Kepanikan Di Tengah Malam~~

1153 Kata
Saat ini, jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Dalam sebuah kamar bernuansa biru putih, dengan dua tempat tidur berbeda, tertata di bagian tengah ruang tersebut, dua orang pemuda nampak tengah berbaring di atas ranjang masing-masing. Satu di antara dua pemuda itu nampak tertidur sangat pulas, dengan posisi terlentang, dan kaki terbuka, tanpa ditutupi selimut, sedangkan pemuda lainnya … tengah menggigil kedinginan, walau bergelung dalam dua selimut tebal yang menutupi seluruh tubuhnya. Ya … setelah menghentikan tindakan sahabatnya di kolam renang sore tadi, dan kembali ke apartemen mengendarai motor sport, rupanya … suhu tubuh pemuda itu tiba-tiba saja meningkat. Bahkan, ketika makan malam bersama dengan kedua orang tuanya pun, Arash nampak tidak berselera, dan lebih sering bersin-bersin. Hingga saat ini, entah sudah kali ke berapa, pemuda tampan itu terdengar batuk dan bersin. Aresh yang cukup lelap tertidur pun, mulai merasa terganggu, mendengar suara-suara dari sang Kakak, dan akhirnya terbangun. Dengan gerakan malas, pemuda itu bangkit dari posisi berbaringnya, lalu turun dan berjalan menghampiri tempat tidur kembarannya, sembari sesekali menguap cukup panjang. “Lo kenapa, sih, Rash?” tanyanya dengan malas. Aresh menarik selimut yang menutupi kepala Arash, hingga wajah pucat sang Kakak yang tengah menggigil pun akhirnya terlihat. Rasa kantuk yang semula masih menguasai kesadaran pemuda itu, tiba-tiba saja menghilang. Aresh segera menempelkan telapak tangannya di atas kening Arash, untuk memeriksa suhu tubuh pemuda itu. Matanya seketika membelalak, ketika rasa panas dari kening Kakaknya, begitu saja menyapa telapak tangan. “Lo demam! Gue bangunin Bunda sama Ayah dulu.” Pemuda tampan itu pun segera berjalan keluar, hendak menuju kamar kedua orang tuanya. Tanpa ragu, Aresh mulai mengayunkan tangannya, mengetuk pintu ruang di hadapannya, dengan tergesa-gesa. Tok, tok, tok. “Bun!” Tok, tok, tok. “Yah!” Aresh pun kembali mengetuk pintu kamar kedua orang tuanya. Hingga hanya berselang beberapa detik, suara kenop di putar pun terdengar, diikuti pintu yang mulai terbuka. Seorang pria paruh baya yang masih terlihat sangat tampan dan segar, kini berdiri di balik daun pintu yang terbuka setengah, begitu juga sang istri yang berdiri di belakangnya. “Ada apa, sih, Resh?” tanya Nathan-Ayah Arash dan Aresh-dengan suara berat, khas bangun tidur. Sang ibu yang melihat kerisauan putranya, mulai merasa curiga. Ia melirik ke arah pintu kamar di belakang Aresh, lalu menatap pada pemuda di hadapannya. “Arash, kenapa?” tanyanya to the point. “A-Arash, Bun … Arash ….” Belum sempat Aresh melanjutkan perkataannya, wanita paruh baya yang sangat cantik itu segera berlari keluar, menuju kamar si kembar, diikuti Nathan dan Aresh yang berjalan tergesa-gesa, mengikuti Shana-ibu Arash dan Aresh. Setibanya di kamar kedua putranya, Nathan menghampiri sang istri yang tengah duduk di tepi tempat tidur putra pertama mereka, sembari mengecek suhu tubuh Arash. “Ayah, ambilin paracetamol di kotak obat, sama thermometer.” Shana pun menoleh dan menengadahkan kepala ke sisi kanannya. “Resh, siapin air hangat. Wadahnya ada di dapur, dalam lemari yang paling bawah. Terus, bawa dua handuk kecil di kamar mandi. Sekarang!” Mendengar perintah dari Shana, Nathan dan Aresh pun bergegas keluar dari kamar untuk mengambil semua keperluan yang dibutuhkan wanita paruh baya itu untuk menurunkan suhu tubuh Arash. Sedangkan Shana sendiri, menarik selimut yang sejak tadi menutupi tubuh putranya, ke bawah, lalu menaikkan suhu pendingin ruangan agar tidak terlalu dingin. “Pasti habis nolongin Zezei lagi,” gumam Shana, sembari mengusap puncak kepala Arash dengan lembut, karena ini bukan kali pertama, putranya tiba-tiba demam seperti sekarang. *** Setelah meminum obat paracetamol yang di bawakan oleh sang Ayah, dikompres oleh air hangat yang disiapkan oleh sang adik, dan dijaga juga ditemani tidur oleh Ibunya, perlahan kesehatan Arash pun mulai membaik. Suhu tubuh yang semalam sempat mencapai tiga puluh sembilan derajat celcius, pagii ini … ketika Shana mengecek kembali menggunakan thermometer, suhu tubuh pemuda itu sudah hampir kembali normal. Aresh yang baru saja selesai menunaikan shalat subuh berjamaah dengan kedua orang tuanya, kembali ke kamar, lalu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur yang sudah nampak rapi. Ia ambil ponsel miliknya di atas nakas, kemudian mulai memasuki ruang chat dengan seseorang. [Pawang Arash] Anda : Zei! Anda : Zei! Anda : Kebo! Anda : Bunga planet! Anda : Astagfirullah, semvak s**u beruang! Anda : Azeira Putri Auberon mangku bumi teu ka angkat! Pawang Arash : Bicik!! Anda : Whoa … bukan panggil nama sebanyak tiga kali ternyata, biar lu cepet nyaut. Pawang Arash : k*****t, lu! Gue baru selesai shalat subuh. Ada apaan? Si Arash ke mana? Gue teleponin dari tadi gak nyaut-nyaut. Anda : Arash sakit, semaleman dia bersin-bersin, batuk, terus demam tinggi. Hape Arash dimode silent sama Bunda. Setelah mengirim pesan terakhir, Aresh melirik sesaat pada sang Kakak yang masih terlelap di atas tempat tidur, dengan handuk kecil tersimpan di atas keningnya. Pemuda itu pun mengarahkan kamera ponsel pada Arash, lalu mengambil foto sang Kakak, untuk ia kirimkan pada Zeira. Anda : (foto) Anda : Kayanya … Arash gak akan masuk sekolah hari ini. Lu mau gue jemput? Gue ke sekolah pakai motor laki lu, bareng Sasa. Satu menit, dua menit, tiga menit … hingga tanpa terasa, sudah hampir tiga puluh menit berlalu, tetapi Zeira masih belum juga menjawab pesannya. Jangannya membalas, membaca pesan yang dikirimkan oleh Aresh pun, tidak. Pemuda tampan itu pun, perlahan kembali bangkit dari posisi berbaringnya, lalu berjalan menghampiri meja belajar, untuk memasukkan buku-buku pelajaran yang akan dipelajari hari ini, ke dalam tas. Namun, tepat saat Aresh hendak memasukkan buku mata pelajaran terakhir, suara bel apartemen yang terdengar sangat nyaring, berhasil mengalihkan perhatian pemuda itu. “Arash di mana, Tan?” Samar-samar, Aresh dapat mendengar suara seorang gadis yang sangat dikenalinya, bertanya pada sang Ibu yang membukakan pintu. Pemuda itu pun segera menyelesaikan kegiatannya, lalu berjalan keluar dari kamar, hendak memastikan, bahwa gadis tersebut benar-benar sahabatnya. “Zei? Ngapain lo ke sini?” tanya Aresh dengan dahi berkerut. Matanya menatap Zeira dari ujung kaki hingga ujung kepala, lalu menghela napas dalam-dalam. “M-mana Arash?” tanya Zeira pada Aresh, dengan napas tersengal-sengal. “Lu naik motor, pakai baju tidur setipis ini, Zei?” tanya Aresh, sembari menunjuk setelan piyama tipis, yang dikenakan oleh Zeira. “Mana Arash?” tanya Zeira lagi, tak menghiraukan pertanyaan yang diajukan oleh Aresh. “Masuk dulu, Zei! Udara di luar dingin banget pagi ini!” titah Nathan, yang saat ini tengah duduk di atas sofa, menikmati secangkir teh hangat buatan sang istri, sembari menatap pada gadis dengan rambut berantakan, yang masih berdiri di depan daun pintu apartemen. “Arash ada di kamarnya. Ayo masuk!” ajak Shana. Dengan kedua kaki yang masih terasa bergetar, Zeira pun mulai melangkah masuk ke dalam. Ia lepas sandal berbulu dengan bentuk kepala kelinci besar yang dikenakannya, lalu berjalan menuju kamar kedua sahabatnya. Ketika Zeira melewati Aresh, pemuda itu pun ikut berjalan, beriringan dengan Zeira, sembari merangkul pundak gadis itu. “Zei, gue salut sama lu,” bisik Aresh. “Salut kenapa?” tanya Zeira dengan dahi berkerut. “Karena cinta lu sama Arash, sebesar ini,” sahut Aresh. Dan tepat setelah mendengar jawaban tersebut, tanpa ragu, Zeira melayangkan satu pukulan cukup keras pada lengan bagian atas Aresh, hingga pemuda itu melompat, sedikit menjauh dan meringis kesakitan. “Sakit, Zezei!” “Mulut lo, minta disumpel pake sendal kelinci gue!” gerutu Zeira, kesal. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN