Perjalanan ke Bandung

1110 Kata
Karena berangkatnya besok pagi, jadi Raisa harus membereskan barang barangnnya juga. Dan sialnya, barang barang Juan belum dia kemas. Padahalkan Juan sudah dewasa dan tau apa saja yang dia butuhkan. Raisa baru mengenalnya beberapa minggu, mana tau dia tentang apa yang Juan butuhkan dan tidak. “Raisa, kamu belum packing baju saya.” “Pak.” Matanya memelas, bahkan sekarang Juan menunggunya dengan berdiri di ambang pintu. Bagaimana bisa dirinya tidak takut kalau perlakuan pria itu seperti ini. “Bapak siapin aja barang barang yang mau bapak bawa. Nanti saya yang kemasin ke dalam koper ya? soalnya saya gak tau, nanti di sana bapak ngapain aja, mau pake bajunya yang mana. Ya?” Melihat wajah Raisa yang lelah, Juan merasa kasihan juga. Pria itu berdehem dan mengedarkan pandangannya. “Yaudah kalau gitu. Besok pagi semuanya harus beres ya.” “Iya, Pak.” Merasa lega ketika pria berkacamata itu tidak complain lagi. Namun yang mengagetkan adalah Juan yang tiba tiba mendekat kemudian mengusak kepala Raisa. Tterdiam sejenak sebelum akhirnya mengatakan, “Ih, Bapak! Aku gak suka digituin!” “Jangan berisik, nanti anak kita bangun,” ucap Juan dengan santainya melangkah pergi dari sana. beberapa hal yang dia periksa sebelum tidur adalah pekerjaannya yang sempat terabaikan karena memikirkan Raisa terus tadi. Dimulai dari anak yang terlibat masalah dengan fakultas ekonomi, rencana ormawa dan juga tentang akreditasi. Sampai pukul dua, baru Juan bisa tidur. Untungnya dia sudah menyiapkan apa saja yang ingin dia bawa ke Bandung, jadi di pagi buta Raisa masuk ke dalam kamar untuk mengemasi pakaiannya. Dilihatnya pria yang terbaring di atas ranjang dengan kaos hitam, tidak ada kacamata yang bertengger di sana. “Keliatan banget bule nya,” gumam Raisa seperti itu. tumpukan baju itu dia yakini adalah yang dipilih oleh Juan. Jadi dia membereskannya ke dalam koper yang ditemukan di walk in closet. Raisa duduk di karpet bulu yang melapisi semua bagian lantai di kamar itu. melipat baju Juan yang aromanya begitu khas, bahkan Raisa merasa tidak pernah mencium aroma ini dari orang lain. “Ughhhh…” Raisa mematung saat Juan bergerak dan mengeluarkan suara aneh, Juan berubah posisi hingga tidur miring ke arah Raisa. “Dih, ngapain dia liatin gue,” gumamnya seperti itu. Mencoba bodo amat, Raisa tetap melipat pakaian. “Ini pakaian dalam harus beda deh, pake kantong kecil.” Janggal sekali untuk Raisa melakukan ini, melipat pakaian dalam laki laki dewasa. Sampai ketika Raisa menemukan satu warna yang berbeda, keningnya berkerut. “Ini beda sendiri warna abu muda.” Agak heran dan membentangkannya untuk memastikan apakah itu memang milik Juan. Karena selama di sini, Raisa mencuci pakaian dalam warna hitam milik Juan. “Sama kok ukurannya.” “Sama dong, masa iya jadi kecil.” “Huahh!” raisa langsung melempar pakaian Dallam tersebut dan menoleh pada Juan yang sudah membuka mata, dengan tersenyum ke arahnya. “Bapak sejak kapan bangun?” “Liatin kamu… bikin seneng gitu. Calon istri yang pengertian banget.” Kemudian wajahnya tiba tiba datar. “Lanjutin ya. dan jangan ganggu saja.” kemudian mengubah posisi menjadi terlentang. Raisa heran, apa yang terjadi dengannya? Seperti menahan sesuatu? Ingin kencing? Sampai Raisa sadar dan melihat ke bagian bawah perut Juan yang tertutupi selimut, ada sesuatu yang mengembung di sana. dia ketakutan dan memasukan semua cellana dalam ke dalam satu ruang dengan pakaian. Tidak peduli jika tidak memisahkannya, Raisa ingin segera keluar dari kamar ini. Sementara Juan yang sedang memejamkan matanya itu berucap, “Kamu jangan kecapean. Semalem pasti tidur malem kan? Kalau misalnya capek masak, beli bubur aja. berterima kasihlah sama saya karena saya baik hati, Raisa.” Sampai sadar tidak ada yang menjawab, Juan menoleh ke samping. “Raisa?” tidak tau kalau Raisa sudah keluar dari kamarnya. *** Mereka akhirnya menuju ke Bandung dengan Raisa yang sedari tadi tidak bisa menahan kegugupannya, ketakutannya akan bertemu dengan keluarga Juan. Bagaimana bisa dirinya mengaku sebagai pacarnya? “Pak?” “Udah saya bilang gak bisa kabur kamu.” Nah, jawabanya selalu seperti itu. Raisa tidak bisa mundur, atau ancamannya mengenai akademiknya. Tidak main main. Memilih untuk menoleh memastikan Kenzo nyaman di belakang sana sendirian. “Berhenti dulu.” “Mau apa?” “Kenzo bobonya gak bener. Mau aku botulin,” ucapnya tanpa mengalihkan pandang pada anak tersebut. Juan tersenyum, dia melakukannya dan membiarkan Raisa turun untuk membenarkan posisi tidur anaknya. Baru kembali lagi ke depan. “Kita udah kayak keluarga kecil aja ya.” “Apasih, Pak.” “Kamu jangan gitu, saya serius. Mau gak saya nikahin?” “Ogah,” ucapnya frontal membuat Juan tertawa. “Yaudah tunggu ya, saya mau beli air dulu.” Karena kebetulan mereka berhenti di pom. Sepanjang perjalanan tadi Raisa tidak bisa menahan kegugupannya. Karena ini sama saja dengan kebohongan dimana dirinya akan mengatakan kalau dia adalah pacar dari Juan. Gila saja, kenyataannya tidak seperti itu. lagipula bagaimana mereka memulai ceritanya nanti? Sampai dering telpon berbunyi, Raisa yang sedang melamun itu merasa terganggu. Dia berdecak dan mengangkat telponnya. “Hallo?” Namun tidak ada jawaban dari sana. “Hallo, ini siapa?” tanya Raisa lagi. Dia memeriksa nomor yang masuk, matanya membulat karena sadar itu adalah ponsel Juan. Dan yang menelponnya adalah wakil dekan III yang seketika membuat Raisa melempar pelan hapenya ke tempat sebelumnya. “Kenapa?” tanya Juan begitu masuk. Raisa langsung menunjuk ponsel yang ada di sana. juan berdecak karenanya. “Hallo? Tadi kekasih saya yang mengangkat. Bagaimana?” Duh, Raisa jadi takut saat Juan ikut melakukan kebohongan itu pada area kampus. “Saya harus menjadi pemateri dulu di Bandung. Ada seminar hukum di sini. kalau masalah dengan fakultas ekonomi, nanti saya bicaara dengan dekannya. Sekarang pastikan saja anak anak aman. Senin saya bakalan ngomong juga sama orangtua mahasiswa yang bersangkutan.” Intonasi dan raut wajah inilah yang ditakuti mahasiswa, serius dan juga penuh dengan perintah. Namun saat telpon usai, Juan kembali tersenyum menatap Raisa yang langsung memalingkan wajah. “Nih buat kamu, beli ice cream.” “Dih, gak usah padahal.” Sambil mengambil ice cream itu dan memakannya. “Bapak bohongnya jangan kebanyakan deh. Apalagi ke area kampus. Masa kita mau ngaku ngaku pacaran? Jujur aja, Pak. Apa yang terjadi ini bikin saya takut, gimana kalau ketahuan? Kita juga sama sekali gak tau gimana kita berdua jadi sama sama sekarang? Terus nanti gimana kalau Kenzo bilang aku itu pengasuh di rumahnya yang gantiin Bibi?” Juan berdecak. “Bilang aja kamu mahasiswa saya yang memang pacar saya. Ketemu di mana? Bilang aja kamu sering keluar masuk dekan. Masalah Kenzo? Gak akan, diamah anaknya bisa saya kendalikan,” ucapnya dengan sombong. Dia tidak sabar memamekan Raisa paada keluarganya. “Pak, jangan senyum mulu nanti giginya kering loh.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN