Lebih Dekat

937 Kata
Savira dan Abian berjalan beriringan di dalam mall. Tangan besar Abian setia menggenggam tangan Savira yang mungil. Mereka berkeliling, sekedar jalan-jalan dan cuci mata saja. Abian sudah menawari Savira untuk belanja, jika mungkin ada sesuatu yang Savira inginkan. Namun sampai saat ini, Savira belum menginginkan apapun. "Aku merasa di perhatikan oleh orang-orang," ucap Savira. Abian pun melihat sekitar, dan memang ada beberapa pasang mata yang melihat ke arah mereka. Ya, sudah bisa ditebak bagaimana isi pikiran mereka sekarang melihat kebersamaan Abian dan Savira. "Abaikan saja. Mereka hanya bisa menilai tanpa tahu yang sebenarnya," balas Abian. Walau tahu jadi perhatian beberapa orang, Abian tak melepaskan genggaman tangannya pada Savira. Dia malah menggenggam tangan Savira semakin erat. Mereka terus berjalan, mengabaikan tatapan beberapa orang. Walau agak kurang nyaman, Savira berusaha untuk tidak peduli. Setelah berkeliling mall, akhirnya Savira memutuskan untuk membeli sesuatu. Dia mengajak Abian ke sebuah toko sepatu, dan mencari flatshoes yang cocok untuknya. Abian pun setia menemani Savira sampai gadis itu berhasil menemukan yang cocok untuknya. "Kira-kira, lebih cocok yang mana?" Savira bertanya pada Abian yang berdiri di dekatnya. Dia lalu memperlihatkan dua pasang flatshoes berwarna putih dan coklat. Abian tak langsung memberikan jawaban, memperhatikan dulu kedua sepatu tersebut. "Warnanya dan model simpel. Dua-duanya cocok untukmu," jawab Abian. Savira terlihat bingung harus memilih yang mana sekarang setelah mendengar jawaban Abian. "Ambil saja dua-duanya. Jangan bingung seperti itu," ucap Abian. Dia lalu menarik Savira untuk segera menuju kasir dan membayar dua pasang sepatu tersebut. Abian mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam pada kasir sebagai alat p********n. Savira terlihat takjub melihatnya. Dia harusnya jangan sampai lupa tentang suaminya yang seorang pengusaha kaya. "Bagaimana kalau kita pulang sekarang? Barusan Ana kirim pesan katanya dia datang berkunjung ke rumah." Abian berkata pada Savira setelah mereka keluar dari toko sepatu tersebut. Savira pun mengangguk tanpa ragu. "Tentu saja." Savira menjawab tanpa keberatan. Mereka pun berjalan beriringan keluar dari dalam mall untuk segera pulang dari rumah. *** Keluarga Abian sudah tahu sejak lama tentang keputusan Abian dan Savira untuk mencoba menjalani hubungan. Tak ada yang merasa keberatan atau melakukan protes terhadap keputusan tersebut. Sejak sah menjadi istri Abian, Savira belum pernah bertemu dan mengobrol dengan keluarga Abian. Makanya, sekarang dia merasa sedikit gugup saat berhadapan dengan Ana, adiknya Abian. Padahal Ana juga bersikap ramah dan baik padanya. "Setelah cerai dari ibunya Xavier, Kak Bian pernah dua kali menjalin hubungan dengan wanita yang berbeda. Namun setiap memiliki niat untuk serius, hubungan mereka selalu saja kandas. Aku pun merasa sangat kaget ketika tahu Kak Bian berhasil menikah denganmu. Maksudku, yang direncanakan selalu berakhir gagal. Tetapi yang mendadak dan tak terduga, berjalan dengan lancar." Ana bercerita pada Savira yang duduk di hadapannya. Abian tak ada di sana, karena barusan izin ke kamar mandi sebentar. "Mungkin, memang kalian itu jodoh. Makanya Tuhan tidak mempersulit," lanjut Ana. Savira tersenyum tipis mendengar itu. "Nenekku juga mengatakan hal yang sama. Nenekku bilang, Tuhan tak mungkin memberikan izin pada kami untuk menjadi suami istri jika ini memang bukan takdir kami." Savira menimpali. Ana tertawa pelan mendengar itu. Skenario Tuhan memang sebuah misteri yang tak terduga. "Ya, siapa yang tahu ternyata aku akan memiliki kakak ipar yang usianya jauh lebih muda dariku," kekeh Ana. Savira tertawa geli mendengarnya. Dia jadi teringat pada kakaknya sendiri yang misuh-misuh, karena bingung harus memanggil Abian dengan sebutan apa. Sebab usia Abian 10 tahun di atas Nathan. Namun status Abian sekarang adalah adik iparnya Nathan. "Tentang Xavier, sebenarnya sejak dulu dia sudah sering berulah dan membuat masalah, bahkan saat masih tinggal bersama dengan Kak Bian. Hanya saja, kelakuannya semakin tak terkontrol setelah tinggal dengan ibunya. Saat Kak Bian berusaha mengarahkan Xavier ke jalan yang benar, anak itu malah berkata Kak Bian mengekangnya." Tanpa diminta, Ana menceritakan sedikit tentang Xavier. Savira terdiam mendengar itu. Ya, biasanya niat baik dan kasih sayang orang tua memang sering disalah artikan. Jujur, Savira pernah mengalaminya juga. Dia pernah merasa kesal dan sebal pada orang tuanya karena tak pernah memberikan izin saat dia ingin main di malam hari bersama Xavier. Namun sekarang, Savira baru sadar apa tujuan orang tuanya melakukan itu. "Ibu sudah sering bicara pada Kak Bian agar membawa Xavier tinggal dengannya lagi. Tapi, sekarang Xavier bukan anak kecil yang bisa dipaksa-paksa. Kehidupan bebas yang diberikan ibunya membuat Xavier semakin jauh dari Kak Bian." Savira masih terdiam mendengar itu. Mendengar semua cerita Ana, sepertinya Abian sudah berusaha keras sekali agar Xavier kembali tinggal dengannya, dengan tujuan agar hidup Xavier lebih terkontrol. Tapi ya, Xavier sudah dewasa sekarang. Jika tak ada kesadaran dari diri sendiri, dia tak akan berubah. Saat suasana hening sebentar, terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Savira menengok ke belakang, dan ternyata Abian lah yang berjalan mendekat padanya dan juga Ana. "Bagaimana kabar Farrel dan Rista?" Abian bertanya pada Ana setelah mengambil posisi duduk di samping Savira. "Mereka baik-baik saja. Hanya saja sekarang mereka betah sekali main di rumah ibu mertua. Bahkan kadang sampai susah untuk diajak pulang," jawab Ana. Mendengar jawaban Ana barusan, Savira menyimpulkan kalau Farrel dan Rista adalah nama anak-anaknya Ana. "Oh ya, Kak. Ibu berpesan, sekali-kali ajak Savira main ke rumah ibu. Ibu sudah tua dan seringnya malas untuk bepergian. Jadi Kakak yang harus berkunjung ke sana." Ana berucap. Abian pun mengangguk pelan. "Mungkin besok aku akan ke sana jika tidak ada urusan penting," balas Abian. Tangan Abian bergerak mengambil camilan dari dalam toples yang ada di atas meja. Tanpa di minta lebih dulu, Savira pun langsung menyimpan segelas air putih untuk Abian, dan Abian tak lupa mengucapkan terima kasih. Ana memperhatikan mereka, dan interaksi mereka berdua terlihat sangat natural, tidak dibuat-buat. Jujur saja Ana merasa lega melihatnya. Semoga saja Savira adalah perempuan yang tepat untuk kakaknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN