"Al.” Dia menatapku, tatapan yang membuatku sangat risi, tatapan yang sangat terlihat begitu memujaku.
“Ya.” Jawabku malas.
“Kenapa Al.” Aku menatapnya bingung, aku melihat tatapan matanya yang sendu.
“Apa?” kataku lagi.
“Kenapa aku yang sudah menyatakan perasaanku padamu sejak dulu dan hingga sekarang masih menunggu kamu, tapi kamu malah menikahi orang yang baru kamu temui, kenapa Al? Apa kurangnya aku, jawab Al.” Kata Mitha yang sudah menangis dengan suara yang makin tinggi membuat perhatian para tamu dan pastinya istriku yang saat ini menatapku juga.
Ya benar, orang yang tak aku harapkan kedatangannya yaitu Mitha. Bukan karena aku membencinya tapi aku memang tak nyaman jika berada di dekatnya, dia sudah sering kali mengungkapkan perasaannya padaku sejak masih berseragam putih abu – abu tapi aku tak pernah menanggapinya, aku selalu berusaha menjauhinya.
Dia tak kurang apapun, aku akui dia cantik, pintar dan dia juga anak pengusaha sukses yang juga menjadi donatur di yayasan tempat istriku menjadi guru sama sepertinya yang juga guru di sana karena memang Mitha lebih tertarik menjadi guru dari pada melanjutkan bisnis orang tuanya.
Aku menggeleng, “Kamu nggak kurang apapun Mitha, kamu sempurna sebagai wanita.” Kataku, aku melirik istriku yang wajahnya masih terlihat syok, aku menggenggam tangannya dan dia menatapku.
Aku tersenyum pada istriku, “Tapi bukan mataku yang memilih Zia untuk menjadi istriku, hatikulah yang sudah memilih Zia dan aku tak bisa menolaknya, dia yang sudah hatiku pilih meskipun aku belum pernah melihat wajahnya.” Jawabku, istriku masih diam menatapku tapi tangannya terasa membalas genggaman tanganku.
“Kamu jahat Al sudah membuatku berharap ta__”
“Aku nggak pernah memberimu harapan Mitha.” Aku segera memotong perkataannya dan menatapnya.
“Kamu nggak pernah menjawab setiap kali aku menyatakan perasaan Al.” Teriak Mitha lagi membuatku pusing, malu? Pasti, aku sangat malu dengan drama yang di buat Mitha karena sekarang kami menjadi pusat perhatian, bahkan Ayah dan Mommy juga menatapku seakan meminta penjelasan.
“Sorry, aku sengaja nggak jawab karena aku memang tak memiliki rasa apapun denganmu dan aku juga nggak mau menyakitimu karena penolakanku, jadi aku lebih memilih diam.” Jawabku ,”Mitha aku mohon turunlah dari sini, ini hari bahagia aku dan Zia, jangan rusak dengan drama yang kau buat ini.” Kataku tegas, aku nggak mau drama ini berlanjut terlalu lama lagi.
“Kamu jahat Al.” Mitha menatapku lalu menatap istriku, aku sudah waspada bersiap takut Mitha menyakiti istriku karena tatapannya penuh amarah.
“Selamat bu Zia anda sudah berhasil merebut pria yang aku cintai.” Mitha pergi setelah mengucapkan itu pada istriku.
Aku memeluk pinggang istriku dan tersenyum, “Maaf dik kamu harus lihat drama menjijikan ini, mas akan selalu ada dan menjagamu.” Istriku hanya mengangguk dan tersenyum, senyum yang aku yakini ia paksakan.
Acara Resepsi selesai juga dan saat ini aku sudah di dalam kamar hotel bersama istriku, sebenarnya aku mau langsung membawa pulang istriku ke Rumdin tapi Mommy melarang dan memintaku untuk besok saja ke Rumdin khusus malam ini kami di suruh bersenang – senang di kamar hotel yang sudah Mommy booking.
Pintu kamar mandi terbuka, istriku sudah mengenakan piyama tidurnya dan jilbabnya masih saja dipakai padahal aku sudah halal melihatnya. Dia duduk disisi ranjang yang satunya, aku menatapnya yang masih saja lebih suka menunduk dari pada melihatku.
“Dibawah ada apa sih dik.” Tanyaku yang membuatnya menoleh ke arahku.
“Maksudnya?”
“Di bawah ada apa? Kenapa kamu suka banget lihat ke bawah, apa suamimu ini kurang menarik, kurang tampan atau__” belum selesai aku bicara istriku dengan cepat menggeleng.
“Nggak ko mas, maaf aku hanya belum terbiasa saja.” Jawabnya, aku tersenyum dan bergeser mendekatinya, saat tanganku menyentuh jemari lembutnya tubuh dia langsung menegang, sebenarnya bukan hanya dia yang tegang tapi aku juga, ini kali pertama aku berada dalam satu kamar bersama wanita selain keluargaku, aku berusaha untuk serileks mungkin agar istriku tak tahu jika aku juga sangat tegang.
“Dik.”
“Ya mas.”
“Kamu nggak usah khawatir, malam ini mas nggak akan meminta Hak mas sebagai suami, kita akan melakukannya saat cinta sudah tumbuh di antara kita, bohong kalau mas nggak menginginkannya, kamu tahu dik sejak kita sah menjadi suami istri mas mulai memikirkan malam indah yang akan kita lewati, bahkan saat resepsi mas selalu menatapmu karena mas sudah menginginkanmu tapi mas nggak bisa melakukannya, mas nggak mau kamu terpaksa hanya karena sudah menjadi kewajiban sebagai seorang istri, mas mau melakukannya jika kamu juga dengan suka rela memberikannya. Untuk saat ini kita seperti ini saja dulu menikmati masa pacaran yang belum pernah kita rasakan, menumbuhkan cinta di antara kita dulu, kamu mau kan dik?”
Istriku mengangguk, “ Tapi jika mas menginginkan sekarang aku siap mas, aku nggak mau berdosa karena menolak atau membuatmu tersiksa.”
Aku tersenyum membawanya dalam dekapanku dan dia nggak menolaknya, “Dosa itu kalau suami nggak ridho dik, sedangkan mas ridho, mas akan menunggu sampai kamu siap, mas nggak mau melakukannya sekarang, mas tahu kamu belum siap.”
“Terima kasih mas.” Jawabnya yang tanpa aku sangka dia membalas pelukanku.
“Dik, kita beneran kaya ABG yang lagi pacaran ya saling peluk begini cuman bedanya apa yang kita lakukan ini nggak dosa tapi dapat pahala.” Kataku yang di angguki olehnya, aku menyentuh ujung jilbab istriku dan dia menatapku.
“Mas mau lihat rambut indah kamu dik, apa boleh?” tanyaku, dia diam beberapa saat nampak berpikir lalu mengangguk dan aku pun tersenyum, aku melepas jilbabnya perlahan hingga rambut indahnya terlihat.
Istriku cantik dengan rambut hitam sebatas bahu bahkan dia juga punya poni, sangat menggemaskan. Aku merapikan rambutnya dan dia hanya menunduk saja, kulit lehernya putih bersih, rambutnya harum vanilla.
“Cantik.” Kataku menatapnya, jariku mengangkat dagunya perlahan agar dia juga menatapku, mata kami saling bertemu dan mengunci, mata istriku sangat indah aku suka saat mata ini menatapku.
Aku tersenyum, “Mulai saat ini jangan suka menunduk ya, mas suka saat mata indahmu menatap mas.” Dia tersenyum dan mengangguk, “Mas juga suka aroma rambut kamu dik.” Lanjutku.
Aku mencium keningnya, aku pun tak tahu kenapa sekarang suka sekali menciumnya. Aku memeluknya erat, perlahan merebahkan tubuhnya, “Sudah malam tidur ya dik, besok kita pindah ke rumah dinas, biarkan tetap seperti ini tidurlah dalam pelukan mas semoga ini bisa menjadi awal yang baik untuk kita agar cinta kita cepat tumbuh.” Kataku yang hanya di angguki olehnya, aku biarkan tangan kananku menjadi bantal istriku dan tangan kiriku memeluknya, ternyata begini nikmatnya memiliki istri aku tersenyum sendiri.
Aku kembali mengecup keningnya cukup lama, “Good night my wife have a nice dream.” Kataku yang mulai memejamkan mata. Begini saja entah kenapa aku sudah sangat bahagia.
♡♡♡
“Mas bangun sudah subuh.” Aku merasakan ada yang mengusap bahuku membangunkanku, aku perlahan membuka mata dan langsung melihat mata indah bu guru cantik yang saat ini sudah menjadi istriku, wanita yang halal untuk aku sentuh.
Aku tersenyum dan kembali tiba – tiba saja aku mencium keningnya membuat tubuh istriku yang masih berada dalam pelukanku menegang, “Good morning my wife.” Sapaku.
Malam tadi aku tidur dengan sangat pulas, walau tangan berasa kebas karena menjadi bantal semalaman untuk istriku tapi tak masalah , baru kali ini aku merasakan tidur dengan nyenyak sama persis saat aku tidur bersama Ayah dan Mommy dulu, apa aku sudah benar – benar menemukan rumah untuk pulang? Aku harap begitu, wanita yang saat ini ada dalam pelukanku bisa menjadi rumahku dan alasanku untuk pulang.
“Morning.” Jawabnya tersenyum.
“Kamu duluan bersih – bersih dan ambil wudhu dik, nanti gantian.” Kataku melepaskan pelukan dan dia mengangguk, mulai bangun dan berjalan ke kamar mandi, aku menatap punggungnya yang saat ini sudah tak terlihat lagi.
Pernikahan kami memang sangat mendadak dan belum ada rasa cinta di antara kami, tapi aku sedang berusaha menumbuhkan rasa cinta itu dengan berbagai hal kecil yang sedikit demi sedikit bisa menimbulkan debaran aneh. Semoga saja rasa cinta itu segera hadir di antara kami, harapanku memiliki rumah tangga yang bahagia bersama istriku sedang aku perjuangkan.
Pintu kamar mandi terbuka, istriku keluar dan segera menyiapkan peralatan Shalat, aku turun dari ranjang untuk mengambil wudhu.
Ini Shalat subuh pertamaku mengimami istriku, rasanya ada sesuatu yang beda aku rasakan di dadaku, rasa bahagia, haru dan entahlah rasa apa lagi.
Selesai salam dan berdoa sejenak aku membalikkan badanku menghadap istriku yang jadi makmum, dia mengulurkan tangannya dan aku sambut, lalu dia mencium punggung tanganku.
Aku tersenyum, lalu mencium keningnya lagi entah kenapa sekarang aku suka sekali menciumnya, “Terima kasih ya dik sudah mau menjadi makmum mas.” Kataku dan dia tersenyum sangat manis kemudian mengangguk.
“Dik kita siap – siap ya nanti selesai sarapan langsung jalan ke rumdin.”
‘”Nggak mampir dulu ke rumah Ayah mas?”
“Kita langsung ke rumdin naruh bawaan dulu baru ke rumah Ayah ya.” Istriku hanya mengangguk dan membereskan bawaan kami.
Selesai sarapan aku dan istriku berangkat menuju rumdin yang sudah aku bersihkan dan aku isi beberapa peralatan yang istriku butuhkan walaupun nggak terlalu lengkap karena aku tak tahu apa saja yang dia butuhkan.
Sampai dirumdin yang akan kami tempati aku mengajaknya turun dan memasuki rumdin, “Ini rumah kecil kita yang akan menjadi saksi hidup kita selama mas masih bertugas di sini, mungkin suatu hari nanti kita akan merasakan suasana rumah yang baru lagi, jangan lelah dampingi mas dalam bertugas ya dik, kita akan mulai membangun rumah tangga yang bahagia dari sini bersama – sama.” Aku merangkul bahunya dan dia tersenyum menatapku.
“Ekhem, pengantin baru mesra – mesraan di depan pintu bikin pengantin lama iri saja.” Aku menoleh ke sumber suara yang ternyata seniorku Mayor Andi, aku tersenyum padanya.
“Pengantin lama juga rasa baru terus setiap hari bang.”
“Harus itu Al, sudah wajib hukumnya, baru sampai?”
“Iya ini bang, nanti kami main ke abang sekarang mau bebenah rumah dulu.” Kataku.
“Siap di tunggu.”
Aku dan istriku memasuki rumdin, aku langsung menunjukkan setiap sisi rumah ini, “Ini kamar kita, semoga kamu betah ya dik, maaf mas baru bisa bawa kamu tinggal di rumdin.”
“Insya Allah Zia betah mas, mau tinggal dimana pun asal bersama orang yang halal insya Allah betah.” Katanya tersenyum, adem banget dengar istriku bicara seperti itu.
“Nanti sepulang dari rumah Ayah kita mampir ke toko kue, beli buat kita bawa saat berkunjung ke rumah atasan mas.”
“Iya mas.”
“Dik, sekarang kamu nggak cuman bawa nama baikmu tapi juga nama baik mas, selalu berpikir dengan baik saat akan melakukan sesuatu, jangan suka kumpul dengan ibu asrama yang lain jika hanya bergosip tapi kalau untuk kegiatan persit silakan mas nggak larang, pintar bergaul dan memilih yang memang bisa memberi kebaikan buatmu bukan malah membawamu pada masalah, hanya itu pesan mas.”
“Iya mas insya Allah akan Zia ingat selalu pesan mas.” Jawabnya tersenyum