Zia Pov
Sudah dua minggu aku tinggal di rumdin mas Alvand itu berarti sudah dua minggu juga kami menikah, aku sudah aktif kembali mengajar. Rumah tangga yang aku jalani dengannya semakin hari semakin baik, mas Alvand selalu berbuat manis membuatku merasakan ada rasa baru yang mulai muncul dalam hatiku, rasa yang tak pernah aku rasakan sebelumnya pada siapapun.
Nyaman? Itu sudah pasti karena mas Alvand memperlakukanku dengan baik, dia menepati semua ucapannya.
Aku memang tak pernah menyangka dan membayangkan akan menikah dalam waktu dekat dengan seorang Tentara, semuanya terasa tiba – tiba dan mendadak. Tapi aku bersyukur karena aku mendapatkan pria yang sangat baik, aku tak salah mengambil keputusan menerimanya menjadi pendamping hidupku. Bukan cuman mas Alvand yang sangat baik padaku tapi seluruh keluarganya menerimaku dengan baik, bahkan Mommy dan Vina selalu menelfonku di sela kesibukan mereka menjadi dokter.
Sejujurnya aku masih penasaran dengan drama yang terjadi saat resepsi pernikahan, aku penasaran sama bu Mitha apa lagi sejak kejadian itu dia mendiamkanku jika saling berpapasan, bu Mitha yang biasanya ramah jika bertemu denganku sekarang berubah.
Aku menatap pria tampan berseragam loreng press body yang saat ini sedang makan dengan lahap sarapan yang aku buat, ya benar sekali dia pria tampan yang sudah menjadi suamiku. Dia memang tampan tubuhnya tinggi sekitar 180cm dan tegap, wajahnya bersih dan mulus meskipun tak terlalu putih itu wajar karena dia sering berpanasan saat di lapangan, hidungnya mancung, matanya tajam seperti elang yang jika memandang membuat orang merasa takut tapi aku justru sangat suka menatap matanya, rambut potongan khas prajurit yang selalu memakai pomade membuatnya makin rapi dan tampan, bibir tipisnya jika tersenyum sangat manis pantas saja jika bu Mitha begitu mencintainya.
“Mengagumi ketampanan suamimu ini Nyonya?” suara itu menyadarkanku dari lamunan, aku tersenyum dan mengangguk.
“Iya, suami aku memang tampan makanya banyak yang suka.” Dia terkekeh mendengar jawabanku.
“Tapi yang beruntung kamu karena hati suamimu ini tak tertarik dengan mereka semua.” Aku kembali tersenyum.
“Dik nanti mas nggak bisa jemput, tapi mas sudah minta tolong Hafiz buat jemput kamu, mas ada tugas bersama bang Andi mungkin pulang terlat.”
“Iya nggak papa mas, hati – hati ya jangan lupa beri kabar.”
“Pasti, kita berangkat sekarang?” aku mengangguk.
“Ayo mas.”
Sudah menjadi kegiatan rutin semenjak menikah, mas Alvand selalu mengantar jemput aku di sekolah jika tak bisa maka Om Hafiz yang akan menggantikannya. Mobil berhenti di depan gerbang sekolah.
“Zia pamit ya mas.” Kataku seperti biasanya, mencium punggung tangan pria yang sudah menjadi suamiku dan dia akan membalasnya dengan mencium keningku. Aku masih saja canggung saat mas Al mencium keningku padahal sejak kami resmi menikah mas Al suka sekali mencium keningku.
“Iya, semangat ngajarnya ya jaga hati dan mata kamu hanya untuk mas saja.” Katanya, hatiku menghangat mendengar mas Al mengatakan itu, aku pun mengangguk.
“Mas juga sama ya.” Dia mengangguk dan tersenyum, senyum yang sangat aku sukai, kami saling menatap hingga gedoran pintu mobil membuat kami terkejut.
“Al keluar.” Itu suara bu Mitha yang menggedor pintu mobil, mas Al menatapku seakan meminta izin untuk membuka pintu dan aku mengangguk.
“Buka saja mas, selesaikan jika memang ada yang perlu kalian selesaikan.” Kataku tersenyum, tapi hatiku entah kenapa seperti ada yang mencubit, sakit.
Mas Al mengangguk dan membuka pintu mobil, “Ada apa?” tanya mas Al, suaranya terdengar sangat dingin, berbeda saat bicara denganku yang begitu lembut.
“Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.”
“Bicara saja.”
“Nggak di sini dan hanya kita berdua tanpa ada orang lain yang mengganggu.” Mata bu Mitha melirikku dengan sinis.
“Maaf aku nggak bisa, selesai mengantar istriku aku ada tugas.”
“Kapan kamu bisanya?”
“Nggak tahu, jika mau bicaralah sama istriku nanti biar dia yang akan menyampaikannya padaku.”
“Nggak bisa Al, ini urusanku denganmu.”
“Kalau begitu katakan sekarang atau tunggu hingga aku ada waktu dan aku juga tak tahu kapan itu.”
Bu Mitha tampak diam menatap mas Al dan dia juga menatapku, “Nikahi aku Al.” Aku dan mas Al sama – sama terkejut mendengar perkataan bu Mitha.
“Kamu gila? Aku sudah punya istri dan perlu kamu tahu seorang prajurit hanya boleh memiliki satu orang istri.”
“Aku rela kamu nikahi secara sirih Al, aku tak apa asal bisa menikah denganmu.” Tangan bu Mitha memegang tangan mas Al namun ditepis mas Al saat itu juga.
“Sampai kapan pun aku nggak akan menduakan istri aku dan sampai kapan pun aku nggak akan menikahi kamu Mitha, kamu harus terima kalau aku sudah menikah.”
Mas Al bicara dengan tegas dan penuh penekanan, aku saja yang mendengarnya bergidik ngeri karena baru sekarang aku melihat mas Al emosi.
“Aku mohon Al, aku akan memberi apa pun untuk kamu Al.”
“Dik, sudah siang turunlah mas juga harus segera pergi.” Mas Al tak lagi menanggapi bu Mitha, aku pun mengangguk saat sudah membuka pintu mobil dan akan turun mas Al menarik tubuhku membawa dalam dekapannya.
“Jaga diri dik, jika Mitha membuat masalah asal tak sampai menyakitimu biarkan saja ya tapi tetap beritahu mas.” Bisik mas Al, aku mengangguk mendengar pesan dari mas Al.
Aku turun dari mobil setelah mas Al melepas pelukan dan kembali mencium keningku. Aku berjalan memasuki sekolah, tak lama terdengar suara mobil yang mulai jalan tak perlu menoleh pun aku tahu itu suara mobil mas Al.
Entah setan apa yang merasuki bu Mitha sampai dia mau berbuat serendah itu memohon untuk di nikahi pada Pria yang jelas sudah menikah. Sosok bu Mitha yang anggun dan berwibawa langsung hilang saat dia memohon pada suamiku, bu Mitha putri dari pengusaha sukses sebenarnya mudah untuknya mendapatkan pendamping hidup apa lagi di tunjang dengan fisik bu Mitha yang sempurna sebagai wanita, aku jelas berada jauh di bawahnya.
Aku memasuki ruang Guru setelah tadi absensi, tak lama bu Mitha juga masuk dia menatapku, tatapan yang sangat jelas dipenuhi kebencian padaku. Aku mencoba bersikap biasa saja meskipun jantungku saat ini sudah mulai maraton karena baru kali ini aku merasakan tak nyaman di tempat kerja.
“Bu Zia, ayo siap – siap ke ruang rapat.” Kata bu Reta mendekatiku.
“Memangnya ada rapat bu? Ko saya nggak tahu ya.”
“Bagaimana bisa tahu, pengantin baru terlalu sibuk.” Jawab bu Mitha yang menatap tajam ke arahku.
“Bu Mitha bisa saja menggoda bu Zia.” Kata Bu Reta, “ Mau ada perkenalan sama guru baru bu, anaknya bigbos kabarnya guru PJOK.”
Aku mengangguk dan berdiri, “Ayo bu.” Kataku dan aku pun berjalan bersama bu Reta meninggalkan ruang Guru tanpa menoleh ke meja bu Mitha.
“Bu Zia maaf kalau saya lancang bertanya, apa bu Mitha masih marah sama ibu karena Tentara tampan itu lebih memilih ibu dari pada bu Mitha?”. Tanya bu Reta saat kami sedang berjalan menuju ruang rapat.
Aku tersenyum, “Saya juga nggak tahu bu.” Jawabku karena aku tak mau memperpanjang pembicaraan mengenai bu Mitha.
Kami sampai di ruang rapat, ruang rapat sudah ramai tapi guru baru yang kata bu Reta putra dari bigbos alias Kepsek belum datang. Aku berbincang dengan guru lainnya, bu Mitha juga sudah hadir.
Pintu terbuka dan masuk dua pria beda generasi “Selamat pagi, maaf terlambat.” Sapa pria yang lebih tua siapa lagi kalau bukan Kepsek, aku menoleh betapa terkejutnya aku melihat pria yang berdiri di samping pak Kepsek.
“Perkenalkan ini putra bungsu saya Abqari Agam Pranoto biasa dipanggil Agam yang akan bergabung disini menjadi guru PJOK.”
“Salam kenal semua.” Sapanya menatap satu persatu para guru, dan tatapannya berhenti padaku.
“Acha.”