Abian Pratama, dia adalah seorang pengusaha, melanjutkan bisnis yang dibangun oleh mendiang ayahnya. Dia tidak terjun langsung ke perusahaan dan mempercayakan kepemimpinan perusahaan pada seseorang. Dia yang berstatus sebagai pemilik hanya mengawasi saja. Karena hal tersebut, Abian memiliki banyak waktu luang. Dia tak terikat pada jam kerja yang mengharuskannya menghabiskan waktu di sebuah ruangan kantor seharian.
Banyaknya waktu luang yang Abian miliki menjadi salah satu jalan terbaik untuk bisa berkomunikasi lebih sering bersama Savira. Semuanya terasa sangat kaku, canggung, dan tak nyaman di awal. Namun Abian berusaha menghilangkan perasaan itu. Beruntungnya, Abian tidak berusaha sendirian. Karena Savira juga melakukan hal yang sama.
Setelah beberapa hari tinggal dengan Abian, pikiran Savira semakin terbuka, dan dia sudah mulai menerima semua kenyataan yang terjadi. Dia berusaha untuk melupakan perasaannya pada Xavier, dan berusaha bersikap baik pada Abian yang kini sudah jadi suaminya.
Pernah dalam semalam Savira merenungi nasibnya yang tiba-tiba harus menikah dengan seorang pria yang bahkan usianya jauh di atasnya. Tapi jika dipikir-pikir lagi, Savira merasa tak rugi-rugi amat. Dari segi fisik, Abian sangat menarik. Abian bukanlah tipe om-om bertubuh pendek dan memiliki perut buncit. Di usianya yang sudah memasuki kepala empat, Abian berhasil menjaga bentuk tubuhnya untuk tetap bagus. Dan usia hanya sebuah angka, karena hal tersebut tak mengurangi ketampanan Abian.
Ingat David Beckham? Mantan pesepak bola tersebut malah terlihat semakin tampan dan menawan di usianya yang tak lagi muda. Dan mungkin, Abian bisa dibilang masuk tipe yang seperti itu juga. Semakin tua, semakin menawan dan berwibawa.
Selain David Beckham, Savira juga mengingat aktor-aktor Korea Selatan yang semakin berumur malah semakin menggoda. Well, dia harus bersyukur karena memiliki suami seperti itu juga.
Hal pertama yang selalu Savira dan Abian lakukan untuk memulai hari adalah saling menyapa di pagi hari. Lanjut sarapan bersama, diselingi dengan obrolan yang ringan. Perlahan, perasaan canggung dan kaku di antara mereka mulai menguap. Savira merasakan perasaan nyaman saat duduk berdua dengan Abian dan bertukar cerita dengan pria tersebut.
Sungguh, sifat Abian sangat berbeda dengan Xavier. Savira sudah bisa merasakannya. Mungkin, hal tersebut terjadi karena Xavier lebih banyak menuruni sifat ibunya. Ya, sepertinya memang begitu.
Dari segi usia, Abian jelas sudah matang dan lebih berpengalaman dalam segala hal dari pada Savira. Dia sudah pernah menjalani biduk rumah tangga, walau berakhir dengan perceraian. Entahlah. Yang jelas, Abian merasa tak menginginkan hal itu terjadi lagi. Tak lucu rasanya jika dia menjadi duda untuk yang kedua kalinya.
Lagi pula, Abian sedikit demi sedikit bisa memahami karakter Savira. Savira bukanlah tipe perempuan egois dan keras kepala. Abian yakin, asal dia bisa membimbing dan mengarahkan hal yang benar pada Savira, pasti hubungan mereka akan semakin baik ke depannya.
Tentang pekerjaan, Savira sudah berdiskusi dengan Abian kemarin. Abian meminta Savira untuk berhenti kerja saja karena dia sanggup memenuhi semua kebutuhan Savira. Savira pun tak menolak dan langsung membuat surat pengunduran diri. Dengan begini, Savira akan memberikan bukti pada keluarganya kalau Abian memperlakukan dia dengan baik. Agar ayahnya percaya juga dan tak terus merasa khawatir.
"Saya awalnya merasa ragu dengan keputusan yang kamu ambil atas hubungan ini. Namun saya lihat, sepertinya kamu serius dan berusaha dengan baik juga." Abian berkata pada Savira yang kini berada di hadapannya. Savira tersenyum kecil mendengar itu.
"Aku hanya berusaha menerima takdir saja. Karena aku yakin, Tuhan lebih tahu apa yang terbaik untukku." Savira membalas disertai dengan senyuman yang lembut. Abian ikut tersenyum mendengarnya. Kemudian tangannya yang besar terulur ke arah Savira. Savira sedikit ragu, namun berakhir dengan menerima uluran tangan dari Abian. Semburat rona merah menghiasi pipinya ketika Abian menggenggam tangannya dengan lembut.
"Ayo kita pergi sekarang."
***
Jam menunjukkan pukul sembilan pagi, dan sekarang Abian juga Savira sedang berada di KUA. Kedatangan mereka ke sana jelas untuk mendaftarkan pernikahan mereka. Karena sekarang, mereka berdua sudah sama-sama yakin dengan hubungan yang dijalani.
Abian tak mendaftarkan pernikahan mereka lebih awal karena ingin menunggu waktu saja. Takutnya Savira berubah pikiran dan mungkin tak mau lanjut hidup bersamanya. Tapi ternyata, setelah tiga minggu hidup di bawah atap yang sama, Abian tahu kalau Savira tidak main-main dan terus berusaha menjadi istri yang baik untuknya. Jadi, Abian merasa sudah waktunya pernikahan dia dan Savira didaftarkan agar sah di mata negara.
Berkas lengkap sudah mereka serahkan, dan beruntungnya mereka tidak diminta mengulang akad. Mereka hanya tinggal menunggu saja sampai buku nikah mereka selesai dan bisa diambil.
Setelah urusan di Kantor Urusan Agama selesai, Abian pun mengajak Savira pergi ke mall. Sebenarnya Savira tak memiliki keinginan untuk membeli sesuatu, namun tak salah rasanya jalan-jalan bersama dengan Abian, dengan harapan hubungan mereka bisa lebih baik lagi.
"Bisa kamu ceritakan awal pertemuan kamu dengan Xavier?" Abian bertanya pada Savira. Mereka kini duduk di sebuah cafe untuk sekedar minum saja.
"Ehm, kami kuliah di kampus yang sama namun beda jurusan. Mungkin secara tak sadar aku sering tak sengaja berpapasan dengannya. Namun kami awal bicara satu sama lain itu di sebuah toko fotokopi." Savira memulai sedikit ceritanya, menjawab pertanyaan Abian.
"Jika diingat-ingat lagi, sebenarnya Xavier tak pernah terlihat antusias saat kami menghabiskan waktu bersama, malah terlihat seperti terpaksa. Aku saja yang terlalu bucin sampai tak menyadari hal tersebut," lanjut Savira dengan senyuman kecil. Abian terdiam saat mendengar itu. Apa mungkin Xavier mengajak Savira berpacaran hanya karena merasa bosan dan butuh hiburan?
"Aku pernah tak sengaja memergoki dia jalan dengan mantannya. Salah aku yang malah percaya saja saat Xavier berkata tak ada apa-apa di antara mereka. Padahal mungkin itu adalah salah satu tanda kalau Xavier tidak serius padaku."
Agak membingungkan memang sekarang situasinya. Savira tak tahu apakah dia sedang menceritakan tentang Xavier pada ayah laki-laki itu, atau menceritakan tentang mantan pacarnya pada sang suami.
"Lalu, sekarang bagaimana perasaanmu terhadapnya?" Abian bertanya lagi.
"Belum sepenuhnya hilang. Tapi, tak ada yang bisa diharapkan lagi dari Xavier. Jadi ya, aku akan terus berusaha menghilangkan perasaan ini." Savira menjawab dengan jujur. Abian mengangguk pelan saat mendengar itu. Dia memahami perasaan Savira sekarang, dan Abian merasa bersalah lagi pada Savira. Karena kelakuan Xavier, Savira harus merasakan rasa sakit itu.