Alexa merasa ada yang janggal dari ekspresi Putri ketika di ruang kesehatan kampus tadi, gadis itu terlihat santai dan tenang padahal baru saja mengalami hal yang terbilang memalukan–dituduh sebagai ani-ani atau wanita simpanan suami orang. Logikanya, orang tua Putri itu sekaya apa sampai anak mereka diberi fasilitas mewah dan berpenampilan glamor setiap kali ngampus.
“Mungkin aku bisa mulai menebar kail!” pikir Alexa.
“Masih sakit, Put?” tanya Ayu ketika mereka membawa Putri ke bangku taman. Sepertinya keributan tadi menyebar dengan cepat dan menghembuskan gosip tidak sedap, karena tak sedikit para mahasiswa yang melirik sinis ke arah mereka bertiga.
Putri meringis pelan sambil meneliti wajahnya dengan berkaca di cermin cushion mahalnya itu. Alexa diam-diam meneliti penampilan Putri yang menurutnya begitu berlebihan untuk ukuran seorang mahasiswa biasa.
“Yah, lebam, deh!” gerutu Putri seraya meraba pipinya, namun sedikit sentuhan saja dia langsung meringis kesakitan.
“Ya, jelas lebam. Yang pukulin kamu itu kayak atlet angkat beban!” celetuk Ayu.
“Beban hidup?!” tukas Putri menyahuti dengan nada bercanda, sontak saja mereka tertawa bersamaan dengan candaan itu.
Alexa tersenyum, dia mengerling dengan taktik tersembunyi di balik matanya.
“Lebam begini, apa nggak ganggu aktivitas kamu?” ujarnya.
Putri menggeleng sambil terus mencoba membubuhkan cushion-nya di atas lebam itu.
“Nggak juga, sih. Sudah nggak terlalu sakit, cuma terasa kaku saja dan ngilu kalau kena sentuh!” katanya.
Ayu dan Alexa mengangguk mengiyakan, tapi sejurus kemudian Alexa menghela nafas berat dan itu terdengar oleh Ayu.
“Kamu kenapa? Ada masalah?” ujarnya bertanya.
Alexa mengangkat alis dan menoleh pada Ayu dengan raut wajah bingung.
“Hah? Siapa?” sahutnya menoleh pada Putri juga.
Putri tersenyum gemas karenanya, dia paham jika Ayu bertanya pada Alexa.
“Kamu, Zahwa!” ujar Putri dan Ayu lalu mereka tertawa bersamaan.
Alexa terkekeh karenanya. “Aku kenapa memangnya?” katanya.
Ayu menggeleng gemas. “Barusan tarikan nafasnya kayak orang yang belum bayar pinjol, ada apa coba?” katanya terkikik geli.
“Ho-oh, bilang saja nggak usah sungkan!” tambah Putri mengerling manis pada Alexa.
Alexa terdiam, perasaannya mengatakan jika salah satu dari gadis yang ada di hadapannya itu akan memberikan informasi berguna untuk misinya. Wajahnya yang terlihat seolah sedang bingung membuatnya aktingnya menjadi lebih meyakinkan.
“Bukan apa-apa, aku cuma lagi bingung,” katanya mengulur tali pancing pelan-pelan.
“Kenapa?” tanya Ayu heran.
“Ya, ngomong saja. Mana tahu kita bisa bantu, ya nggak?” timpal Putri menoleh pada Ayu, gadis itu mengangguk mengiyakan.
Alexa menatap keduanya untuk beberapa saat, menelisik mana yang menunjukkan simpati yang tulus.
“Aku lagi pusing mikirin biaya berobat ibu, beliau sekarang ada di RS dan harus segera menjalani operasi,” ungkapnya, dalam hati mengucap mantra ‘amit-amit’ dan meminta maaf pada Sekar karena mencatut posisinya.
“Wah, beneran? Kok bisa?!” ujar Ayu membelalak kaget, menurutnya Alexa itu memiliki visual langka yang membuatnya lebih cocok jadi anak orang kaya daripada sebagai mahasiswa yang kebingungan.
“Apanya?” ujar Alexa tertawa kecil melihat ekspresi terkejut di wajah Ayu.
“Iya, kamu kok bisa punya masalah pelik begitu? Aku pikir kamu itu anak orang kaya, kalau kamu bilang kamu anaknya Tuan Ryuzaki pemilik kampus ini pun aku bakal percaya!” kelakar Ayu.
Alexa ikut tertawa meski dalam hati ketar-ketir jadinya.
“Memangnya butuh uang banget, ya? Banyak?” tanya Putri.
Alexa mengangguk, dia menarik nafas berat dan kembali memasang wajah sendu.
“Boro-boro anak orang kaya, aku ini cuma mahasiswa biasa. Boleh dibilang aku memang pindahan dari Jepang, tapi aku di sana juga karena disekolahkan majikannya ibu!” tuturnya mulai pintar mengarang cerita. Eh!
Ayu dan Putri mengangguk-angguk paham.
“Ya udah, deh. Kayaknya aku harus pergi dulu, kalau misal kalian punya kabar loker, kasih tau aku, ya!” tukas Alexa, dia tak ingin terburu-buru menarik jala yang dia sebar dan membiarkan ikannya nanti datang sendiri masuk ke dalam perangkapnya.
“Lho? Sudah mau pergi?” ujar Ayu, dia masih asyik mengobrol padahal.
Alexa tersenyum, “Iya, jangan lupa infonya!” katanya seraya beranjak.
“Eh, nomor hape kamu mana?” tahan Putri, “di tempatku sering ada loker, mana tahu itu cocok sama kamu!” tambahnya.
“Oh, iya!” Alexa menepuk jidatnya sendiri lalu tertawa, dia segera memeriksa tasnya untuk mengambil ponsel.
Tapi, sejurus kemudian dia termangu ketika tangannya hendak mengeluarkan ponselnya yang merupakan keluaran terbaru, dari salah satu merk ponsel dengan logo buah apel bekas gigitan itu.
“Mana ada mahasiswa susah pake hape mahal begini!” Pikirnya mengumpat, hampir saja!
“Zahwa?”
Alexa mengerjap lalu cepat mengulas senyum lebar.
“Maaf, hapeku masih belum diambil di konter!” katanya cengengesan.
Ayu dan Putri saling pandang karenanya.
“Oh, oke, deh!” kata Ayu tersenyum tipis, “tapi kalau kayak gitu, gimana kami kasih kabarnya?” lanjutnya mengernyit bingung.
“Apanya?” ujar Alexa.
Sejenak Ayu menoleh pada Putri lalu tertawa cekikikan.
“Ya, mana tau ‘kan tiba-tiba ada loker jadi babunya ani-ani. Jangan jadi ani-aninya, tapi jadi babunya mereka aja nggak apa-apa. Pasti mereka juga punya banyak uang buat gaji asisten pribadi, kalau gadunnya super kaya, ani-aninya pasti dimanjain habis-habisan!” celoteh Ayu, gadis itu lalu tertawa dengan kekonyolan pikirannya sendiri.
Alexa ikut tertawa merasa lucu dengan sifat ceplas-ceplos Ayu, sementara Putri hanya tersenyum dengan raut wajah kikuk.
“Aku tiap hari ngampus, ‘kan. Kita ketemu tiap hari ini!” kata Alexa.
“Iya, ya!” ujar Putri membenarkan.
“Sudah dulu ya, kalo gitu aku pergi dulu. Ada kelas!” kata Alexa buru-buru pergi sebelum ponselnya berdering tiba-tiba, bisa hancur nanti kebohongan yang dia buat.
“Bye!” seru Ayu melambai riang, dia lalu menghela nafas panjang seraya menoleh pada Putri.
“Kayaknya dia emang mahasiswa biasa dan miskin, ya. Aku pikir dia anak orang kaya yang pura-pura miskin!” celetuknya.
Putri tersenyum, “Bagus lah, dia berani ngaku jadi anak orang miskin. Kebanyakan di sini mereka ngaku-ngaku orang kaya padahal aslinya miskin!” timpalnya sarkas.
Ayu terkekeh, sama sekali tdiak terusik atau tersinggung dengan ucapan Putri.
“Untung aku biasa saja, kaya nggak, miskin juga nggak parah-parah amat!” ujarnya tertawa.
Putri hanya menggeleng melihat tingkahnya. Ketika menoleh ke arah sudut bangunan, dilihatnya Yuda berdiri di balik perdu dan melambai ke arahnya.
“Sini!” Begitu rupanya kata yang bisa dibaca dari gerakan mulutnya.
“Eh, Ayu, kayaknya aku harus pergi, deh. Duluan, ya!” katanya seraya beranjak bangun.
“Lho? Bukannya masih pusing kamu tuh!” kata Ayu kaget.
Putri tersenyum seraya menggelengkan kepalanya.
“Nggak apa-apa, cuma perih dikit. Lagian ini aku belum beli obat yang tadi resepnya dikasih dokter, aku mau beli dulu, ya. Bye!” katanya sambil melambai dan bergegas pergi meninggalkan Ayu yang mengangguk bengong jadinya.
Putri bergegas pergi ke arah berlawanan dengan Yuda tadi, dia tak bisa menemui cowok itu jika Ayu masih mengawasinya. Yuda pun mengerti, dia sendiri segera pergi menyusul Putri yang berjalan menuju parkiran.
“Put!”