Alvand POV
"Kenapa Al, lagi ada masalah? Dari tadi diem - diem bae." Tanya Mayor Andi saat sedang duduk menunggu dimulainya acara setelah ishoma.
Aku menggeleng, "Nggak ada ndan, rindu saja sama istri." Jawabku yang langsung mendapat pukulan di lenganku.
"Mentang - mentang pengantin baru." Kata Mayor Andi dan aku tertawa.
Sejujurnya aku memikirkan Zia istriku, sejak meninggalkannya tadi pagi pikiranku tak tenang takut Mitha berbuat macam - macam karena aku tahu Mitha selalu nekat melakukan apapun untuk mewujudkan apa yang ia inginkan.
Aku mengenal Mitha sejak SMA, entah sudah berapa kali dia mengungkapkan perasaannya padaku sampai Ayahnya datang menemui Ayah Dhika melamarku untuk Mitha anaknya tapi Ayah tahu jika aku tak menyukai Mitha, Ayah menolak lamaran itu dengan alasan aku masih harus fokus menempuh pendidikan di Akmil dan Ayah tak mau selama aku menjalani pendidikan mempunyai ikatan dengan wanita manapun.
Lulus Akmil Mitha kembali menyatakan perasaannya, aku masih ingat karena bertepatan dengan ulang tahunku dia datang meski tak aku undang, aku tak menjawabnya walau aku tak ada perasaan pada Mitha aku masih menghargainya sebagai seorang wanita oleh karena itu aku nggak bisa jika harus terang - terangan menolaknya, aku selalu diam jika Mitha mengungkapkan perasaannya.
Namun diamku di salah artikan oleh Mitha, dia menganggap diamku sama saja memberikan harapan padanya, aku masih ingat saat resepsi pernikahan dimana Mitha mengungkapkan hal itu.
Saat aku datang ke sekolah Zia untuk pertama kalinya menemui Zia tanpa sengaja kami kembali bertemu, lagi dan lagi aku hanya diam saja saat Mitha kembali menyatakan perasaannya, hingga Zia keluar kelas dan menatap kami berdua dengan tatapan yang sulit diartikan, aku tetap saja sama tak menjawab Mitha.
Aku terkejut mendengar permintaan Mitha tadi pagi, permintaan gila yang sampai kapanpun tak akan aku turuti. Bagaimana bisa Mitha memintaku untuk menikahinya, dia bahkan rela jika hanya menikah siri memangnya hilang dimana otak cerdas Mitha sampai berbicara seperti itu padaku.
Aku menolak Mitha bukan karena dia tak cantik, jujur sebagai pria normal aku akui Mitha cantik tubuhnya tinggi semampai dengan lekukan tubuh bak seorang model, kulitnya juga putih bersih, dia juga putri pengusaha sukses jadi tak ada cela pada diri Mitha, bisa dikatakan dia wanita yang sempurna.
Aku selalu ingat pesan Ayah Dhika sebagai pria sejati jangan pernah dengan mudahnya mengumbar kata cinta dan sayang pada setiap wanita mau dia secantik apapun sebelum merasakan hati yang selalu menghangat dan jantung yang berdetak makin cepat meskipun hanya mendengar namanya saja.
Dan aku merasakan itu semua hanya pada Zia, saat Opa menceritakan kisah hidupnya hatiku sungguh menghangat dan jantungku berdetak kencang setiap Opa menyebut namanya, saat aku bertemu dengannya langsung rasa yang aku rasakan bertambah kuat tapi aku masih belum bisa meyakini ini cinta.
Aku izin keluar ruangan untuk mencoba menghubungi kembali nomor istriku tapi tetap sama seperti siang tadi masih belum juga aktif, meskipun Hafiz sudah memberitahuku jika ponsel istriku lowbat aku masih belum puas jika belum mendengar suaranya langsung.
Ponsel aku masukan kembali dalam saku celanaku, namun ponselku langsung bergetar dan segera aku buka karena aku berharap jika ini notif dari istriku.
Aku langsung membuka roomchat, nomor baru mengirimkan 5 foto dan segera aku unduh karena penasaran. Unduhan selesai aku buka foto itu dan betapa terkejutnya aku melihat istriku sedang bersama seorang pria yang tak aku kenal seperti sedang berbincang di depan pintu ruangan dan juga di gerbang sekolah, siapa dia?.
Entah kenapa dadaku rasanya sesak melihat foto itu, tapi aku mencoba berpikir positif siapa tau dia rekan kerjanya biar nanti saat pulang aku tanyakan langsung padanya.
Aku kembali memasuki ruangan dan duduk di samping Mayor Andi, saat ini kami datang mewakili Yon karena lusa akan di adakan latihan gabungan di Bogor dari tiga matra sekaligus.
"Belum aktif juga?" Bisik Mayor Andi dan aku mengangguk, beliau tahu aku keluar untuk menghubungi istriku kembali.
"Sabar, mungkin masih di charger." Aku mengangguk kembali.
Tepat jam 8 malam aku sampai Rumdin dan langsung masuk karena aku membawa kunci cadangan, saat pintu aku buka yang pertama aku lihat istriku masih mengenakan mukena dan memeluk Alquran bersandar di sofa memejamkan mata indahnya, dia ketiduran.
Aku menutup pintu dan mendekatinya, mengambil Alquran dari pelukannya dan aku cium keningnya cukup lama rasanya sangat tenang. Aku teringat foto yang sore tadi, tapi aku ragu bagaimana mungkin istriku yang solekha ini akan berbuat macam - macam di luar sana, aku yakin istriku menjaga dirinya dengan baik dan mungkin pria itu memang benar hanya rekan kerjanya sesama guru saja.
Lalu apa motif orang yang mengirim foto itu padaku, apa dia punya niat jahat dengan rumah tanggaku. Sepertinya aku harus meminta bantuan Vino untuk melacak itu nomor siapa.
Aku buka mukena yang masih dipakai istriku, aku angkat tubuhnya masuk ke kamar dan aku rebahkan di atas ranjang dengan pelan takut dia terbangun, aku kembali menatap wajah cantiknya yang selalu menyejukkanku.
"Mas percaya sama kamu dik." Gumamku, kembali aku cium keningnya dan aku segera ke kamar mandi membersihkan diri.
Seperti biasa pagi ini aku duduk manis sambil meminum teh buatan istriku yang masih sibuk membuat sarapan. Aku menatapnya yang membelakangiku entah kenapa sejak selesai Shalat subuh aku merasakan ada yang aneh dengannya, seperti ada yang dia sembunyikan dariku.
Istriku datang membawa piring berisi roti bakar dan juga telur mata sapi setengah matang kesukaanku. Aku kembali menatap wajahnya dan memang benar ada yang beda darinya saat ini.
"Dik." Aku sudah tak bisa lagi menahan rasa penasaranku.
"Iya mas." Jawabnya menatapku dan tersenyum, senyumnya kali ini terasa hambar berbeda dengan biasanya.
"Lagi ada masalah? Apa mau berbagi dengan mas?" Tanyaku.
Dia tersenyum dan menggeleng, "Nggak kok mas, kalau aku ada masalah pasti aku cerita sama mas."
Aku mengangguk, sejujurnya aku ingin menanyakan pria yang ada di foto tapi aku urungkan biar nanti saja aku cari tau sendiri.
"Dik besok mas ada latihan gabungan tiga matra sekaligus di Bogor selama tiga hari dan Hafiz juga ikut pelatihan, kamu tidur di rumah Mommy saja ya biar bisa antar jemput pak Mat."
"Nggak usah mas, aku di sini saja nanti bisa pakai ojol."
"Mas nggak tenang dik, mending sama pak Mat saja atau sama si kembar, mas yakin dua - duanya pasti bisa bergantian antar jemput kamu."
"Nggak usah mas, aku nggak mau mengganggu kerja mereka."
"Tapi dik."
"Mas, percaya aku akan jaga diri lagipula dulu saat aku belum menikah sudah terbiasa dengan ojol." Katanya sambil memegang tanganku dan aku pun akhirnya hanya mengangguk.
Selesai sarapan aku mengantarnya berangkat mengajar dan pulangnya mampir ke Polres menemui Vino untuk meminta bantuannya, sudah 10 menit aku menunggunya di depan Polres tapi dia belum juga datang.
Tok tok tok
Kaca mobil ada yang mengetuk dan aku membuka pintunya.
"Lama amat sih dik." Kataku saat Vino sudah masuk ke dalam mobil.
"Maaf bang tadi pas mau keluar di panggil komandan sebentar, ada apa abang minta ketemu? Nggak seperti biasanya sampai rela datang ke Polres."
"Abang mau minta tolong dik."
"Tolong apa?"
Aku menyerahkan ponselku, "Tolong cari tau ini nomor siapa, dia mengirim foto itu ke abang entah dengan tujuan apa, abang merasa ada yang berubah sama mbak Zia juga dia lebih banyak diam." Jelasku.
Vino mencatat nomor yang mengirim foto itu lalu memperhatikan foto satu persatu, "Kalau menurut aku ada yang berniat jahat sama rumah tangga abang, jangan langsung percaya bang nanti Vino bantu selidiki juga siapa pria ini, abang kirim fotonya ke aku ya." Kata Vino dan aku pun mengangguk.
"Terima kasih dik, maaf kalau abang merepotkanmu."
"Kaya sama siapa saja sih bang, ini juga tanggung jawabku menjaga keutuhan rumah tangga abang."
"Besok abang ada pelatihan di Bogor selama tiga hari, apa abang bisa titip mbakmu?"
Vino mengangguk, "Beres bang."
"Ya sudah abang harus kembali ke Yon, sekali lagi terima kasih ya dik."
"Iya bang, hati - hati ya." Vino mencium tanganku dan keluar dari mobil, Vino meskipun sudah berpangkat Iptu dia masih tetap Vino adikku yang manja dan tak pernah melupakan tata krama, dia selalu mencium tanganku setiap bertemu.
Aku melajukan mobil menuju Yon, perasaanku sedikit lega sekarang.