Pintu kamar terbuka, “Oh my God, mata suciku ternodai.” Teriak seseorang yang sangat aku kenal, siapa lagi kalau bukan adik cantikku Vina yang sedang menutup matanya dengan kedua tangannya.
“Apaan sih, orang abang sama mbakmu nggak ngapa – ngapain ko.” Kataku.
“Apaan orang lagi mau buka baju mbak Zia, sabar dong bang nunggu selesai resepsi baru buka – bukaan.”
“Vina abang cuman bantu buka kancingnya saja, mbakmu susah nggak bisa buka sendiri.”
“Alaaah modus, mbak Zia jangan mau di modusin abang.” Kata Vina membuat istriku tersenyum.
“Kamu ngapain kesini?” tanyaku.
“Aku di suruh Mommy nganterin makan, resepsi nanti lama jangan sampai mbak Zia pingsan, kalau abang mah nggak makan juga di jamin kuat.” Kata Vina menaik turunkan kedua alisnya menggodaku.
“Maksudnya apa itu?” tanyaku berpura – pura tak tahu.
“Issshhh abang, kura – kura dalam perahu, pura – pura nggak tahu saja.” Jawab Vina, aku tersenyum menatapnya.
“Abang benaran nggak tahu sayang, kasih tahu abang dong adik abang yang cantiknya sekarang di bawah mbak Zia.” Kataku, istriku langsung menatapku begitu juga Vina tapi bedanya Vina menatapku kesal.
“Iya deh mentang – mentang sudah punya mbak Zia akunya dilupakan, nggak ingat apa kalau aku yang sering di ajak kondangan.” Kata Vina lagi membuatku tertawa, aku berjalan mendekatinya dan aku peluk dengan sayang adik perempuanku ini.
“Abang nggak akan pernah lupain adik abang yang cantik ini, kamu dan mbak Zia punya tempat masing – masing di hati abang.” Kataku yang kemudian dibalas pelukan erat dari Vina.
“Terima kasih abang.” Jawabnya dan aku mengangguk melepaskan pelukan kami dan aku cium keningnya dengan sayang seperti biasa.
“Mbak Zia jangan cemburu ya, Vina sama bang Al memang dekat, kita semua sudah terbiasa seperti ini termasuk sama bang Vino juga, nanti mbak juga bakal lihat kebiasaan kami semua setiap pagi, semua ajaran Ayah agar kami selalu saling sayang.” Kata Vina menjelaskan pada mbaknya, aku kembali tersenyum adikku ini makin dewasa, dia buru – buru menjelaskan agar tak ada salah paham padahal nggak dijelaskan juga istriku pasti memakluminya.
Istriku tersenyum, tangannya menyentuh pipi Vina, “Mana mungkin mbak cemburu sama adik mbak yang cantik ini, mbak justru bersyukur punya adik seperti Vina.”
“Terima kasih mbak Zia.” Vina memeluk erat istriku, betapa bahagianya aku melihat pemandangan ini.
“Pelukannya sudah ya, katanya mbak Zia harus makan.” Kataku.
“Isshhh abang cemburu ya aku peluk mbak Zia.” Kata Vina, aku mencubit hidungnya yang mancung seperti punya Ayah, “Aww Sakit bang.”
“Makanya kalau ngomong yang benar, masa abang cemburu, sana keluar biar mbakmu ganti baju terus makan nanti keburu periasnya datang.” Kataku namun Vina malah menyeringai membuatku bingung.
“Abang mau modusin mbak Zia lagi ya?”
“Nggak Vina sayang, abang juga mau keluar sebentar mau ketemu Ayah.”
“Kalau begitu biar Vina temani mbak Zia.”
“Ya sudah terserah kamu saja, tapi ingat jangan ngobrol terus mbak Zia harus ganti baju dan makan.” Kataku mengingatkan, karena adikku ini jika sudah bicara sulit banget berhentinya.
“Siap kapten.” Jawabnya membuatku tersenyum, aku pergi keluar kamar untuk menemui Ayah.
***
Saat ini aku dan istriku sedang berdiri di ballroom hotel untuk pedang pora, istriku sangat cantik menggunakan gaun berwarna hijau pupus dan di atas hijabnya bertakhta mahkota bak seorang ratu, dia sangat cantik.
Dia terlihat gugup, aku menggenggam erat tangannya, “Gugup ya?” tanyaku dan dia mengangguk.
“Jangan gugup, ada mas di sampingmu dik, peluk erat tangan mas dan tersenyumlah, mas akan menggandengmu, membawamu duduk ke pelaminan dengan hati – hati.” Dia menatapku dan terlihat menarik nafas panjang, memejamkan mata indahnya dan mengangguk.
Komandan regu yang di pimpin Ganendra adik asuh yang sudah aku anggap seperti adikku sendiri pun melapor bahwa pasukan pedang pora sudah siap.
Pasukan Pedang Pora siap untuk menghunuskan pedangnya ke atas mengiringi jalanku dan istriku memasuki area resepsi. Dengan diiringi oleh suara tambur yang mengiringi setiap langkah kami. Setelah melewati gerbang pora, pasukan Pedang Pora mengiringi dengan berjalan tegap di belakang kami.
Satu persatu prosesi formasi pedang pora selesai di laksanakan dengan di akhiri pemakaian cincin dan juga pemberian seragam Persit sebagai simbol bahwa istriku sudah sah di terima menjadi anggota persit.
Acara di lanjut dengan foto bersama para pasukan pedang pora, “Bang Al selamat ya semoga samawa, doakan adik asuhmu yang tampan ini segera menyusul, kali saja bisa dapat di sini.” Kata Ganendra.
“Aamiin, terma kasih ndra sudah jauh – jauh dari Kalimantan untuk menghadiri pernikahan abang.” Jawabku memeluknya.
“Sama – sama bang, apa sih yang enggak buat abang.” Aku tersenyum dan menepuk pundaknya, Ganendra turun dari panggung pelaminan.
“Danki selamat menempuh hidup baru, akhirnya sold out juga padahal nggak pernah kelihatan pacaran tahu – tahu pengajuan.” Kata Letda. Hafiz.
Aku tersenyum, “Terima kasih Letda. Hafiz, prajurit sejati tak akan mengajak wanitanya berpacaran tapi akan langsung mengajaknya pengajuan.” Kataku yang langsung mendapat sorak sorai anggota yang berada di belakang Hafiz.
Aku menatap istriku yang tampak kelelahan sedangkan tamu masih saja berdatangan, tamu undangan dari aku dan istriku, Ayah Dhika, Opa Ardan dan juga Opa Abhimanyu semua menyatu di sini karena ini pernikahan pertama dalam keluarga kami.
“Cape dik?” tanyaku dan dia tersenyum lalu menggelengkan kepalanya tapi aku tahu jika dia sudah cape.
“Mau ganti heelsnya?” kataku lagi, karena sangat terlihat jika dia sudah tak nyaman dengan heels yang dia pakai.
“Acaranya belum selesai mas, kalau ganti nanti aku makin pendek.” Katanya dan aku menggeleng.
“Kamu masih tetap tinggi meskipun nggak pakai heels dik.” Kataku lalu mencari Vina atau Vino yang akan aku mintai tolong mengambil flatshoes tapi sayangnya aku tak menemukan mereka akhirnya aku pergi meninggalkan pelaminan untuk mengambil flatshoes, aku tak peduli semua mata menatapku karena aku meninggalkan pelaminan.
Aku kembali ke tempat resepsi dan langsung menuju pelaminan setelah mengambil flatshoes, aku berjongkok di depan istriku dan dia tampak terkejut.
“Duduklah, mas bantu melepas heelsnya dan ganti pakai flatshoes saja.” Kataku.
“Tapi mas.”
“Jangan bantah suami, ayo duduk dik.” Kataku lagi dan dia menurutiku untuk duduk, aku perlahan membuka pengait heels dan melepasnya mengganti dengan flatahoes.
“Cieee Danki romantis sekali.”
“Danki bikin baper nih.”
“Bang Al jangan bikin jones makin ngenes dong."
Teriakan ledekan dari para rekanku tak aku pedulikan, selesai mengganti heels aku berbalik menghadap ke depan dan tersenyum melambaikan tangan.
“Makanya yang jones buruan nyari, yang sudah dapat buruan ajak pengajuan jangan kelamaan PHPin anak orang.” Kataku yang di sambut sorakan dari mereka.
Aku kembali menyalami tamu yang baru datang, hingga tamu yang sebenarnya tak aku inginkan kedatangannya dan dia datang karena undangan dari istriku.
“Al.”