Drew POV
Plakkk
"Apa yang kau lakukan pada Gior?" Laura berteriak. Saat aku baru saja memasuki kamar rumah sakit di mana Gior dirawat.
Aku tak tahu bagaimana bisa dia tahu Gior di sini, mungkin Mom memberi tahunya. Laura adalah sahabat Gior, tentu saja dia akan selalu mengecek bagaimana keadaan gadis itu.
Aku menghela nafas. Pipiku terasa terbakar akibat tamparan keras yang dilayangkan istri Rush ini. Sialan wanita, kenapa selalu mengandalkan tamparan?
"Bisa kau jangan berteriak dan membuat Gior takut?" kataku berbisik. Laura masih kesal, walaupun sudah sedikit lebih tenang dari sebelumnya. Dia mengibaskan tangannya dengan tidak sabaran.
Dia mempersilahkan aku masuk. Dan akhirnya aku bisa melihat Gior meringkuk di sofa sambil memeluk boneka anjing kesayangannya. Seperti biasa.
Ternyata mata Gior terpejam. Tampaknya dia tertidur. Ini bukan hal yang biasa. Biasanya dia hanya meringkuk diam tetapi tidak tidur. Wajahnya tampak cekung dan berair. Dia menangis?
"Dia terus bermain dengan bonekanya dan tiba-tiba menangis. Bahkan tidak menghiraukan keberadaanku," ujar Laura dengan nada sedih. Aku tahu dia juga habis menangis.
Aku mengangguk mengiyakan, "Beberapa hari ini dia tampaknya sedih. Dokter bilang mood-nya sedang turun," kataku menjelaskan.
Laura saat ini berdiri tepat didepanku. Dia menatapku dengan tatapan menantang. Ya, sudah saatnya aku jelaskan semua.
"Malam itu kami bertengkar karena aku masih belum bisa menerima kehamilannya. Aku menyuruhnya menggugurkan kandungan tersebut. Namun yang dia lakukan malah mencoba untuk bunuh diri. Namun usahanya gagal karena pecahan piring yang akan digunakan tertancap lebih dulu di tangan Aiden. Dia pingsan dan sadar dalam keadaan seperti ini." Laura tertawa. Tertawa merendahkan. Ya, sepanjang aku mengenal Laura, bisa dihitung berapa kali dia tertawa seperti ini. Mengingat pembawaan Laura yang tenang.
"Kau ingin Gior menggugurkan kandungannya?" Dia menunjukku dengan kuku yang di cat berwarna merah. "KAU GILA!" Dia kembali berucap dengan penuh penekanan.
Aku balas melotot padanya. "Dia milikku, dan kau tidak punya hak apa-apa!"
"Beginikah kau memperlakukannya setiap hari? Pantas saja dia gila!" ucap Laura tajam.
"Dia tidak gila!"
Wanita didepanku terkekeh, "Kalau tidak gila apa namanya? Kau punya kesimpulan lain?" Dia bertanya dengan tatapan menantang.
Aku diam.
"Baiklah kalau begitu. Aku paham." Dia berbalik dan berjalan ke arah Gior.
"Kau tahu dia masih punya orang tua?" tanyanya tiba-tiba.
Aku diam tertegun. Benar, bagaimana bisa aku lupa tentang orang tua Gior. Jika dia punya orang tua, menghilang selama sebulan lebih pastilah membuat khawatir. Apalagi jika Gior menghilang setelah terlibat skandal.
"Sudah kuduga kau tidak pernah tau, Mr. Smart," ujarnya lagi dengan nada mengejek.
Aku benci mendengar seseorang merendahkan aku seperti itu. Meskipun aku pernah mencintai Laura. Tetap saja aku tidak bisa menerima bagaimana dia mengatakan jika Gior gila.
"Aku akan mengatakan pada Rush untuk menyiapkan jet pribadinya besok. Gior akan kubawa kembali ke Skotlandia, ke rumah orang tuanya."
∞∞∞
Sejujurnya aku sedikit heran. Tanpa produk kecantikan atau pun perawatan, Gior-ku tetap cantik.
Dia masih terbaring di sofa. Sudah hampir 3 jam sejak kepulangan Laura. Namun Gior tetap belum ingin membuka matanya. Karena terlalu terlalu khawatir, aku sempat memanggil dokter untuk memeriksa Gior. Dan hasilnya dia tidur, hal yang biasa dilakukan seorang wanita hamil.
Aku menatap Gior dalam sambil beberapa kali mengelus rambut pirangnya. "Jika kau pikir aku tidak takut dengan ancaman Laura. Kau salah, G."
"Aku sangat takut hingga nyaris tak bisa bernafas. Bagaimana jika besok kau benar-benar dibawa ke Skotlandia?"
∞∞∞
Di sinilah aku saat ini, di depan rumah besar bergaya mediterania. Ini adalah rumah Rush dan Laura di LA. Menurut penjelasan Laura tadi siang. Sejak kami mengadakan kencan bersama, dia dan Rush belum kembali ke New York karena mengurus beberapa bisnis.
Jadi itulah tujuanku berdiri di tengah hujan deras yang melanda pusat kota. Dengan tidak sabar beberapa kali menekan bel. Tak ada jawaban.
Hampir sepuluh menit. Sampai ada yang membuka pintunya. Seorang wanita paruh baya berkulit hitam. Mungkin dia asisten rumah tangga, aku tak tahu.
"Apakah anda mencari Tuan Rush?" tanya sang wanita paruh baya tersebut.
Aku mengangguk, "Ya, bisakah kau panggilkan untukku?" Dia mengajakku masuk ke dalam rumah dan memberikan sebuah handuk besar. Wanita itu menyuruhku menunggu di depan perapian yang terlihat sangat nyaman.
Tak lama aku menunggu, Rush muncul. Pria itu tampak sangat santai. Dia turun sambil menggendong putra kecil mereka.
Apakah anakku nanti akan seperti itu?
"Hey, Drew! Kau terlihat kacau, Bung." Dia menatapku heran.
Aku terkekeh, "Hanya sedikit hujan deras," kataku berpura-pura tak peduli, seolah ini adalah masalah kecil.
Rush ikut terkekeh, "Well, apa kau ingin bicara pada Laura? Bukannya kalian sudah bertemu tadi siang?"
"Ya, tetapi ada sedikit masalah yang harus aku selesaikan dengannya. Kurasa kau bisa ikut dalam perbicaraan kami," ujarku sambil sesekali melirik Arthur yang memainkan liurnya sendiri.
Tampaknya Rush memperhatikanku saat dia berkata, "Kau ingin menggendongnya?"
Aku ingin!
"Tidak, bajuku basah." Aku menggeleng. Bodoh Drew! Katakan saja kau ingin.
"Tak apa, Arthur tidak akan sakit hanya karena menempel padamu, Drew." Dia menyerahkan Arthur padaku. Aku gelagapan, tak tahu bagaimana caranya menggendong bayi.
"Bisakah kau menjaga Arthur? Aku akan memanggil Laura." Aku mengangguk.
Rush berbalik meninggalkan aku dan Arthur. Tak kusangka jika dia sangat tenang. Berbeda dengan waktu itu, dia bahkan tidak bisa diam dan terus tertawa dalam gendongan Gior.
"Bahkan seorang bayi tahu bahwa kau seorang tak bermoral." Aku mendongak ketika mendengar suara ketus itu. Laura berdiri tak jauh dari kami. Beberapa kali Rush berdeham, ya pria itu berdiri di sebelah Laura.
"Tidak ada yang perlu aku jaga dari ucapanku, Hon. Kau lihat? Arthur yang biasanya ceria saat ini berubah menjadi sangat tenang. Dia ketakutan." Baru saja Laura akan maju untuk mengambil Arthur, namun dengan sigap Rush menahan pinggangnya.
"Sudahlah, Baby. Kita akan bicarakan ini dengan kepala dingin okay? Tanpa emosi! Kita baru saja membicarakan ini," tahan Rush menengahi.
Aku merasa tidak enak hati dan seperti makhluk kotor di sini.
Bahkan Arthur takut padaku. Benarkah?
"Tak apa, Rush. Ada baiknya jika Arthur jangan aku yang menggendong. Bajuku basah. Dia akan deman kalau terlalu lama bersamaku." Aku menyerahkan Arthur pada Rush. Tampaknya anak itu sudah mulai mengantuk. Wajahnya tampak damai dan manis.
"Aku harap kau tidak berpikir untuk membunuh anakku juga," sembur Laura tajam.
Rush melotot. "Sudahlah, Laura!"
"Kenapa kau jadi membelanya?" tanya wanita itu tajam kepada suaminya.
Aku berdeham keras untuk melerai mereka. Dan berhasil, kini mereka malah melotot kepadaku.
"Cepat katakan apa keperluanmu, Mr. Smart! Ini sudah malam," ketus wanita itu kembali.
Sedangkan Rush hanya menggeleng kepada istrinya sambil terus menimang-nimang putra kecilnya.
"Aku harap kau hanya bercanda atas ucapanmu tadi siang, Laura," kataku memecah keheningan.
Dia mengkerut tak setuju. "Tidak bisa! Aku benar-benar akan membawa Gior ke Skotlandia. Aku tidak akan percaya lagi jika Gior bersamamu. Sahabatku bukan hanya akan gila, tetapi juga mati karena menahan sakit hati. Bahkan kau mengumumkan pernikahan tanpa bicara pada ibunya! Kau pikir kau siapa?" katanya galak. Aku mengusap wajahku dengan frustasi.
Semua yang diucapkan Laura benar. Jika aku telah melakukan segalanya dengan semena-mena tanpa persetujuan Gior.
Memaksa dan selalu akan memaksakan kehendak.
"Apa yang harus aku lakukan agar kau membatalkan hal Ini, Laura?" tanyaku frustasi.
"Tidak ada."
"Aku akan menjamin keselamatannya serta anak kami. Tidak bisakah kau memberi aku kesempatan?"
Laura berdecih. "Semuanya sudah terlambat, Tuan. Aku harap kau memanfaatkan malam Ini dengan baik. Karena besok aku benar-benar akan membawa Gior."
"Laura ... " tegur Rush, "Kenapa harus memaksakan kehendakmu?"
"Kau membelanya? Baiklah, kau bisa bergabung dengannya. Aku akan melakukannya sendiri," ujar Laura sambil mengambil Arthur dari gedongan Rush. Dia berjalan pergi meninggalkan kami berdua.
Rush mendesah dan berkata, "Bung, Aku tidak bisa membantumu lebih dari ini. Tapi aku akan memberimu sedikit pesan."
"Bersikaplah berwibawa pada wanita. Jangan sekali-sekali menunjukkan kemarahan apalagi taringmu. Cukup bijaksana dan bersikap layaknya pemimpin," ujar Rush sambil menepuk pundakku. Dia berpamitan dan menyusul Laura yang berjalan menghentakkan kakinya di lantai marmer. Wanita itu kesal.
Aku mengeluarkan ponsel dan berusaha menghubungi seseorang. "Carikan aku sebuah rumah dengan taman belakang yang indah serta berada di lingkungan yang damai. Aku dan istri-ku akan menempatinya besok pagi."
∞∞∞