Suami mana yang tak terpancing amarahnya saat melihat wanita yang berstatus sebagai istrinya tengah berduaan dengan pria lain apalagi posisi mereka sangat intim dan dengan kurang ajarnya pria itu juga menyentuhnya.
Ya memang benar, kemarin saat aku akan mengumpulkan ponselku yang tiba - tiba ada notif masuk kiriman foto dimana di dalam foto tersebut terlihat jelas jika Zia istriku sedang berduaan di meja makan sebuah Restoran bersama pria yang menurut Hanif guru baru di sekolahnya.
Foto yang dikirim ke ponselku jelas menyulut amarahku, walau kami belum saling mencintai harusnya Zia bisa menjaga perasaanku seperti aku yang selalu menjaga perasaannya, dia seorang Persit dan dari awal kami pindah ke Rumdin pun sudah aku ingatkan untuk menjaga nama baiknya, nama baikku dan juga kesatuan.
Tapi Zia malah berduaan dengan pria lain bagaimana jika ada rekanku yang melihatnya, jatuh bangun aku membangun namaku dengan perjuanganku sendiri apa harus hancur dengan sekejap karena apa yang dilakukan Zia ini?.
Dadaku bergemuruh hebat saat melihat foto Zia dan pria itu dengan posisi yang membuat darahku mendidih saat itu juga, pria itu memiringkan kepalanya di depan wajah Zia dan kedua tangannya membingkai wajah Zia. Mereka seperti sedang berciuman di tengah keramaian Restoran.
Foto berikutnya tangan Zia yang digenggam pria itu dan ada juga foto saat pria itu membersihkan bibir Zia menggunakan tisu. Apa aku boleh tidak marah? Bagaimana bisa aku tidak marah meski aku belum mencintainya tapi dia istriku dan semua orang tahu itu, aku berhak atas dia bahkan aku sendiri belum pernah mencium bibirnya.
Aku tatap lekat wajah wanita yang berada di depanku saat ini, Zia istriku bersama ibu Persit lainnya menyambut kepulangan kami setelah Latgab. Wajah yang biasanya menyejukkan aku saat ini justru membuatku memanas.
Dia tersenyum padaku, mencium punggung tanganku seperti biasanya, "Assalamualaikum mas." Sapanya.
"Waalaikum salam, apa kabar dik." Tanyaku.
"Alhamdulilah baik mas." Jawabnya tersenyum, senyum yang membuat sudut hatiku terasa seperti ada yang mencubit sakit.
Tentu saja dia baik, selama aku tinggal dia bisa bebas bertemu dengan pria itu. Rasanya amarahku ingin meluap saat ini juga tapi aku berusaha menahannya.
"Kita pulang sekarang." Kataku menggandeng tangannya, bagaimana pun juga aku tak boleh memperlihatkan pada orang - orang jika suasana hatiku sedang kacau.
Tiba di rumah aku segera ke kamar mandi membersihkan diri, aku harus menyiram kepalaku yang sudah panas ini dengan air dingin. Aku tak boleh gegabah mengeluarkan amarahku pada Zia, aku belum dapat info apapun dari Vino mungkin setelah mandi aku harus pergi menemui Vino.
Selesai mandi aku berjalan menuju kamar, Zia istriku sedang menyiapkan makan untukku.
"Makan dulu mas, baru istirahat." Katanya yang lagi - lagi berhias senyuman, aku merasa ada yang aneh dengannya karena suka sekali tersenyum. Seingatku saat akan aku tinggal dia terlihat selalu murung tapi kenapa sekarang justru kebalikannya dia lebih banyak tersenyum seperti sedang bahagia.
Apa kehadiran pria itu yang membuat Zia bahagia?
"Mas, kenapa?" Aku merasakan usapan di bahuku.
Aku menggeleng, "Masak apa?"
"Ayam goreng, cah kangkung, tempe goreng tepung dan sambal bawang, maaf Zia hanya masak ini karena dikulkas hanya ada ini mas." Jawabnya.
"Nggak apa ini juga sudah lengkap, mas tau kamu sibuk dik." Kataku, rasanya sakit sekali mengucapkan kata 'sibuk' itu. Ya sibuk, sibuk berduaan dengan pria itu.
Aku makan dalam diam seperti biasa, aku memang tak suka jika makan sambil ngobrol.
Selesai makan aku segera mengambil kunci mobilku, aku harus segera menemui Vino karena aku sudah sangat penasaran sekali dengan semua yang membuat kepalaku pusing ini.
"Mau kemana mas? Nggak istirahat dulu?" Kata Zia saat aku akan membuka pintu depan.
"Mas ada urusan sebentar di luar." Kataku dan langsung membuka pintu, lalu keluar rumah tanpa mendengar jawaban dari Zia.
Aku melajukan mobilku untuk menemui Vino di Apartemennya, tadi dia sudah menjawab pesanku jika dia sedang berada di Apartemennya.
Sampai di Apartemen Vino aku segera menekan passwordnya, pintu pun terbuka dan aku langung masuk ke dalam mencari keberadaan Vino yang ternyata sedang membuat minuman di pantry.
"Eh bang, sudah sampai, mau minum apa?" Sapa Vino saat melihatku.
"Kopi saja."
"Siap Kapten, tunggu depan TV saja bang." Katanya dan aku mengangguk berjalan menuju ruang TV.
Tak lama Vino datang membawa dua cangkir kopi dan duduk di sampingku.
"Gimana, sudah dapat info?" Tanyaku langsung pada Vino.
"Nomor itu pemiliknya seorang pria kerjanya jadi sopir angkot bang, pas aku tanya tentang nomor itu dia jawab beberapa waktu yang lalu ada seorang pria mendekatinya meminjam identitasnya untuk mendaftarkan nomor ponselnya dengan imbalan uang 500ribu." Jawab Vino membuatku terkejut, seorang pria? Siapa dia?.
"Siapa dia?" Tanyaku dan Vino menggelengkan kepalanya.
"Masih aku selidiki bang, saat aku kasih lihat foro pria yang bersama mbak Zia kata dia bukan, oya bang masalah pria di foto itu yang bersama mbak Zia menurut informasi yang aku dapat dia itu guru baru anak dari kepala sekolah yang pernah dekat dengan mbak Zia." Kata Vino menjelaskan.
Aku terkejut mendengar pria itu pernah dekat dengan istriku, apa foto itu benar jika mereka tengah berciuman? Kalau benar berarti Zia sudah menghianatiku.
"Kenapa bang." Vino menepuk bahuku membuyarkan lamunanku.
Aku menggeleng, lalu mengambil ponsel dan memperlihatkan foto terbaru Zia dan pria itu. Tapi reaksi Vino biasa saja, tak terlihat jika dia terkejut.
"Abang percaya sama ini?" Tanya Vino, aku bingung harus menjawab apa.
"Menurutmu bagaimana dik?" Tanyaku balik.
"Nggak mungkin lah bang mbak Zia melakukan hal serendah itu, aku bisa menjaminnya." Jawabnya penuh keyakinan.
"Dimana otak cerdas abang? Seorang Danki hebat dan lulusan terbaik peraih Adhi Makayasa dengan mudahnya percaya sama foto begituan. Cemburu boleh bang tapi tetap pakai otak cerdas abang, aku yakin ada yang berniat buruk sama rumah tangga abang. Jangan gegabah dalam menyimpulkan apapun karena apa yang kita lihat belum tentu suatu kebenaran."
"Beri aku waktu lagi buat selidiki semua ini bang, sebelum aku menemukan kebenarannya jangan sampai abang kepancing dengan ini semua." Lanjut Vino lagi dan aku mengangguk.
Vino memang benar sepertinya ada yang ingin menghancurkan rumah tanggaku, aku tak boleh kepancing dengan semua ini.
Setelah berbincang cukup lama dengan Vino, aku pamit untuk pulang. Hatiku masih belum tenang tapi aku harus bisa melewati ini semua sampai terungkap siapa pelakunya.
Sampai di rumah Zia istriku sedang sibuk mencuci pakaian yang aku bawa selama Latgab kemaren, aku menatap punggungnya yang belum menyadari jika aku sudah pulang.
Apa mungkin wanita baik sepertinya yang tak pernah menuntut apapun dariku, wanita yang dengan sangat baik mengurusku, wanita yang tak pernah meninggalkan Shalatnya bermain di belakangku. Rasanya sangat mustahil jika foto - foto itu benar adanya.
Saat awal pertemuan kami saja dia lebih banyak menunduk, tak banyak bicara jadi masa iya dia menghianatiku.
"Sudah pulang mas, mau Zia buatin kopi?" Tanya Zia istriku yang membuyarkan lamunanku, entah sejak kapan dia berdiri di depanku.
Aku menggeleng, "Nggak usah tadi mas sudah ngopi, mas mau istirahat saja dik." Jawabku dan dia mengangguk, aku berjalan menuju kamar meninggalkannya yang masih berdiri ditempat.
Aku rebahkan tubuhku di atas ranjang, saat mataku akan terpejam aku mendengar suara notif pesan masuk dari ponsel Zia. Aku penasaran dan membukanya, kebetulan ponsel Zia memang tidak memakai password.
Kak Agam
Besok kakak jemput ya
Kak Agam? Siapa dia kenapa aku baru tau nama itu, apa nama pria itu?. Aku penasaran dan melihat PPnya ternyata benar ini pria itu yang katanya guru baru dan pernah dekat dengan Zia.
Pintu kamar terbuka dan masuklah Zia ke dalam, aku sampai terkejut karena ketahuan membuka ponselnya.
"Maaf, tadi ponsel kamu bunyi ada pesan dari Kak Agam." Kataku.
Dia mengganguk, " Nggak apa kalau mas mau lihat isi ponselku, nggak ada yang aku rahasiakan dari mas. Kak Agam itu guru baru di sekolah dulu dia kakak kelasku saat SMA." Jawab Zia sambil tersenyum kembali membuatku mengernyitkan dahi, dari cara dia bicara memang seperti tak ada apa - apa dan dia sepertinya jujur mengatakan semua itu.
Aku memberikan ponselnya dan dia terlihat sedang mengetik, mungkin membalas pesan itu.
Aku kembali merebahkan tubuhku, mencoba memejamkan mataku. Sudah menjadi kebiasaan jika sedang banyak pikiran sulit sekali memejamkan mata. Sungguh saat ini aku sedang galau dengan apa yang terjadi, rasanya ingin pulang untuk memeluk Mommy dan Ayah yang selalu membuatku tenang dan nyaman.