Seminggu sejak kedatangan pria itu ke rumah aku tak lagi melihat dia mengirim pesan ataupun mendekati istriku, seperti pagi ini saat aku mengantar istriku ke sekolah untuk mengajar, pria itu berjalan biasa saja tak mengejar istriku lagi seperti biasanya yang sering aku lihat.
Ada kelegaan dalam diriku melihat mereka tak lagi dekat, pembicaraan apa yang mereka bicarakan saat dirumah pun aku sampai sekarang belum juga tahu, Hafiz bilang saat aku pergi tak lama pria itu juga pergi jadi tak ada pembicaraan apapun lagi.
Teror foto itu masih tetap berlanjut, tapi sudah tak aku hiraukan lagi, aku masih menunggu perkembangan dari Vino yang menyelidiki pengirim foto itu.
Aku kembali ke Yon setelah mengantarkan istriku, hari ini terakhir aku melatih tembak karena lusa 10 anggota terbaikku harus sudah berangkat ke Bandung.
Aku duduk di samping Mayor Andi memperhatikan anggota yang sedang berlatih tembak.
"Lusa kamu ikut ke Bandung Al mengantar mereka, abang nggak bisa pergi." Kata Mayor Andi.
"Siap Ndan."
"Belum juga ketemu pelakunya?" Mayor Andi menatapku, aku menggeleng.
"Papah mertua tanya terus Al, beliau bahkan mau turun tangan langsung, betapa sayangnya Papah mertuaku itu sama kamu Al." Mayor Andi tertawa kecil.
Aku tersenyum, Appa Reno memang sangat menyayangiku seperti anaknya sendiri. Jadi Mayor Andi menantu Appa Reno, beliau menikahi putri Appa Reno yang selisih usianya 10 tahun.
Perjodohan yang awalnya di tentang oleh keduanya tapi sekarang malah mereka tak bisa terpisahkan, Mayor Andi bucin akut seperti Ayah, Appa Reno dan Appa Dimas yang bucin pada istri mereka walau usia sudah semakin menua keromantisan mereka tak berkurang sedikitpun. Aku juga berharap bisa begitu pada istriku, tapi entahlah bisa atau nggak karena hingga saat ini cinta itu belum juga hadir di antara kami.
"Abang sih cerita segala sama Appa, Al nggak mau membuat mereka kepikiran bang."
"Maaf abang nggak sengaja, tapi tenang saja Ayah Dhika atau Papa Dimas nggak tahu kok." Aku hanya mengangguk saja.
Ponselku berbunyi ada notif pesan masuk, aku segera membukanya dan lagi pesan dari nomor itu mengirim foto tadinya aku tak mau mengunduhnya tapi melihat tulisan di bawahnya membuatku penasaran untuk mengunduhnya.
08xxxx
Segera datang ke Hotel mentari istri tercintamu disana dengan pria yang dia cintai.
Dadaku berdenyut nyeri seperti di hantam batu besar membaca pesan itu, amarahku sudah tak lagi sanggup aku tahan, aku harus datang kesana saat ini juga. Aku menoleh ke Mayor Andi yang masih serius melihat anggota latihan.
"Bang."
"Pergilah jika itu penting, kontrol amarahmu ingat jaga nama baik kesatuan." Mayor Andi seakan tahu apa yang akan aku katakan, aku mengangguk.
"Terima kasih bang, Alvand pergi dulu." Pamitku.
"Hati - hati dijalan."
Aku langsung berlari menuju mobilku dan segera melajukannya ke Hotel Mentari dimana menurut pesan itu istriku sedang berada di sana.
Tiba di Hotel mentari kembali ponselku berbunyi.
08xxxx
Kamar 305 lantai 5, istrimu di sana.
Aku segera masuk lift, mengurungkan niatku bertanya pada resepsionis. Aku tekan tombol menuju lantai 5, pintu lift terbuka dan aku segera mencari nomor kamar 305.
Aku menemukannya, pintu sedikit terbuka dan aku segera masuk ke dalamnya pelan - pelan.
Mataku langsung melihat dua manusia berbeda kelamin itu, Zia istriku duduk di sofa sedangkan pria itu berlutut di depannya menatap dengan sangat memuja membuat darahku langsung mendidih, amarahku sudah mencapai ambang batas, aku sudah tak lagi bisa menahannya.
"ZIA!!!." teriakku, membuat dua manusia itu menoleh dengan terkejut.
"Mas Alvand." Istriku berdiri begitu juga dengan pria itu, istriku berjalan mendekatiku.
"Berhenti di situ!" Seruku, aku tak mau dia mendekatiku.
"Mas__" aku mengangkat tanganku memintanya untuk diam.
"Aku selalu mengabaikan berita tentang kalian berdua yang bermain di belakangku, aku percaya sama kamu Zia kalau kamu wanita baik yang tak akan mempermalukanku ataupun menghianatiku tapi dengan apa yang aku lihat saat ini sepertinya aku salah menilaimu." Aku menatap tajam mereka berdua.
"Kamu salah paham mas, Zia nggak ada hubungan apapun sama kak Agam, Zia kesini__"
"CUKUP! tak perlu susah payah membuat alasan Zia, aku kecewa Zia." Aku segera melangkah pergi meninggalkan mereka.
"Mas tunggu, dengarkan Zia mas." Istriku berlari dan menarik tanganku, aku menghentikkan langkahku.
"Nggak ada yang perlu aku dengarkan semuanya sudah cukup jelas." Kataku sembari melepaskan tangannya yang memegang tanganku, aku kembali berjalan meninggalkan dia yang masih berdiri diam mematung.
Aku dengar suara isak tangisnya, sejujurnya aku tak tega melihatnya menangis. Dia yang menangis, tapi aku juga yang merasakan sakitnya.
Aku melajukan mobilku dengan kecapatan tinggi, aku sudah tak peduli jika aku bisa mati karena mengebut. Hatiku masih terasa panas, bayangan setiap foto yang dikirim ke ponselku dan juga apa yang aku lihat tadi di kamar hotel membuat darahku makin mendidih.
Sampai di Yon aku segera menuju area berlatih tinju dan beladiri lainnya, aku lampiaskan amarahku dengan terus memukul samsak hingga seragam loreng kebanggaanku basah oleh keringat.
"Keluarkan semua amarahmu itu Al, jika itu membuatmu tenang." Aku menghentikan pukulanku saat mendengar seseorang bicara padaku.
Aku menoleh ke belakang disana ada Mayor Andi, Vino dan Hafiz tengah berdiri menatapku, entah dari kapan mereka bertiga ada di sini.
"Abang sengaja menghubungi Vino, perasaan abang nggak enak sejak kamu pergi meninggalkan laptem." Kata Mayor Andi.
"Ada apa bang? Sudah Vino bilangkan tahan amarah abang sebelum pelakunya ketemu."
Aku hanya diam saja tak ingin menjawab, bagaimana mungkin aku bisa bercerita jika istriku sedang berduaan di dalam hotel dengan pria lain. Aku masih harus menjaga nama baiknya di depan mereka.
"Apa kamu sudah menghabisi pria bernama Agam itu?" Aku terkejut mendengar pertanyaan Mayor Andi, aku menggelengkan kepalaku.
"Bagus, berarti kamu bisa mengendalikan diri kamu sendiri. Sekarang pulanglah dengarkan penjelasan istrimu, apa yang kamu lihat tadi tak seperti apa yang ada dalam pikiran kotormu itu Al."
"Maksud abang?"
"Abang sudah tahu semuanya, maaf kalau tadi abang dan Hafiz mengikutimu. Vino juga datang tadi dia yang membawa istrimu pulang, sekarang pulanglah temui istrimu." Kata Mayor Andi lagi.
Aku mengangguk dan melangkahkan kaki untuk pulang kerumah, aku tak tahu maksud dari Mayor Andi yang mengatakan sudah tahu semuanya, apa dia tahu jika Zia selingkuh? Jika iya tamat sudah, nama baik yang sudah aku bangun dengan susah payah hancur dalam sekejap.
Sampai di rumah setelah melepas sepatu aku segera masuk, Zia istriku yang tadinya sedang duduk di sofa langsung berdiri dan netra kami saling bertemu.
Wajahnya sembab, sisa air matanya masih terlihat aku tak tega melihatnya, pertahananku bisa runtuh jika terus berada di depannya. Aku segera berjalan memasuki kamar dan dia mengekoriku ikut masuk kamar.
"Mas."
"Aku lelah ingin istirahat." Jawabku yang langsung merebahkan tubuhku diatas ranjang membelakanginya.
"Mas, apa yang kamu lihat itu nggak seperti yang kamu pikirkan mas." Katanya dan aku tetap diam tak ingin menanggapinya.
"Kak Agam meminta tolong aku untuk menemaninya bertemu dengan calon istrinya mas, aku__"
"Apa harus di kamar hotel." Kataku yang masih membelakanginya.
"Calon istri kak Agam menginap di situ mas, Zia dan Kak Agam akan menjemput dia untuk makan siang di luar tapi saat akan berangkat Maya calon istri kak Agam perutnya mulas dan dia ke kamar mandi sebentar, saat Maya di kamar mandi mas datang."
"Benarkah? Lalu apa yang kalian lakukan saat aku datang, kenapa pria itu berlutut di depanmu, jawab Zia." kataku menggebu.
"Itu...itu kak Agam__"
"Bingung menjawab?" Aku bangun dan duduk bersandar pada ranjang menatapnya yang masih berdiri menunduk.
"Kami nggak melakukan apapun mas, Zia berani bersumpah demi apapun." Dia mendekat dan duduk di tepi ranjang, tangannya meraih tanganku namun segera aku tepis.
"Mustahil dua manusia berbeda kelamin berada dalam satu ruangan tak melakukan apapun, jangan kamu pikir aku nggak tahu jika pria bernama Agam itu menyukaimu Zia, aku selalu melihatnya menatapmu dengan sangat memuja."
"Zia berani bersumpah mas, Zia nggak melakukan apapun, apa yang harus Zia lakukan agar mas percaya dan mau memaafkan Zia?" Katanya dengan air mata yang terus keluar, aku memang kejam sudah membuat istriku menangis tapi aku juga merasakan sakitnya di setiap tetes air mata yang keluar itu.
"Buktikan apa yang menurut kamu harus dibuktikan agar aku bisa percaya." Kataku dengan menekan setiap katanya.
Dia tampak diam memikirkan apa yang aku katakan, cukup lama keheningan di antara kami berdua hingga dia bersuara.
"Baiklah mas, kalau kamu mau aku membuktikannya maka akan aku buktikan saat ini juga." Kata dia dan aku menatapnya.
"Buktikan." Kataku.
Dia berdiri melepas jilbabnya, aku menatapnya bingung dengan apa yang akan dia buktikan kenapa malah melepas jilbabnya. Belum terjawab pertanyaan dalam hatiku, selanjutnya apa yang dilakukan Zia membuatku makin terkejut.
Zia menurunkan resleting gamis yang dia pakai, terlihat jelas bagian dalam yang tak pernah aku lihat, putih bersih.
"Zia akan buktikan jika Zia masih suci, masih menjaga dengan baik mahkota Zia hanya untukmu seorang mas." Zia menatapku dan detik berikutnya gamis yang membalut tubuhnya terlepas.
Tubuhku menegang, jantungku berdetak makin kencang, ini pertama kalinya aku melihat tubuhnya tanpa penutup. Zia mendekatiku, menaiki ranjang dan menatapku, Zia mengecup bibirku sekilas.
"Miliki Zia seutuhnya mas, Zia sudah siap, buktikan jika Zia memang sudah menjaga dengan baik hanya untuk mas Alvand seorang." Katanya lagi.
"Kamu yakin?" Tanyaku dan dia tersenyum lalu mengangguk.
"Bismillah Zia sudah yakin mas, Zia sudah jatuh cinta sama mas Alvand." Katanya membuatku kembali terkejut, Zia sudah mencintaiku sedangkan aku masih ragu dengan semuanya.
Aku menatap wajahnya, "Baiklah jika kamu sudah yakin." Kataku, lalu menarik tubuhnya lebih dekat denganku, melumat perlahan bibir manisnya.
Hari ini aku membuktikan jika Zia istriku menjaga mahkotanya dengan baik untukku, hari ini kami menyatu meskipun aku belum mengungkapkan rasa cintaku, hari ini pula aku menyesali kebodohanku karena meragukan istriku sendiri, hari ini awal rumah tangga yang sesungguhnya antara aku dan Zia istriku.