Aresh Salah Tingkah ~~

1180 Kata
Matahari perlahan mulai menampakkan sinar kehangatannya. Tak ingin kalah bersaing, suara kicauan burung-burung yang hendak mencari pakan pun, terdengar silih bersahutan, berirama … seakan menjadi penghantar sang arunika keluar dari batas horizon, pagi ini. Seorang gadis berpiyama, yang tengah duduk di atas lantai, tepat di samping tempat tidur sahabatnya, tengah sibuk dengan tugas sekolah yang lupa ia kerjakan. Sesekali, gadis itu melirik pada pemuda di sampingnya yang masih terlelap karena efek obat penurun demam yang diberikan oleh ibunya beberapa jam lalu, kemudian kembali terfokus pada buku mata pelajaran matematika di atas meja kecil milik Arash. “Zei, lo gak sekolah?” tanya Aresh. Pemuda yang baru saja selesai menyemprot parfum pada jaket yang dikenakannya itu, kini berjalan menghampiri Zeira, lalu berdiri di samping gadis itu. “Bentar, gue beresin tugas Pak Damar dulu. Alamat dihukum gue kalau belum selesai. Mana di jam pertama lagi,” sahut Zeira, tanpa menghentikan kegiatan menulisnya. “Lah … lu ngerjain di buku siapa? Lu, kan, datang ke sini gak bawa apa-apa,” tanya Aresh, kebingungan. “Buku kosong yang ada di meja belajar Arash,” jawabnya dengan santai. Aresh yang merasa penasaran, karena melihat dua buku tulis di atas meja, mengambil posisi berjongkok di samping Zeira, lalu memperhatikan tulisan gadis itu. “Lu kerjain punya si Arash?” tanya Aresh, saat melihat tulisan yang sangat rapi, berada di atas tulisan Zeira. Gadis itu hanya menganggukkan kepala sembari menghela napas panjang, karena ia sudah berhasil. menyelesaikan tugas miliknya dan juga Arash. Zeira menoleh ke sisi kanannya, lalu menampilkan senyum termanisnya pada Aresh, membuat jantung pemuda itu tiba-tiba saja berdetak lebih cepat dari biasanya, hingga Aresh menjadi salah tingkah, dan segera berdiri dari posisinya, untuk menyembunyikan rona kemerahan di wajah tampannya itu. Ya … memang tak dapat dipungkiri, putri dari keluarga Auberon itu memiliki pesona yang berbeda dari gadis kebanyakan. Zeira bukan seorang gadis yang manja. Zeira juga bukan gadis lemah. Ia justru benar-benar berbanding terbalik dengan Nerissa, putri dari rekan bisnis sang ayah, yang tak lain adik kelas, sekaligus sahabatnya sejak kecil. Zeira adalah seorang gadis tomboy, menyukai tantangan, dan berani dalam hal apapun. Tetapi … ada satu orang pria yang berhasil mendongkrak sisi kewanitaan Zeira, dan sukses membuat ia selalu merasa takut jika berhadapan dengan lelaki itu. Siapa lagi kalau bukan Bagas. Pemuda yang benar-benar telah merebut seluruh hati Zeira, melambungkannya hingga ke atas awan, dan kemudian menghempaskannya sekeras mungkin hingga ke dasar bumi. “Lo mau jemput Sasa dulu, kan?” tanya Zeira. Gadis itu mengambil thermometer timpani yang ada di atas nakas, lalu mengarahkan sensor inframerah tepat pada lubang telinga sebelah kiri sahabatnya yang masih terlelap di atas tempat tidur. Hanya berselang beberapa detik saja, hasilnya pun keluar. Zeira melihat sederet angka yang tertampil pada LCD Display, lalu menghela napas lega, karena hasilnya cukup baik. “Gue jemput Sasa, terus jemput lu. Gimana?” tanya Aresh menawarkan diri. Sembari bangkit dari posisi duduknya, Zeira ganti handuk untuk kompres yang ada di atas kening Arash dengan handuk basah yang lain, kemudian mengambil dua buku tulis di atas meja. “Gue pulang ke apartemen dulu, buat ambil tas dan ganti baju. Lo gak usah jemput gue, gue bawa si Cheetah ke sekolah,” jawab Zeira. Cheetah adalah nama motor sport hitam yang selalu dikendarai oleh Zeira ke mana pun ia pergi. Aresh yang baru berani menatap wajah Zeira lagi, setelah rona merah di wajahnya hilang, menganggukkan kepala, lalu mengacak puncak kepala sahabatnya itu. “Oke deh. Kita ke baseman bareng. Gue temenin sampai depan barrier gate apartemen lu, terus jemput Sasa.” Setelah menyahuti ajakan Aresh, Zeira kembali berbalik menghadap Arash, mengambil posisi berjongkok, sembari menggantikan handuk kompres di kening Arash dengan yang baru, lalu menghela napas dalam. “Rash, gue sekolah dulu, Iya. Lo jangan lama-lama sakitnya. Kalau Bagas macem-macem, siapa yang bakal belain gue, dan nolong gue?” tanpa sadar, Zeira mengulas senyum manisnya lagi, lalu membelai salah satu sisi wajah sahabatnya itu. “Cepet sembuh, Bare. Nanti sore, sepulang sekolah, gue ke sini lagi, iya,” lanjutnya. “Oke, Lemming,” ucap Aresh, menyahuti. “Hish … lo Aresh, bukan Arash!” protes Zeira, ketus. “Anggap aja gue Arash, muka gue sama Arash, kan, sama. Jadi, gue mewakili jawaban Kakak gue,” sahut Aresh membela diri. Tak mau ambil pusing, gadis itu pun hanya mendelik, sembari menjulurkan lidahnya, lalu berdiri dari posisinya. Ia tepuk lengan Aresh yang sedang terdiam, mematung, menatap pada Zeira dengan tatapan yang sangat sulit untuk diartikan, kemudian berucap, “ayo!” Aresh yang baru saja tersadar, dan kembali dari pikirannya, menganggukkan kepala. Ia putar tubuhnya hingga memunggungi Zeira yang tengah mendorong tubuh Aresh dari belakang, seraya mengerjapkan mata berulang kali. “Lu gak boleh jadi gila, Resh! Lu harus kembali pada kesadaran yang sesadar-sadarnya. Zezei jelek … Zezei jelek … Zezei jelek … Zezei jelek! Mantan si batang toge adalah pawangnya si Arash!” gumamnya sangat pelan, bahkan hampir tak terdengar. *** Langit sore, dengan awan mendung menutupi keindahan cahaya senja, kembali menyapa kota sore ini. Suara gelegar petir silih bersahutan, diikuti gemuruh air hujan yang cukup deras, disertai angin kencang, membuat para siswa-siswi yang hendak pulang ke rumah masing-masing, harus mengurungkan niat mereka, dan memilih diam di dalam kelas, atau di sepanjang lorong, untuk berteduh, menunggu hingga hujan kembali reda. Seorang gadis cantik, mengenakan jaket kulit hitam, terlihat tengah asyik mendengarkan lagu melalui headphone Bluetooth berwarna biru muda, sembari duduk di atas kursi yang tersedia di sepanjang lorong sekolahan itu. Matanya terpejam, sedangkan kedua tangannya terlipat di atas d**a, menikmati alunan musik di tengah suara gemuruh hujan yang begitu deras di depan sana. Namun, tangan kekar dari pemuda yang sangat dibencinya, tiba-tiba meraih, dan menarik pergelengan tangan gadis itu secara paksa, hingga Zeira hampir terjatuh, jika saja gadis itu tidak segera bangkit dari posisi duduknya. “B-Bagas? Lo apa-apaan, sih?” tanya Zeira, nampak terkejut. Tak menghiraukan ocehan mantan kekasihnya itu, Bagas terus menarik secara paksa tangan Zeira. Karena sebelumnya, posisi kursi yang Zeira duduki berada di ujung lorong sekolah, maka tak banyak siswa dan siswi lain, yang melihat kejadian itu, sehingga Zeira hanya bisa berusaha dengan kekuatannya yang terbatas, untuk melepaskan diri dari cengkraman Bagas yang cukup keras. “Bagas!” jerit Zeira tanpa sadar, hingga membuat pemuda tampan itu harus berhenti melangkah, dan berbalik menghadap pada mantan kekasihnya itu. Dan tanpa terduga …. Plak! Hanya dalam hitungan waktu sepersekian detik, satu tamparan yang cukup keras, mendarat begitu saja di atas wajah cantik Zeira, hingga luka di sudut bibir mungilnya mengeluarkan darah segar, dan wajah sisi kirinya perlahan memerah. “Diem! Kalau mulut lo masih gak bisa berhenti ngoceh, lo akan menerima hal yang lebih menyakitkan dari tamparan barusan.” Mendengar ancaman yang diberikan oleh Bagas, gadis yang selalu merasa sangat takut pada pemuda itu seketika terdiam. Yang bisa Zeira lakukan saat ini, hanya mengikuti, ke mana pun pemuda menyeramkan itu membawanya pergi, tanpa bisa berteriak, atau meminta pertolongan pada siapapun. Karena entah kenapa, hanya melihat sorot mata tajam dari Bagas saja, sudah berhasil membuat lidah Zeira seketika kelu, hingga sulit berbicara. ‘Rash … gue takut ….’ Lirihnya membatin. *** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN