Aku berjalan keluar kamar membawa ponsel istriku, dia sedang menata makanan di atas meja makan dan aku mendekat.
"Dik ada pesan dari guru baru itu." Kataku sambil memberikan ponselnya dan dia menerimanya.
Aku menatapnya yang saat ini sedang membaca pesan, dadaku rasanya sesak melihat semua itu.
"Dik kamu nggak lupa kan sama pesan mas awal kita pindah kesini?" Tanyaku yang masih menatapnya, dia mengalihkan pandangannya dari ponsel ke arahku.
Istriku meletakkan ponselnya di atas meja dan tersenyum menatapku, "Zia masih ingat mas, insya Allah Zia akan selalu menjaga nama baik mas Alvand, nama baik kesatuan juga nama baik Zia." Jawabnya dan aku mengangguk, ada sedikit kelegaan istriku masih mengingat itu semua.
"Kalau begitu jangan terlalu dekat dengan guru itu, mas nggak mau ada berita tak mengenakkan jika ada rekan mas atau ibu persit yang melihatnya."
"Maaf mas, ini tadi kak Agam minta bertemu ada yang mau dia bicarakan tapi sudah Zia balas nggak bisa."
"Kalau memang penting suruh dia kesini mumpung ada mas di rumah, kalau mas nggak ada jangan pernah menerima tamu laki - laki selain keluarga."
"Iya mas, terima kasih." Katanya dan aku mengangguk kemudian melangkahkan kakiku kembali ke kamar mengambil handuk dan segera mandi.
Selesai mandi aku menuju meja makan karena istriku sudah menunggu di sana, aku duduk di sampingnya dan seperti biasa istriku mengambilkan nasi dan lauknya untukku.
Istriku mengurusku dengan baik, dia menjalankan semua kewajibannya sebagai seorang istri, hanya satu yang belum dia jalankan yaitu menyerahkan mahkotanya yang selama ini ia jaga.
Aku tak masalah karena aku sudah berjanji tak akan memintanya jika belum ada rasa cinta di antara kami.
Selesai makan istriku membereskan piring kotor dan juga menyimpan kembali sisa lauk, sedangkan aku masih duduk sambil membuka ponsel berselancar di dunia maya.
"Mas, kata kak Agam dia akan datang kesini, mas tetap di rumah kan nggak pergi?" Tanya istriku.
Aku mengangguk, "Mas di rumah, kalau ada panggilan komandan nanti mas minta Hafiz temani kamu." Kataku dan dia mengangguk.
"Nanti mas ikut duduk di samping Zia ya, jangan jauh dari Zia." Katanya lagi, aku kembali mengangguk.
Jujur aku bingung kalau memang istriku ada affair pasti nggak akan memintaku menemaninya duduk, pasti dia akan lebih senang duduk berdua tapi ini kenapa malah kebalikannya, apa foto - foto itu memang sengaja dikirim untuk membuat hubunganku dengan istriku renggang.
Ketukkan pintu menyadarkanku dari lamunan, aku lihat istriku berjalan menuju pintu untuk melihat siapa yang sudah mengetuk pintu.
Tak lama dia datang kembali, "Mas itu kak Agam sudah datang." Katanya dan aku mengangguk, melangkahkan kakiku menuju ruang tamu dimana ada pria itu.
"Mas kenalkan ini kak Agam dan kak Agam kenalkan ini mas Alvand suami Zia." Kata istriku, pria itu tampak terkejut beberapa saat.
Aku mengulurkan tanganku yang di sambut juga olehnya.
"Alvand."
"Agam, Cha kakak pikir suami kamu pria yang waktu itu jemput kamu."
Istriku menggeleng, "Bukan, dia Letda Hafiz anggota mas Alvand, silahkan duduk kak." Jawab istriku, oh jadi dia mengira Hafiz suami dari istriku ini.
"Sudah lama kenal istriku?" Tanyaku saat istriku sudah ke dapur untuk membuat minuman.
Dia mengangguk, "Sejak SMA, Acha adik kelas saya." Jawabnya.
"Acha?" Tanyaku lagi karena baru kali ini aku mendengar istriku di panggil Acha.
"Iya, maaf saya sudah terbiasa memanggilnya Acha walau dia sudah memintaku memanggil Zia tapi selalu saja nama Acha yang bisa aku ucapkan." Jawabnya sambil tersenyum.
Aku tak suka saat dia memanggil istriku Acha, sangat terlihat jika dia mengistimewakan istriku. Belum sempat aku bertanya lagi istriku sudahq datang membawa dua cangkir minuman dan juga toples biskuit.
Dia duduk di sampingku, aku sengaja meletakkan tanganku di bahu istriku, aku merangkulnya. Aku tahu ini berlebihan, aku hanya mau menunjukkan pada pria di depanku jika Zia istriku.
"Kak Agam mau bicara apa?" Tanya istriku.
Dia tampak menatap istriku membuatku kesal ingin mencolok kedua matanya itu jika saja istriku tak ada di sampingku.
"Pembahasan yang kemaren Cha, Ayah masih terus meminta jawaban." Jawab pria di depanku, maksudnya apa ini aku jadi penasaran di buatnya.
"Maaf kak, seperti yang Zia katakan kemarin, Zia nggak bisa kak."
Aku menatap istriku, ini ada apa sebenarnya kenapa bahasa mereka ambigu sekali membuatku makin penasaran.
"Tapi Cha__"
"Kakak harus bisa menerima semuanya, ini sudah takdir yang di gariskan Allah kak, Zia mohon kakak harus ikhlas menerimanya semoga itu yang terbaik." Jawab istriku yang lagi - lagi membuatku makin penasaran dengan apa yang mereka bicarakan.
"Baiklah kakak akan mencobanya, walau kakak nggak yakin Cha."
"Harus yakin, pasrahkan semua hanya sama Allah kak."
Mulutku rasanya sudah gatal sekali ingin bertanya apa yang mereka bicarakan, tapi rasa gengsiku karena takut di bilang kepo walaupun memang sebenarnya aku kepo membuatku menahan diri untuk tak bertanya.
"Silahkan minum dulu kak." Kata istriku, dia juga mengambilkan cangkir minuman untukku dan aku menerimanya.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Kami menatap ke pintu yang sudah ada Hafiz.
"Ada apa Fiz? Masuk sini." Kataku, Hafiz pun masuk.
"Siap izin, Kapten di panggil Mayor Andi untuk menghadap sekarang juga."
Aku mengangguk dan menatap istriku, aku bimbang harus meninggalkan istriku yang masih ada tamu tapi ini panggilan Mayor Andi yang tak bisa aku tolak.
"Mas menghadap Mayor Andi dulu ya dik, biar Hafiz yang temani kamu disini." Kataku dan istriku mengangguk.
"Fiz kamu tetap di sini temani mbakmu karena masih ada tamu laki - laki, jangan sampai ada gosip tak mengenakkan di asrama." Kataku yang melirik ke arah pria itu yang ternyata juga sedang menatapku.
"Siap Kapten akan saya temani mbak Al." Jawab Hafiz sambil tersenyum, aku tahu dia tersenyum pasti mengira aku sedang cemburu karena Hafiz tahu tamu istriku pria yang sering aku bicarakan dengannya.
"Mas pergi dik." Istriku seperti biasa mencium punggung tanganku dan aku pun mencium keningnya.
"Maaf saya tinggal." Kataku pada pria itu dan dia mengangguk, "Assalamualaikum." Pamitku kemudian melangkah keluar rumah.
"Waalaikumsalam."
Ragaku berada di depan Mayor Andi tapi pikiranku berkelana memikirkan istriku di rumah, walau Hafiz bisa aku percaya tetap saja aku tak tenang memikirkannya.
"Melamun terus kamu, jelas nggak yang saya bicarakan." Tepukan di bahu dan teguran Mayor Andi menyadarkanku.
"Siap salah, maaf tadi saya nggak fokus." Jawabku jujur.
"Kenapa lagi? Belum juga terungkap? Apa aku harus turun tangan membantumu?" Tanya Mayor Andi.
"Nggak usah Ndan, terima kasih atas tawarannya."
"Kalau butuh bantuan bilang saja jangan sungkan, kamu sudah seperti adikku Al." Mayor Andi menepuk pundakku.
Aku mengangguk dan tersenyum, "Siap Ndan, oya tadi mau bicara apa sama saya?" Tanyaku.
"Malas jelasin dari awal lagi Al, intinya kamu pilih anggotamu yang terbaik 10 orang untuk ikut lomba menembak."
"Siap, segera akan saya kasih daftar namanya, kalau begitu saya permisi Ndan." Pamitku dan Mayor Andi hanya mengagguk saja.
Aku kembali pulang ke rumah, sampai rumah pria itu sudah pulang dan Hafiz masih duduk di teras sambil menyesap teh manisnya.
"Enak banget ya." Kataku dan Hafiz nyengir memamerkan deretan giginya.
"Sudah selesai bang?"
Aku mengangguk, "Fiz bantu pilih 10 orang buat ikut lomba menembak, nanti pas apel ya." Kataku.
"Siap bang, kalau begitu saya balik ke barak ya. Bilangin mbak Al terima kasih teh manis dan biskuitnya." Kata Hafiz sambil berdiri.
"Semprul kamu Fiz, ngrepotin istriku saja."
"Kan nggak setiap hari bang, udah ah pergi dulu bang." Hafiz pergi, dia memang dekat denganku juga Zia, bahkan sama keluargaku juga dekat, Vina pernah menyelamatkan Hafiz dari wanita ular yang menipunya, untung saja Hafiz belum habis banyak.
Aku memasuki rumah yang langsung di sambut senyuman manis istriku, entah apa yang istriku dan pria itu bicarakan saat aku pergi. Aku tak mau bertanya karena lagi dan lagi gengsiku terlalu besar.