung mas, tinggal lima lembar lagi." Katanya, aku menaiki ranjang mendekatinya melihat apa yang sedang dia kerjakan, ternyata sedang memeriksa jawaban ujian siswanya.
Aku duduk menyender pada leher ranjang ,"Maaf ya dik."
"Maaf kenapa mas?"
"Maaf karena sudah meragukanmu." Kataku.
"Nggak apa mas, Zia juga salah, maafin Zia ya." Katanya dan aku mengangguk menatapnya yang masih menunduk memeriksa lembar jawaban siswanya.
Malam ini dia tampil berbeda, memakai daster bukan piyama yang sering dia gunakan, kakinya terlihat jelas, leher jenjangnya yang putih bersih juga sangat terlihat jelas, membuatku tak bisa menahan hasrat apa lagi kejadian siang tadi masih aku ingat jelas betapa nikmatnya surga dunia yang tak bisa di ungkapkan dengan kata - kata.
"Dik."
Dia menoleh, "Iya mas." Katanya, suaranya sangat lembut, bahkan rasa bibir itu masih aku ingat jelas.
"Masih sakit nggak?" Tanyaku, dia tampak mengernyitkan dahinya bingung.
"Itu kamu masih sakit nggak, mas menginginkannya lagi dik, biar Alvand junior segera hadir." Kataku lagi.
Dia tampak tersipu malu dan menunduk, aku mengangkat dagunya agar dia tak lagi menunduk, wajahnya terlihat merona membuatku gemas.
"Sedikit mas." Katanya.
"Boleh kalau mas mau lagi?" Kataku dan dia mengangguk.
Aku tersenyum padanya, malam ini aku kembali merasakan surga dunia, kenikmatan yang selama 27 tahun baru aku rasakan, aku sangat bahagia.
Kesalahpahaman kemarin menjadikan kami makin dekat, dekat layaknya suami istri sesungguhnya bukan hanya statusnya saja.
"Terima kasih." Kataku mengecup keningnya.