Alvand Pov
“Abang mau kemana? Kondangan ya? Ko Vina nggak di ajak.” Suara adikku yang cantik langsung menyambutku saat aku berjalan menuruni tangga.
“Nggak kok.”
“Terus mau kemana?”
“Kepo princess abang.” Jawabku sambil mengacak rambutnya.
“Isshh abang sudah main rahasia – rahasiaan ya sama Vina.”
“Katanya mau kakak ipar.” Kataku yang sukses membuat Ayah, Mommy dan Vina menatapku, aku tahu mereka terkejut karena baru kali ini aku berkata seperti itu.
“Abang serius?” tanya Vina dan aku mengangguk.
“Do’akan abang agar berhasil meyakinkannya, kalau dia menerima abang malam minggu nanti akan abang bawa ke rumah.” Jawabku tersenyum.
“Pasti Vina do’akan, semangat berjuang bang.” Katanya membuatku tertawa.
“Yah, Mom abang pamit dulu ya.”
“Iya hati – hati dijalan jagoan Ayah, semoga berhasil karena Ayah sudah ingin menimang cucu.” Aku tersenyum dan mengangguk.
Aku melajukan mobilku menuju rumah gadis yang tadi siang sudah aku ajak untuk makan malam, rumah bu guru cantik. Aku tak salah menyebutnya cantik karena dia memang cantik, aku masih ingat tadi siang saat pintu ruang tamu sekolah terbuka dan masuk seorang gadis berhijab yang diam mematung menatapku.
Gadis berhijab warna dusty dengan mata indahnya yang menatapku, wajahnya putih bersih meski tanpa polesan make-up, bibir tipisnya yang dipoles warna nude terlihat sangat imut untuknya, hidungnya cukup mancung juga sangat pas untuknya.
Aku tersenyum jika mengingat kejadian tadi siang, bukan hanya aku yang terkejut karena seperti melihat bidadari turun dari langit tapi dia pun tampaknya terkejut melihatku.
Jantung ini berdetak cepat saat tangan lembutnya menyambut uluran tanganku, hangat aku rasakan di sekujur tubuhku dan baru kali ini aku merasakan rasa seperti ini. Aku tak mau gegabah mengatakan jika aku sudah jatuh cinta padanya karena ini pertemuan pertama kami, masih belum cukup menyimpulkan bahwa ini cinta.
Aku berhenti di depan sebuah rumah sederhana yang tadi siang sudah aku datangi, aku mematikan mesin mobil dan turun menuju pintu rumah.
Aku mengetuk pintu rumah beberapa kali hingga perlahan pintu terbuka dan keluarlah gadis cantik dalam balutan gamis berwarna hitam berhias permata kecil dan list gold, jilbab warna mocca, dia cantik bahkan sangat cantik, malam ini dia memoles wajahnya dengan makeup tipis dan membentuk alisnya dengan sangat indah.
“Assalamualaikum.” Suara lembutnya menyadarkanku, aku di buat salting olehnya.
“Waalaikumsalam.” Jawabku tersenyum, “Kita berangkat sekarang?” tanyaku dan dia mengangguk.
Sampai di Restoran aku mempersilahkannya duduk dengan menarikan kursi untuknya, walau aku tak berpengalaman soal pacaran untuk hal kecil seperti ini aku cukup tahu karena ini juga salah satu usaha menyenangkan hati seorang wanita. Pelayan datang membawa menu book dan aku menyerahkan padanya.
“Mau pesan apa bu guru?” tanyaku, dia pun menerima menu book yang aku sodorkan dan mulai memilih apa yang akan dia pesan.
“Fettucini Carbonara Smoke Beef, minumnya air mineral saja.” Aku mengangguk dan memesan pada pelayan.
Menunggu pesanan datang kami masih saling diam, aku bingung untuk memulai pembicaraan. Malam ini aku memang sudah berniat mengutarakan keinginanku untuk melamarnya tapi aku bingung harus berbicara apa dulu karena ini pengalaman pertamaku mengajak seorang gadis untuk menjalin sebuah komitmen.
Pesanan datang dan kami makan dalam diam, aku sesekali mencuri pandang gadis di depanku, sambil menata hati dan juga merangkai kata untuk mengungkapkan niatku setelah selesai makan nanti.
“Ekhem, maaf bu guru ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan ibu.” Kataku mengawali pembicaraan setelah selesai makan, aku menatap gadis di depanku yang masih saja menunduk membuatku gemas ingin mengangkat dagunya agar bisa menatapku, apa aku kurang tampan hingga dia tak mau menatapku? Tapi seingatku, banyak yang bilang aku tampan seperti Daddy Gavin tapi kenapa gadis di depanku selalu menunduk.
“Silahkan. “ jawabnya tanpa menatapku.
“Sebelumnya saya minta maaf mungkin ini terlalu cepat buat bu guru mengingat kita baru 2x bertemu tapi saya sudah mantap untuk mengatakan ini, saya ingin menjalin komitmen bersama bu guru, bukan komitmen seperti anak muda yang bernama pacaran tapi komitmen untuk membangun sebuah rumah tangga, saya ingin melamar bu guru menjadi Ibu Persit saya, mendampingi saya mengabdi pada negara dan juga menjadi Ibu dari anak – anak saya.” Aku mengeluarkan cincin dari saku celana dan menyerahkannya pada gadis di depanku.
Dia menatapku, sangat terlihat jika dia terkejut mungkin karena lamaran dadakan ini. Aku tersenyum, “Ibu nggak harus jawab sekarang tapi saya mohon terimalah cincin ini, jika ibu menerima saya hari sabtu nanti saya mau lihat ibu memakainya tapi jika ibu menolak saya maka simpan dengan baik cincin ini anggap sebagai hadiah persahabatan dari saya.”
“Maaf kenapa tiba -tiba melamar saya? Kita belum saling mengenal, anda belum tahu saya begitu juga saya belum tahu apa – apa tentang anda, apa lamaran ini permintaan pak Ardan karena beliau ingin membalas jasa Ayah saya yang sudah menyelamatkan cucu perempuannya?”
Aku menggeleng, “Bukan, ini murni dari saya pribadi bukan karena permintaan opa. Bu guru benar kita belum saling mengenal kita bisa belajar saling mengenal setelah menikah nanti, bukankah itu lebih indah dan pastinya mendapat pahala juga. Saya sudah cukup tahu siapa bu guru sebelum saya meyakinkan diri saya untuk melamar ibu.”
“Kalau ibu mau bertanya apa saya mencintai ibu maka saya jawab jujur belum, saya belum mencintai bu guru tapi saya akan berusaha belajar mencintai ibu setelah menikah nanti karena jujur saya tak pernah mau pacaran, saya ingin merasakan pacaran saat sudah sah dengan kekasih halal saya. Lalu kenapa saya berani melamar ibu jika saya belum mencintai ibu maka jawabannya hati saya yang memilih ibu, hati saya yang menginginkan ibu dari pertama kali saya mendengar cerita tentang ibu dari Opa.”
“Apa anda merasa kasihan dan iba dengan saya?”
Aku kembali menggeleng, “Bukan, semua karena hati saya mengatakan ibulah perempuan yang tepat untuk mendampingi saya, ibu wanita yang selama ini saya cari, wanita yang gigih berjuang tanpa mau menerima bantuan dari siapa pun, saya merasa kita memiliki banyak kesamaan salah satunya ingin sukses dengan perjuangan sendiri tanpa bantuan siapa pun jadi bukan karena rasa kasihan atau iba seperti yang ibu katakan.”
“Bagaimana anda bisa seyakin itu, pernikahan bukan untuk main – main dan saya nggak mau gagal dalam pernikahan, karena yang saya mau menikah sekali seumur hidup.”
“Karena hati saya tak pernah salah menilai, saya pun hanya mau sekali seumur hidup, saya hanya mau satu wanita yang bertakhta di hati saya, wanita yang jelas sudah halal untuk saya dan dipilih hati saya .” Kataku dengan yakin dan menatapnya, “Maaf apa bu guru sudah punya kekasih?” tanyaku dan dia menggelengkan kepalanya, lega rasanya hati ini dengan jawabannya itu walaupun sebenarnya aku sudah tahu jika dia saat ini sedang sendiri.
“Hari sabtu ibu pulang mengajar jam berapa?”
“Jam 12 siang.” Jawabnya.
“Hari sabtu saya jemput ibu ya, saya berharap sudah ada jawaban atas lamaran saya ini.” Kataku lagi dan dia mengangguk.
Selesai berbincang aku mengantarkannya pulang, masih sama seperti tadi saat berangkat sepanjang perjalanan kami diam tanpa ada pembicaraan apa pun hingga mobil sampai di depan rumah gadis di sampingku ini.
"Terima kasih sudah mengajak saya makan malam dan mengantarkan saya pulang." katanya yang masih saja menunduk, aku makin gemas dibuatnya kenapa dia suka sekali menunduk berbeda dengan gadis pada umumnya yang malah menatap dengan memuja jika sedang berada di depanku.
"Sama - sama bu guru." jawabku.
"Kalau begitu saya permisi." dia membuka pintu mobil, belum sempat turun aku menahan tangannya dan dia pun tampak terkejut menatapku.
"Saya sangat berharap sabtu nanti bisa melihat bu guru memakai cincin itu, saya serius sama ibu." Aku menatapnya dan tersenyum, "Good night, Ms. Zia, have a nice dream tonight."
"Good night too." jawabnya sambil tersenyum dan turun dari mobilku memasuki rumahnya.
Aku melajukan mobil untuk kembali ke rumah, semoga saja hari sabtu nanti aku mendapat jawaban sesuai dengan keinginanku, aku ingin segera menghalalkannya, menjadikan dia ibu Persitku.