Putri hampir berteriak jika saja tak sadar siapa yang menarik tangannya dari balik jajaran mobil itu.
“Apa-apaan, sih!” hardiknya kaget sambil menepis tangan Yuda dari lengannya.
Yuda berdecak kesal seraya memberinya tatapan datar.
“Jelaskan kejadian tadi, itu ibu-ibu nggak mungkin datang ke sini tanpa alasan dan langsung mukulin kamu!” katanya berkacak pinggang.
Putri melipat kedua tangannya di depan d**a sambil memasang ekspresi kesal di wajahnya.
“Mereka cuma salah paham!” tegasnya, “lagian nggak ada urusannya sama kamu mau aku jadi ani-ani atau apa!”
Yuda mengangkat alis mendengar jawaban Putri, yang dinilainya justru semakin mencurigakan.
“Aku harus buat laporan, Put. Cuma nanya doang, kalau bukan karena tugas, malas aku nanya soal beginian sama kamu!” tukasnya lanjut menggerutu.
Putri berdecih mendengarnya, “Terus yang selalu kamu lakuin ke aku itu apa, Yuda? Main dokter-dokteran doang?!” balasnya gusar, mengingat jika cowok itu sering mencumbunya dan tak jarang mereka lanjut bercinta di sekitar area atau ruangan kampus yang sepi.
Yuda mendengus menanggapinya. “Itu nggak penting, lagian kamu juga mau ‘kan!” cibirnya tak mau disudutkan dengan hal yang memang selalu dia lakukan terhadap Putri.
“Nggak penting? Kamu anggap itu hal biasa, ‘kan? Jadi nggak usah kepo nanya soal keributan itu. Kalau mau buat laporan, ya bikin aja ngarang, ‘kan bisa!” hardik Putri dengan suara meninggi saking emosinya, setelah itu pergi meninggalkan Yuda yang hanya bisa menggeram kesal karenanya.
“Sialan! Dasar jalang!” umpat Yuda sambil menendang ban mobil orang dengan asal.
Tak diduga, alarm mobil tersebut menyala nyaring karena menganggap tindakan Yuda sebagai bentuk ancaman.
TIN! TIN! TIN!
“Anjir!” seru Yuda kaget, reflek meraba dadanya saking kaget.
Dilihatnya mobil yang ditendangnya itu termasuk mobil mewah, entah siapa pemiliknya. Suara alarmnya yang nyaring mencuri perhatian orang dan spontan melihat ke arah Yuda yang berdiri paling dekat disitu.
“Aduh! Pada ngeliatin! Sialan, ini mobil siapa, Anjir? Kenapa nggak mati juga alarmnya!” gerutunya menahan malu.
“Woi, matiin, dong! Berisik tauk!”
“Iya, tau kok mobil loe mahal, nggak usah pamer juga!”
“Sok banget jadi orang kaya!”
“Yang beneran kaya juga nggak sok kayak loe!”
Yuda sontak merah padam mendengarnya, orang-orang malah berpikir dia pemilik mobil itu. Tak mau kehilangan muka, dia lalu berpura-pura sibuk mencari kunci mobilnya.
“Sori! Kuncinya hilang, gua lagi nyari!” serunya seraya berjongkok sambil menebar pandangan seolah sedang mencari sesuatu.
Sampai orang-orang itu akhirnya pergi sambil menggerutu kesal, Yuda bertahan menundukkan wajahnya dengan lagak mencari barang.
“Sial! Ini mobil kenapa juga bawel begini, sih!” gerutunya seraya menepuk ban mobil itu dengan kesal.
Ajaib!
Suara alarmnya berhenti saat itu juga!
“Lho? Mati!” seru Yuda antara kaget dan lega karenanya, dia tertawa senang akhirnya lepas dari malu.
“Dari tadi, kek! Bilang aja loe sensitif gara-gara ban loe kena tendang, Sundel!” umpatnya terkekeh sambil menyapukan kakinya dan tanpa sengaja kembali menendang ban mobil itu.
“Eh, jangan–duh!”
Yuda lari terbirit-b***t jadinya begitu alarm mobil kembali menyala dengan nyaringnya, tak mau disalahkan lagi.
Dari balik mobil lain, Alexa tertawa terpingkal-pingkal sendiri sambil menutup mulutnya, merasa lucu dengan tingkah Yuda. Dia lalu menekan remot kecil yang menjadi gantungan kunci di tangannya, kunci dari mobil itu. Alarm pun seketika berhenti dan suasana kembali tenang.
“Aduh, konyol!” kekeh Alexa dengan sisa tawanya, perutnya sakit karena menahan tawa sejak tadi.
“Aku belum sempat bawa pulang itu mobil, bahaya kalau sampai ada yang lihat aku masuk ke mobil itu!” gumamnya seraya memasukkan kunci mobil ke dalam tas.
Tak mau ada teman lain yang melihatnya, Alexa bergegas menuju kelas. Meski dia hanya menyamar saja dan tidak benar-benar menjadi mahasiswa di sana, dia ingin semua orang melihatnya sebagaimana mahasiswa biasa lainnya.
***
Darren baru tiba di kampus, dia sempat mendengar keributan tadi dan hanya menggeleng seraya berlalu dari TKP.
“Sepertinya kampus ini cukup problematik!” gumamnya pelan sambil menghela nafas dalam-dalam dan lanjut menuju ruangan dosen untuk menyiapkan materi pelajaran hari ini.
Pilihannya untuk mengajar di Universitas Ryuzaki juga didorong untuk menenangkan diri, sedikit menjauh dari kenangan tentang Ae-ri. Darren tak bisa tetap tinggal di rumah lama dengan semua memori kebersamaannya dengan istrinya itu. Juga, Youra yang sedang sakit membutuhkan perhatian lebih, dan kota ini memiliki Rumah Sakit yang fasilitasnya lebih lengkap. Ditambah dengan jaminan asuransi kesehatan dari pihak kampus sendiri, sehingga Youra bisa terus menjalani pengobatan dengan baik.
“Kabarnya ada ayam kampus di sini, kabar itu bikin risih kuping saja jadinya!”
Darren langsung disambut percakapan beberapa orang dosen di meja kerja salah satu dari mereka, tak urung dia ikut mendengarkan meski sebenarnya dia tak suka dengan bahasannya. Darren lurus berjala menuju mejanya, enggan untuk bergabung dengan mereka.
“Oh, ya, Pak Darren!”
Sontak Darren meluruhkan bahunya tak kentara, cepat dia menarik senyuman sebelum berbalik pada yang memanggilnya barusan.
“Ya, Bu Dania?” sahutnya tersenyum ramah.
Para dosen wanita yang ada di sana sontak saling melempar senyum gemas satu sama lain, sementara dosen pria hanya memasang wajah datar melihat kelakuan rekan-rekan mereka itu.
“Pak Darren baru ‘kan di sini, mana singel parent pula,” ujar Bu Dania, wanita bertubuh tambun itu mengerling sambil tersenyum.
“Ya, kenapa memangnya, Bu?” kata Darren, malas jika membahas statusnya secara terbuka.
Sejenak Bu Dani mengerjap gugup merasakan nada suara Darren yang terdengar hambar.
“Eh, maaf. Saya cuma mau nanya, apa Pak Darren nggak ada gangguan ngajar di sini?” tanyanya.
Darren paham dengan apa yang dibicarakan oleh Bu Dania, memang ada banyak mahasiswi genit yang menggodanya entah secara terang-terangan atau hanya melirik-lirik saja dari jauh. Dia sendiri bisa membedakan mana yang hanya genit saja, dan mana yang menyiratkan hal lain.
“Heum, biasa saja, Bu. Memangnya apa yang Ibu maksud?” ujar Darren pura-pura tak mengerti.
“Sudah, jangan ganggu Pak Darren!” tukas Pak Bondan, dosen gemuk berkepala botak, dia tersenyum pada Darren lalu mendekat.
“Modus saja mau nyari obrolan, Pak. Nggak usah dianggap!” katanya berbisik namun jelas masih bisa didengar oleh yang lain.
Bu Dania terperangah kaget karenanya, dia memalingkan wajahnya yang merah padam kemudian berlalu kembali ke mejanya. Sementara rekan-rekannya tertawa karenanya. Darren pun tersenyum saja, dia lalu mengangguk menyapa yang lain sebelum kemudian melanjutkan langkahnya menuju meja kerjanya.
Sejenak dia terpikirkan mengenai rumor ayam kampus itu, dia menghela nafas dalam-dalam mengingat jiwa kelelakiannya yang sudah lama tak tersalurkan.
“Astaga, jangan mikir macam-macam, Darren!” desahnya, bayangan Ae-ri berkelebat dan itu yang menyelamatkannya dari pikiran kotor.
Dengan visual tampan dan perawakannya yang tinggi tegap dengan tubuh atletis, dia tidak akan sulit mendapatkan gadis atau mahasiswi sekedar memuaskan nafsunya, hanya saja dia masih bisa menahan diri dan memilih untuk menyibukkan diri daripada berpikir ke arah sana.