"Ayo mbak turun." Suara Hafiz menyadarkanku dari lamunan, aku menatap Hafiz yang tersenyum seakan memberiku kekuatan.
"Om Hafiz antar aku ke rumah lamaku saja ya." Kataku dan Hafiz menggelengkan kepalanya.
"Mbak di sini saja, Hafiz juga tenang ninggalin mbak Al."
"Tapi Om."
"Sudah, turun yuk mbak, percaya mbak Mayor Andi dan mas Vino akan selesaikan semuanya, mbak juga harus yakin kalau bang Al nggak sebejat itu."
Aku turun dari mobil berjalan menuju pintu bersama Hafiz, Hafiz mengetuk pintu beberapa kali hingga suara pintu terbuka terdengar.
Ayah Dhika berdiri menatapku juga Hafiz, "Siapa yah?" Suara wanita yang selalu menyayangiku, Mommy Forza yang mendekati kami.
"Zia, Hafiz masuk." Kata Mommy Forza namun detik berikutnya, "Loh Zia kamu kenapa nak? Kamu nangis? Mana suamimu?." Aku tak bisa menjawab pertanyaan Mommy, tenggorokankku seperti tersumbat dan aku hanya bisa menangis.
Mommy Forza mendekatiku dan langsung memelukku, "Kenapa sayang? Jangan menangis nanti Mommy ikut menangis nak."
"Mom, ajak putri kita ke kamarnya, biarkan dia istirahat dulu, masuk dulu Fiz." Kata Ayah Dhika yang langsung di turuti Mommy juga Hafiz.
Mommy membawaku ke kamar mas Alvand, saat pintu kamar terbuka aroma parfume mas Alvand langsung tercium hidungku membuatku kembali teringat apa yang sudah dilakukannya tadi bersama bu Mitha.
"Kamu istirahat saja dulu ya nak, kalau besok sudah enakkan dan mau cerita maka ceritalah Mommy siap mendengarkannya." Kata Mommy mengusap kepalaku yang tertutup hijab dengan sayang.
Aku kembali memeluk Mommy, rasanya menenangkan bisa memeluk wanita yang sudah memberikan kasih sayangnya padaku ini. Aku melepaskan pelukan Mommy dan merebahkan tubuhku di atas ranjang, namun perutku terasa sangat mual, aku segera turun dari ranjang dan berlari ke kamar mandi.
Hoek hoek hoek
Aku memuntahkan isi perutku, Mommy datang menyusul dan memijat tengkukku, "Sudah enakkan?" Tanya Mommy dan aku mengangguk.
Mommy membawaku kembali ke ranjang, beliau menatapku dan tersenyum, "Kalau Mom periksa perut Zia boleh?" Tanya Mommy membuatku terkejut.
"Mom hanya mau memastikan apa dugaan Mom benar kalau cucu Mom sudah hadir di dalam sana."
"Iya Mom, Vina sudah memeriksanya siang tadi." Kataku menunduk.
Mommy kembali memelukku dan mencium keningku cukup lama, "Alhamdulillah akhirnya doa Mom terkabul, mulai sekarang kamu tinggal di sini ya karena Mom mau mengurus putri Mom ini, ini hamil pertama dan Zia belum ada pengalaman jadi di sini saja ya biar Mom dan Vina bisa memantau setiap hari." Kata Mommy tersenyum.
Bagaimana aku bisa tinggal di sini, setiap sudut rumah ini penuh dengan bayang mas Alvand terutama kamar ini, sepanjang jalan tadi aku sudah mantap memutuskan untuk pergi. Aku tak lagi mau melihat mas Alvand, rasanya sangat menyakitkan.
"Sekarang istirahat, Mom keluar ya." Aku mengangguk, Mommy mencium keningku kembali membuat dadaku makin sesak dibuatnya.
Aku tak lagi bisa berlama - lama di sini, aku harus segera pergi dan jangan sampai ada yang tahu. Aku tak lagi bisa berada dirumah ini terutama kamar ini karena setiap detiknya makin membuatku sakit.
Aku berjalan keluar kamar dengan pelan, menuruni tangga menuju lantai satu. Ayah, Mommy dan Hafiz masih berbincang di ruang tamu. Aku melangkahkan kakiku perlahan menuju garasi, aku bisa keluar dari sana karena seingatku tadi pintu garasi masih terbuka.
Benar saja pintu garasi terbuka, aku segera keluar lewat pintu garasi menuju gerbang utama disana ada dua satpam yang berjaga dan aku harus mencari alasan yang tepat agar mereka tak curiga.
"Malam bu Zia." Sapa pak Mamat.
"Malam pak, tolong bukakan gerbang saya mau keluar."
"Ibu jalan kaki? Bukannya tadi sama mas Hafiz ya?"
"Iya, Om Hafiz masih ada yang di bicarakan sama Ayah dan saya harus buru - buru pulang karena mas Al sudah menunggu di rumah." Kataku berdusta dan untung saja pak Mamat percaya.
Namun sebelum membuma gerbanh pak Mamat kembali menatapku, "Ibu naik taxi?" Aku mengangguk, "Di antar Jojo saja ya bu, sudah malam soalnya."
Aku segera menolaknya dengan berbagai alasan, mataku tak sengaja melihat pak Jojo mengangkat gagang telfon membuatku curiga akan menghubungi orang di dalam.
Aku memikirkan dengan cepat agar aku bisa keluar, aku sampai hilang kendali dan membentak pak Mamat agar membuka gerbang, dengan terpaksa pak Mamat membuka gerbang dan aku segera berlari keluar, untung saja ada taxi lewat yang segera aku hentikan.
Aku menaiki taxi menuju stasiun berharap masih ada kereta malam yang bisa aku naiki entah tujuan kemana yang penting aku bisa keluar dari Jakarta malam ini juga.
Sampai di stasiun aku segera menuju tempat penjualan tiket dan untung saja masih ada kereta yang akan datang 1 jam lagi tujuan ke Jawa Tengah, tapi sayangnya saat aku akan membeli tiket ternyata sudah habis terjual membuatku panik.
Di saat aku panik, aku di dekati seorang wanita muda sepertinya masih Mahasiswi.
"Maaf mbak, butuh tiket ke Jawa? Tujuan mana? Saya nggak jadi pergi mau jual tiket saya." Kata wanita itu membuatku lega dan tersenyum.
"Tiket mbak tujuan akhirnya mana?" Tanyaku balik.
"Saya belinya tujuan ke Brebes mbak." Jawabnya, Brebes? Lumayan lah cukup jauh dari Jakarta.
"Saya beli ya mbak." Kataku yang langsung mengambil uang di dompet dan memberikan pada wanita itu, aku menerima tiket tertulis nama Astuti, ini akan mempermudah pelarianku karena aku menaiki kereta bukan dengan identitasku.
"Terima kasih mbak." Kataku tersenyum, aku segera melangkahkan kaki ke kursi tunggu. Karena terburu - buru aku tak sengaja menabrak seseorang yang ternyata anggota kepolisian dan sialnya dia mengenalku karena teman Vino.
"Loh mbak Alvand disini? Mau kemana dan sama siapa?" Tanya pria di depanku dengan nametag Teguh, aku bingung harus jawab apa tapi sebisa mungkin jangan sampai membuatnya curiga.
Aku tersenyum, "Ada pekerjaan di luar kota." Kataku dan dia manggut - manggut tapi sepertinya belum puas dengan jawabanku, dia sepertinya curiga denganku mungkin karena wajahku yang masih sembab, pakaianku yang masih mengenakan seragam mengajarku dan juga aku yang tak membawa koper.
Keberuntungan lagi - lagi masih berpihak padaku, panggilan jika Kereta yang akan aku naiki segera datang membuatku bernafas lega.
"Maaf Iptu Teguh, saya duluan ya kereta yang akan saya naiki datang, permisi." Kataku segera melangkah pergi tanpa menunggu jawaban darinya.
Kereta datang dan aku segera menaikinya, aku masih bisa melihat jika Iptu Teguh masih menatap ke arah gerbong yang aku naiki dan aku berpura - pura tak melihatnya.
Kereta perlahan berjalan meninggalkan Stasiun, Iptu Teguh masih tetap berdiri belum juga pergi hingga kereta makin jauh dan Iptu Teguh tak terlihat lagi.
Aku menghembuskan nafasku lega, akhirnya aku bisa keluar dari Jakarta walau tujuan pastiku belum tahu akan kemana, mungkin selama beberapa hari aku akan di Brebes dahulu sambil memikirkan daerah mana yang akan menjadi tujuanku.
Aku memejamkan mataku, aku tak pernah membayangkan jika rumah tanggaku akan berakhir setragis ini. Mas Alvand menuduhku selingkuh dengan kak Agam tapi nyatanya dia sendiri yang selingkuh dengan bu Mitha.
"Maafkan bunda ya nak harus memisahkan kamu dengan Ayah, kita akan memulai hidup hanya berdua tanpa ada Ayah, jangan rewel ya nak bantu bunda melewati semua ini." Aku bergumam sambil mengusap perutku yang belum membesar, air mataku kembali turun membayangkan anakku lahir nanti tanpa Ayahnya.
Tapi mau bagaimana lagi, aku harus pergi karena aku benci dengan penghianatan, aku lebih memilih hidup dari nol dari pada hidup mewah tapi dihianati.