Pagi ini seperti biasanya aku mengantar istriku mengajar, sepanjang perjalanan hanya ada kesunyian. Baik aku atau istriku tak berminat memulai pembicaraan, aku sibuk dengan rumitnya pikiranku dan istriku entah sedang memikirkan apa, padangannya terus menatap keluar di samping kirinya.
Sampai di depan gerbang Sekolah istriku berpamitan seperti biasanya mencium punggung tanganku dan aku mencium keningnya lalu dia turun dari mobil.
Aku harus bersikap seperti biasanya sebelum identitas pengirim foto itu di ketahui, walau rasanya masih sesak setiap melihat wajah istriku maka bayangan foto - foto itu terlintas di kepalaku.
Saat aku akan melajukan mobil tak sengaja mataku melihat seorang pria yang mirip di foto berlari mendekati istriku yang sedang berjalan. Aku melihat interaksi mereka, istriku tampak menunduk sambil terus berjalan sedangkan pria itu terlihat terus bicara dan pandangan matanya berpusat pada istriku, membuatku ingin mencongkel kedua matanya saat ini juga.
Aku melajukan mobil saat istriku sudah tak terlihat lagi, rasanya d**a ini amat sangat sesak dan nyeri melihat ada pria lain yang menatap seperti itu pada istriku, hanya aku yang boleh menatap istriku.
Sampai di Yon aku segera memimpin anggota untuk apel gelar persiapan Garjas (Kesegaran Jasmani).
Garjas berlaku bagi setiap Prajurit TNI AD untuk mengikuti Seleksi Pendidikan (Seldik), Usul Kenaikan Pangkat (UKP), Uji Kompetensi Jabatan dan tes jasmani periodik setiap enam bulan sekali.
Selesai Garjas aku tak langsung pulang ke rumah, aku lebih memilih duduk di tepi lapangan. Ponselku bergetar ada notif pesan masuk dan segera aku buka.
Lagi dan lagi pesan berisi foto istriku bersama pria itu, kali ini mereka seperti sedang berada di tempat foto copy karena terlihat istriku yang berdiri di depan etalase, juga terlihat abangnya yang sedang berdiri di samping mesin foto kopi.
Pria itu berdiri di samping istriku, pandangan matanya menatap istriku sedangkan yang di tatap menunduk saja seperti tak menyadarinya.
"Masih belum terungkap juga?" Tanya seseorang di belakangku, aku menoleh yang ternyata Mayor Andi beliau lalu duduk di sampingku.
Aku menggeleng, "Nama pemilik nomor itu sudah tahu, seorang supir angkot yang meminjamkan identitasnya dengan imbalan uang 500.000." Jawabku, Mayor Andi manggut - manggut.
"Pintar juga dia ya menggunakan identitas orang lain, terus sudah tanya sama dik Zia mengenai pria itu?" Tanya Mayor Andi.
Aku mengangguk, "Sudah, namanya Agam dia guru baru juga kakak kelas istri saya Ndan."
"Ingat pesan abang Al, sebelum tahu identitas si pengirim foto dan apa motifnya jangan pernah menunjukkan di depan umum mengenai keadaan rumah tangga kalian, biasa saja agar orang yang berniat jahat heran dan kemudian menyerah sendiri, dia merasa kalah karena usahanya gagal."
Aku manggut - manggut mendengar nasehat dari Mayor Andi, beliau benar kalau aku harus menunjukkan pada semua orang bahwa rumah tanggaku baik - baik saja tak ada masalah apapun.
"Pulang, istrimu pasti sudah menunggu Al, jangan jadi pejaga lapangan." Kata Mayor Andi menepuk bahuku lalu berdiri, aku pun mengangguk dan ikut berdiri berjalan bersama Mayor Andi untuk pulang.
Mayor Andi sudah seperti kakak untukku, beliau selalu memberi nasihat yang baik. Aku beruntung memiliki komandan yang sangat perhatian dan peduli.
Sampai di depan rumah aku melihat pintu rumah sudah terbuka itu berarti istriku sudah pulang mengajar.
Aku melangkahkan kakiku memasuki rumah, aroma masakan sudah tercium dan suara dentingan spatula juga wajan terdengar dari arah dapur, istriku sedang memasak. Aku tersenyum miris dengan kegalauan yanga aku rasakan saat ini.
Hatiku mengatakan istriku tak akan mungkin melakukan sesuatu yang menjijikan, aku percaya dengan hatiku tapi logikaku juga percaya dengan apa yang mataku lihat. Istriku nggak akan bisa sedekat itu pada lawan jenis kalau memang dia belum mengenal dekat, jadi kesimpulannya mereka dekat.
Dulu saat bersama Hafiz dan Vino juga dia begitu, awal dekat dia hanya diam dan menunduk saat sudah lumayan lama mengenal istriku baru mau banyak bicara dan juga menatap.
Aku berjalan menuju dapur, melihat istriku yang masih membelakangiku. Dia belum menyadari jika aku sudah pulang, sayup - sayup terdengar dia sedang bershalawat dengan suara indahnya membuat sudut bibirku terangkat, betapa solekhanya istriku masak saja sambil bershalawat.
Jadi, apa mungkin foto - foto itu suatu kebenaran atau memang hanya sebuah kebohongan agar aku murka pada istriku. Foto yang di dapat karena suatu kebetulan dimana ada istriku di situ ada pria yang bernama Agam? Aku harap memang begitu.
Aku berjalan makin mendekati istriku, aku menyusupkan kedua tanganku di pinggangnya untuk memeluknya dari belakang, dia tampak berjingkat kaget dan menoleh kebelakang. Saat melihatku dia tersenyum, senyum yang sangat manis.
Aku mempererat pelukanku, mencium lehernya yang tertutup jilbab kemudian mencium pipinya. Istriku tampak terkejut dengan apa yang aku lakukan saat ini, karena ini kali pertama aku mencium pipinya semenjak kita menikah.
Aku pun bingung pada diriku sendiri kenapa tiba-tiba saja ingin memeluk istriku, menghirup aroma tubuhnya yang selalu membuatku nayaman.
"Sudah pulang mas? Kenapa nggak ucap salam." Kata istriku, tangan kanannya sesekali masih mengaduk masakkan dan tangan kirinya dengan lembur mengusap tanganku.
"Maaf, mas sampai lupa karena terpesona lihat istri mas yang sedang memasak di dapur." Jawabku yang masih terus memeluknya.
"Kenapa?" Tanya istriku
"Apanya?"
"Kamu kenapa mas, tumbenan peluk Zia, tadi sampai kaget loh Zia."
"Nggak apa dik, mas pengin peluk istri mas saja, cape habis Garjas."
"Mau Zia buatkan kopi apa teh?"
Aku menggeleng, "Nggak usah dik, mas hanya mau peluk kamu, kalau haus mas ambil sendiri." Jawabku.
Ya memang benar aku tak menginginkan apa pun selain memeluk istriku ini, ada rasa takut dalam diriku ini. Takut jika benar dia ada affair dan kemudian pergi meninggalkanku, rasanya aku tak sanggup.
Darahku langsung mendidih dan dadaku terasa sesak saat melihat istriku dekat dengan pria lain, tapi aku selalu merasakan desiran aneh dalam tubuhku dan juga jantungku yang tak tau diri berdetak makin cepat saat berada di dekatnya.
Perasaan apa yang aku rasakan saat ini aku tak tahu, Mayor Andi dan Vino bilang itu rasa cemburu dan cinta. Tapi aku masih menyangkalnya, aku belum mencintai istriku dan rasa sesak itu bukan cemburu tapi entah apa akupun bingung.
Zia istriku dia sangat berarti untukku, dia hanya milikku dan aku tak mau jika ada yang mencoba mengganggu milikku.
"Lepasin dulu mas, Zia mau bawa makanannya ke meja makan, mas mau mandi dulu apa langsung makan?" Tanya istriku membuyarkan lamunanku.
"Mas mandi dulu dik, gerah juga habis Garjas terus temani kamu masak di dapur." Kataku yang melepaskan pelukan.
Istriku mengangguk dan membalikkan tubuhnya menghadapku, "Ya sudah Zia siapkan pakaian gantinya ya." Dia kembali tersenyum, mata kami saling bertemu.
Jantungku sudah jedag jedug tak karuan saat mata indah itu menatapku, tatapan kami saling mengunci hingga beberapa detik kemudian entah setan mana yang merasukiku, mataku melihat bibir sexynya dan saat itu juga aku mengecupnya sekilas, hanya beberapa detik tak ada lumatan ataupun saling tukar saliva.
Tubuh istriku tampak membeku, matanya masih menatapku. Aku tersenyum, "Maaf dik kalau mas sudah kelewatan, bibir kamu dari tadi menggoda mas minta cium." Kataku dan istriku langsung mencubit tanganku.
"Alasan saja kamu mas, sudah sana mandi, ambil handuk baru dilemari mas, Zia bereskan makanan dulu." Aku mengangguk dan tersenyum lagi, istriku nggak marah dan juga nggak menolak saat aku cium, aku bahagia hanya karena hal seperti itu yang bisa saja di lakukan sama pasangan yang baru pacaran.
Aku memasuki kamar untuk mengambil handuk, belum juga aku membuka lemari suara notif pesan masuk berasal dari ponsel istriku.
Aku berjalan menuju nakas, mengambil ponsel istriku dan membukanya. Pesan masuk dari pria itu lagi.
Kak Agam 2 message