“Nama Ibu saya itu Putri, kalau suaminya namanya Ganda.”
“Hah? Suaminya?”
“Iya Ayah saya,” ucap Juan sambil berdecak. “Gitu aja kok gak tau.”
“Maksud? Kok bapak malah ngomong gitu?”
“Back to the topic. Saya itu anak satu satunya orangtua saya. Mereka nikah pas udah sepuh, jadi keempat kakak saya itu beda Ayah sama Beda Ibu. Ayah bawa dua, Ibu bawa dua.”
“Nanti ada di sana?”
“Iyalah. Oiya, mereka juga sama kok jurusan hukum. Jadi nanti kalau ngobrol sama kamu pasti nyambung.”
Bukannya tenang, Raisa malah tambah gugup. Bagaimana kalau dia tidak bisa menjawab? Dalam kelas saja dirinya masih butuh bantuan google. “Pak,” rengeknya.
“Panggil saya Mas. Jangan kayak gitu, gak sopan sama calon suami.”
“Ih, pak….” Masih saja merengek.
“Apasih kenapa? udah tenang aja semuanya pasti bakalan baik baik aja,” ucap Juan mencoba menenangkan. Tapi sayangnya Raisa tidak mempercayai itu, dia menghembuskan napasnya kasar karena kesal. “Awas kamu kalau ngomong formal juga. Pokoknya panggil Mas, jangan bapak.”
Lama lama, Raisa mengantuk juga. Karena terlalu pusing memikirkan bagaimana nanti ke depannya, berakhirlah dia tidur. Bersamaan dengan Kenzo yang sedari tadi bellum juga bangun, keduanya tampak menggemaskan di mata Juan.
“Cantik banget calon bini. Bibit unggul inimah kalau jadi.” Tersenyum, terkekeh sendiri yang mana membuat Juan heran sendiri dengan dirinya.
Sampai akhirnya mobil berhenti, Juan tidak tega membangunkan Raisa. Tapi matanya sudah melihat sang Ibu yang menunggu di depan pintu dengan tatapannya yang tajam. Jadi terpaksa dia mengguncang tubuh Raisa. “Sa…. Yang…., bangun. Udah nyampe.”
Raisa perlahan membuka matanya. “Di pom mana ini?”
“Pom? Ini di rumah orangtua saya.”
“Hah?!” raisa langsung menegakan tubuhnya. “Aduh bapak ini gimana sih. kenapa gak ngasih tau dulu sebelumnya?! Saya belum siap siap, saya belum latihan.”
“Aku,” ucapnya penuh penekanan. “Panggilnya aku kamu, terus Mas juga jangan lupa.”
“Pak!”
“Shhhtt.. kamu bikin Kenzo bangun tuh. Cepetan siap siap.” Juan malah keluar dari mobil duluan meninggalkan Raisa yang masih dipenuhi ketakutan.
“Pak ih, tunggu dulu saya mau pake lisptik,” ucapnya saat Juan membangunkan Kenzo dan menggendongnya.
“Cepetan.” Juan berujar. Namun, pria itu malah melangkah lebih dulu menemui seorang wanita paruh baya yang memakai kebaya merah di sana. “Ibu,” ucapnya.
“Eyang…..” Kenzo langsung meminta turun untuk memeluk kaki sosok tersebut. “Kangen Eyang.”
“Duh sayangnya Eyang. Eyang juga kangen sama Enzo.” Mengusap pipi anak tersebut.
“Eyang Kungkang dimana?”
Ibu Putri tertawa mendengarnya. “Ada di dalam. Sana. ada sepupu Kenzo juga.”
Anak itu langsung berlari mengabaikan sang ayah ataupun Raisa yang masih memperbaiki dirinya dalam mobil.
“Ibu mau ajak kamu ketemu sama wanita yang mau Ibu jodohin sama kamu.”
Karena Juan tahu sang Ibu akan melakukan itu, dia menghela napasnya. “Calon ibunya Kenzo juga ikut.”
Untungnya setelah Juan mengatakan kalimat itu, Raisa keluar dari dalam mobil dan melangkah ke arah mereka.
“Itu dia.”
Ibu Putri terdiam dengan mata menyipit. Begitu Raisa sampai di samping Juan, dia mendapatkan rangkulan dari pria itu. untung saja ini sandiwara, jika tidak, Raisa akan protes.
“Hallo, Bu. Maaf tadi beresin penampilan dulu,” ucap Raisa bersopan santun.
“Penampilan gak penting. Yang penting hatinya.”
“Eh?” raisa bingung sendiri. “Saya Raisa, Bu… saya.. pacarnya Mas Kenzo.”
“Serius kalian udah pacaran?” ibu Putri menutup mulutnya tidak percaya, kemudian tersenyum dengan begitu manis. “Yaudah ayok manis. Ibu mau denger gimana cerita tentang kalian. Yuk masuk yuk.” Bahkan kini Ibu Putri sudah menggandeng tangan Raisa dan membawanya masuk.
***
Ketika Raisa masuk, dia kaget melihat banyak orang di rumah megah itu. ada seorang pria tua dengan tongkat yang sedang duduk, dia memakai blangkon dan terlihat jelas kalau dialah majikan di sini. ada juga beberapa orangtua, anak muda dan anak seumuran Kenzo yang sedang bermain dengannya.
“Jangan hiraukan mereka. kamu sama Ibu aja. ayok, Ibu mau ngomong dulu.”
Raisa mengangguk, sesekali dia melirik pada Juan yang hanya diam sejak tadi. Bahkan pria itu enggan menatapnya, hanya merangkulnya saja.
Ternyata Raisa di bawa ke sebuah ruangan yang lebih hening, ada sofa dan dinding yang terdiri dari rak yang dipenuhi buku. “Duduk, Nak.” Pada Raisa. “Biii!”
“Iya, Ibu?” bergegas datang pada sang majikan. “Kenapa, Bu?”
“Bawain teh tiga ya, sama camilan anget bawa ke sini.”
“Baik, Bu.”
Wajah serius ketika sebelumnya bicara dengan pembantu itu kini berubah menjadi hangat saat menatap Raisa. “Jadi, namanya Raisa?”
“Raisa Revalina Putri, Bu.”
“Wuih, ada putrinya. Sama kayak Ibu namanya ya. ibu juga putri.”
“Iya, hehehe.” Raisa bingung! Apa yang harus dia bahas? Dia belum pernah bertemu dengan orangtua pacarnya.
“Jadi, Raisa kerja di mana?”
Kali ini Juan yang menjawab. “Raisa masih kuliah, Bu. Sekarang semester tujuh. Mahasiswa jurusan hukum.”
“Lah, kamu pacaran sama mahasiswa sendiri?” ibu Putri terlihat kaget. Namun, sedetik kemudian dia terkekeh. “Gak papa sih, berarti masih muda dong. Berapa umurnya?”
“Um, udah 22 tahun, Bu.”
“Wah, masih muda banget ya?” terlihat bimbang di mata.
Tapi Juan segera mengatakan, “Juan nyaman sama dia.”
“Bisa ceritain gimana kalian bisa bertemu?”
“Ya normal lah, Bu. Ketemu di kampus gitu.”
“Berarti orang orang di kampus tau dong kalau kalian punya hubungan?”
Juan menggeleng. “Bukan konsumsi public.”
“Kenzo gimana? Dia tau kalau kalian ada hubungan?”
“Tau, bahkan Kenzo sekarang mau ditinggal sama pengasuhnya dan berduaan sama Raisa. Lihat aja sekarang pengasuhnya gak ikut karena ada Raisa.”
“Bener juga ya,” ucap Ibu Putri baru menyadarinya. Kemudian dia menggelengkan kepala. “Nah, karena kalian udah cocok. Rencananya kapan nikah?”
Raisa diam, dia ingin memberikan semua beban pertanyaan itu pada Juan. Tapi pria itu tidak kunjung menjawab.
“Raisa, kamu siapnya kapan?” tanya Ibu Putri.
“Untuk sekarang, Raisa ingin focus dulu membereskan kuliah, Bu. Belum ada rencaana mau nikah.”
“Aduh… Juan udah tua, Nak. Nanti kamu keburu gak cinta sama dia kalau ditunda tunda.” Ibu Putri maunya keduanya segera menikah, dia ingin menimang cucu perempuan karena semua cucunya laki laki. “Gimana? Udah siap kan? Lagian Juan itu dekan loh di fakultas kamu, dia bisa bantu kamu skripsi dan lain lain. Les private sama dia kan bisa.”
“Bu, Raisa harus focus dulu sama pendidikannya. Masalah nikah, nanti aja. lagian Juan juga gak nuntut kok.”
“Kamu sadar diri dong kalau udah tua.” Ibu Putri kesal, anaknya tidak seperti memiliki keinginan untuk menikah.
“Ibu maaf mengganggu. Ini ada telpon dari Yayasan Kasih Bunda.” Sang pembantu datang memberitahu.
Ibu Putri langsung berdiri. “Kalian jangan kemana mana dulu. diem di sini ya.”
Sepeninggalan sosok itu, Raisa langsung mentap Juan dengan maniknya yang berkaca kaca,
“Mas,” panggilnya karena takut orang lain mendengar.
Hal itu malah memunculkan senyuman di wajah Juan. “Dalem, Dek,” jawabnya.
“Ih serius. Nanti gimana kalau mereka tanya tanya yang lain hah?”
“Sepintarnya kamu aja jawabnya.”
Ketika Ibu Putri kembali, Raisa langsung menutup mulutnya dan menatap dengan senyuman pada calon mertuanya tersebut.
“Raisa, orangtua kamu gimana?”
“Um, kerja biasa. Punya bisnis kuliner.”
“Oiya? Bagus dong. Kamu anak keberapa?” Ibu Putri bertanya sambil memegang telpon di tangannya, sepertinya dia belum selesai bicara dengan seseorang di dalam sana.
“Anak satu satunya, Bu.”
“Bagus. Lahir hari apa?”
“Hari kamis, Bu.”
“Oke.” Kemudian Ibu Putri menempelkan lagi telpon pada telinganya. “Hallo? Iya anaknya lahirnya kamis, kalau Juan kan senin. Dia anak satu satunya juga, sekarang umurnya 22 tahun. Nama lengkapnya Raisa Revalina Putri.”
Raisa terkejut, kepada siapa informasi tersebut diberikan?
“Hehehehe, tadi Ibu bilang sama orang kepercayaan Ibu buat baca keberuntungan kalian ke depannya,” jelas Ibu Putri setelah mematikan panggilan. “Lapar gak kalian? Oiya, Raisa bisa masak berarti ya? masak sama Ibu yuk. Gabung sama yang lain juga.”
***
Sial sekali untuk Raisa, dia harus memasak dan ditinggalkan oleh Juan. Yang membuatnya takut itu nanti akan diberikan pertanyaan pertanyaan aneh oleh keluarga ini. raisa tidak siap, aapalagi beberapa dari mereka memperkenalkan diri sebagai kakak dari Juan.
Memang kenyataan kalau semua cucu Ibu Putri adalah laki laki termasuk Kenzo. Ibu Putri melahirkan tiga anak laki laki, dan suaminya membawa dua anak laki laki juga. Di sini para wanita hanyalah menantu, dan Raisa calon menantu anak bungsu hingga beberapa dari wanita itu mendekat padanya.
“Udah bisa ngehasilin berapa perbulan?”
“Gimana ceritanya deket sama Juan?”
Dan yang lain sebagainya. Yang Raisa ketahui kalau mereka itu orang orang hebat. Ada yang Jaksa, notaris, staff di pengadilan, panitera. Bahkan ayahnya Juan itu mantan polisi. Keren semua memang.
“Kamu kekhususan apa?”
“Pidana, Mbak,” jawab Raisa yang sedang memotong wortel.
“Wah, bagus dong. Suka bedah pasal nggak? Mbak ini lagi sekolah S3, kalau ada orang yang sefrekuensi pasti enak ngobrol ngobrol.”
Jujur, Raisa enggan. Dia mana paham dengan pelajaran seperti itu. untungnya Ibu Putri datang dan mengatakan, “Jangan, anak ini perlu tidur dengan nyenyak soalnya besok mau nemenin Juan ke acara seminar.”
“Hah? Gimana, Bu?”
“Juan kan ada acara seminar besok, sebagai pemateri dari dekan fakultas hukum. Kamu ikut, sekalian mulai ngebaur sama lingkungan Juan ya.”
“Hehehehe.” Raisa mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Juan. Di mana dia. Saking paniknya, bola matanya bergerak ke sana ke mari.
Ibu Putri langsung tercengang. “Raisa, kamu punya bakat nari juga kah? Kamu asal dari Bali juga?”