Hari ini hari yang aku tunggu karena aku akan mendapat jawaban dari gadis yang sudah aku lamar 3 hari yang lalu, memang terkesan gila melamar seorang gadis yang baru dua kali bertemu tapi aku benar – benar sudah meyakinkan diri memilihnya.
Selesai apel siang aku yang masih menggunakan seragam PDL melajukan mobilku ke sekolah di mana gadis yang aku lamar mengabdikan dirinya.
Mobilku berhenti di depan gerbang sekolah, sengaja menunggu di luar gerbang. Aku keluar dari mobil memakai kacamata hitam yang pastinya membuatku makin tampan, aku bersandar pada samping kiri mobil sambil memainkan ponselku dan sesekali menatap ke arah pintu masuk sekolah.
Saat sedang memainkan ponsel mataku tak sengaja melirik ke depan karena sudah banyak siswa – siswi keluar sekolah dan aku melihat bu guru cantik yang dari tadi sudah aku tunggu kedatangannya tengah berjalan dengan dua orang guru sambil tertawa, tawa yang membuatnya makin terlihat sangat cantik.
Langkahnya terhenti saat netra kami saling bertemu, mata indahnya menatapku seperti tengah terkejut, aku tersenyum dan melambaikan tangan padanya, bukan hanya Bu guru cantik saja yang terkejut tapi juga dua rekannya sama terkejutnya melihatku.
Mereka tampak berbincang seperti ada yang di tanyakan pada bu guru cantik dan bu guru cantik terlihat menggelengkan kepalanya, tatapannya masih mengarah padaku.
Aku berjalan mendekati mereka, “Selamat siang.” Sapaku.
“Siang juga pak, mau jemput bu Zia ya?” tanya salah satu guru.
Aku tersenyum dan mengangguk, “Iya bu, maaf kalau saya mau bawa bu Zianya ya.”
“Silahkan.”
Aku menatap bu guru cantik yang sedari tadi diam saja, “Ayo bu Zia, sudah nggak ada lagi kegiatan kan?”
“Nggak ada.”
“Kalau begitu kami pamit bu, saya bawa bu Zianya ya selamat siang.”
“Siang.”
Aku membukakan pintu mobil mempersilahkan bu guru cantik ini untuk masuk ke dalam dan aku pun menyusulnya masuk ke dalam mobil setelah berjalan memutar.
Aku melajukan mobil dengan kecepatan sedang, mataku tak sengaja melihat cincin yang aku berikan pada bu guru cantik ini sudah terpasang di jari manisnya, tanpa terasa sudut bibirku terangkat tersenyum karena berarti lamaranku di terima.
“Bu guru kenapa diam saja dari tadi?” aku membuka obrolan dengannya.
“Nggak papa.” Jawabnya.
“Bu kita mampir ke Caffe ya.” Dia hanya mengangguk saja.
Aku membelokkan mobil ke sebuah cafe, membawanya masuk dan memesankan minuman juga makanan ringan. Aku sudah tak sabar ingin menanyakan kejelasan lamaranku, karena aku sudah melihat dia memakai cincinnya tapi tetap saja aku belum yakin karena belum mendengar sendiri dari bibirnya.
“Bu guru, maaf saya tak suka berbasa – basi jadi saya langsung saja, saya mau tahu jawaban dari lamaran saya.” Kataku menatapnya.
Dia tak menjawab tapi menunjukkan jari manisnya yang sudah terpasang cincin pemberianku, “Ibu menerima lamaran saya?” tanyaku dan dia mengangguk.
“Bismillah, saya terima niat baik pak Alvand untuk menjalin komitmen hidup bersama saya, semoga pak Alvand melamar saya memang bukan karena kasihan tapi karena apa yang hati pak Alvand rasakan terhadap saya selain dari kasihan dan iba.” Sungguh hatiku menghangat mendengar jawaban darinya, lamaranku pada gadis yang baru aku temui ini di terima.
Aku tersenyum, “Terima kasih bu guru, saya berani bersumpah jika ini bukan karena saya kasihan sama ibu tapi karena hati saya merasakan sesuatu yang beda terhadap ibu.”
“Berarti mulai saat ini kita sah menjalin hubungan kan?” tanyaku dan dia mengangguk.
“Kalau begitu kita awali hubungan kita dengan merubah cara berbicara dan juga panggilan kita, jangan pakai bahasa formal lagi dan cukup panggil Al atau Alvand saja nggak usah bapak.” Kataku dan dia menggeleng, “Kenapa?” tanyaku penasaran.
“Ubah bahasa jadi non formal oke boleh tapi kalau panggil nama sepertinya kurang sopan.”
“Oke, kalau begitu mau panggil aku apa? Jangan bapak apa lagi Om.” Kataku dan dia terkekeh.
“Mau Abang apa mas?” tawarnya.
“Mas saja, kalau abang sudah ada adikku yang memanggil jadi biar beda dan aku panggil kamu dik.” Kataku tersenyum dan dia mengangguk.
“Nanti malam jam setengah delapan aku jemput ya dik.”
“Mau apa?”
“Kencan pertama.” Kataku tersenyum dan tak aku sangka dia tersipu mendengar jawabanku. Pipinya merona, aku tersenyum melihatnya, hanya bisa dim belum berani menggodanya mengatakan ciee blushing, harus sabar sebentar lagi akan mulai bisa menggodanya.
“Nggak usah, katanya nggak mau pacaran kaya anak ABG.”
“Bukan kencan biasa dik, aku mau ajak kamu ketemu keluargaku.”
“Apa?” jawabnya terkejut dengan ekspresi wajahnya yang sangat menggemaskan.
“Iya, dari awal melamar aku sudah bilang kan kalau aku serius nggak main – main, aku mau kita secepatnya mengurus pengajuan nikah di kesatuan tentunya kita harus bertemu orang tuaku dulu agar beliau bisa datang melamarmu dengan sah dik.”
“Mas yakin kalau orang tua mas akan terima aku?”
“1000% yakin dik, karena ini yang paling dinantikan keluargaku, tenang saja Ayah dan Mommy bukan orang pemilih mereka akan menerima pilihan anaknya apalagi jika tahu kalau Opa juga berharap kita bisa menikah pasti langsung ACC cari tanggal.” Kataku tersenyum.
“Terserah mas Alvand saja.” Katanya.
*****
Selesai Shalat berjamaah aku segera berganti pakaian di barak dan bergegas menuju rumah gadisku untuk aku ajak menemui keluargaku, boleh lah ya aku memanggilnya gadisku karena sekarang dia sudah menerimaku dan kami juga sedang on the way menuju halal.
Sampai di depan rumahnya aku membunyikan klakson dan tak lama gadisku keluar berjalan mendekati mobilku dengan anggun mengenakan gamis berwarna peach dengan jilbab warna senada, dia terlihat cantik.
Pintu mobil terbuka aku tersenyum menatapnya, “Selamat malam dik.” Sapaku.
“Malam mas.” Jawabnya yang sudah duduk manis di sampingku.
“Sudah siap bertemu orang tuaku?’ tanyaku dan dia mengangguk.
“Insya Allah siap.” Jawabnya dengan senyum manisnya, aku pun menjalankan mobil kali ini perjalanan kami tak lagi berhias sunyi tapi kami saling berbagi cerita.
Sampai di depan rumah aku turun terlebih dahulu tapi gadisku belum juga turun setelah aku menungu hampir 5 menit, aku berjalan mendekati pintu mobil dan membukanya, sangat terlihat sekali jika gadisku sedang gugup.
“Kamu kenapa?” tanyaku, “Ayo turun, keluargaku sudah tak sabar bertemu denganmu dik.”
“Aku gugup mas.” Jawabnya sambil menatapku, aku tersenyum dan menggenggam tangannya.
“Ada mas, nggak usah gugup percaya sama mas keluarga mas akan menerimamu dik.” Dia mengangguk dan turun dari mobil, aku menggandeng tangannya memasuki rumah.
Jujur aku merasakan desiran aneh dalam tubuhku, aku juga merasa nyaman dan tenang saat menggenggam tangannya tapi tetap saja aku belum mau menyimpulkan jika ini adalah cinta, aku belum mencintai gadisku.
“Assalamualaikum.” Aku memberi salam yang langsung di sambut adik cantikku.
“Waalaikumsalam.” Jawab Vina berjalan mendekati kami dengan senyuman jahilnya.
“Dik kenalin ini adik mas yang paling cerewet Alvina.” Kataku yang langsung mendapat tatapan tajam dari adikku.
“Nggak papa abang bilang Vina cerewet kali ini Vina maafkan karena Vina lagi bahagia akhirnya Abang Vina nggak lagi jones.” Gadisku nampak tersenyum mendengar ucapan adikku ini.
“Perkenalkan mbak aku Alvina Putri Abhimanyu biasa dipanggil Vina, adik abang Al yang paling cantik.” Kata Vina yang mengulurkan tangannya dan langsung di sambut gadisku.
“Achazia Nuray Wirata, panggil saja Zia.” Jawab gadisku tersenyum.
“Kalian sudah datang.” Suara Mommy terdengar membuat kami bertiga menoleh. Mommy berjalan mendekat bersama Ayah dan juga Vino.
“Sudah mom.” Jawabku mencium tangan Mommy dan juga Ayah.
“Ini Zia mom yang tadi siang abang ceritakan.”
“Dik ini semua keluarga mas, pria tampan ini Ayah Dhika, wanita yang masih cantik ini Mommy Forza dan pria yang tampannya masih di bawah mas itu Vino kembaran dari Vina.” Kataku dan gadisku tersenyum menyalami Ayah, Mommy juga Vino.
"Kamu cantik nak Zia, pantas saja putra Mommy yang dikenal jones jatuh hati sama kamu." kata Mommy yang kemudaian memeluknya.
“Ayo kita langsung ke meja makan sudah waktunya makan malam, ngobrolnya lanjut nanti saja.” Kata Mommy yang melepaskan pelukannya kemudian membawa gadisku berjalan bersama menuju ruang makan.
Aku bernafas lega, Mommy menerima gadis pilihanku bahkan terlihat sangat antusias begitu juga dengan Ayah dan si kembar yang langsung terlihat dekat dengan gadisku, mereka asik mengobrol sampai tak ingat kalau ada aku juga di sini.
“Bang.”
“Ya yah.”
“Kapan Ayah bisa datang melamar Zia? Jangan kelamaan pacaran, pacarannya nanti saja kalau sudah sah.”
“Tante Zia masih di luar kota yah tiga atau empat hari lagi katanya baru balik ke sini, Abang juga nggak mau kelamaan yah kalau sudah bertemu wali Zia maunya Abang langsung tunangan dan urus pengajuan.” Jelasku dan Ayah mengangguk.
“Segera beri tahu Ayah jika wali nak Zia sudah kembali.” Aku mengangguk.
Selesai makan malam kami semua berkumpul di ruang keluarga, banyak hal yang kami bicarakan tapi yang paling mendominasi ya si cerewet Vina, banyak yang dia ceritakan dan banyak pula yang dia tanyakan pada gadisku, aku senang gadisku langsung dekat dengan keluargaku.