PART 29 - HAMPIR KETAHUAN

1262 Kata
"Ayo bik, cepetan kita beresin … kalau tuan dan nyonya tau. Kita bisa dipecat," ucap pak Harto setelah selesai memadamkan api, dengan air. Bik Sari mengangguk, "Iya pak Harto." Bik Sari dan pak Harto berjongkok membereskan bekas pembakaran yang dilakukan Chika. Mereka harus buru-buru sebelum Daniel mengetahui benda kesayangannya di bakar, dan sebelum ayahnya Daniel tahu lapangan golfnya bekas bakar sampah. "Pak, ini mah ga bakalan bisa ilang, meskipun kita bersihin. Yang namanya abu, pasti bakalan membekas." "Pasrah ajalah bik. Kalau tuan besar nanya kenapa lapangan golfnya kayak gini, mungkin kita bisa jawabnya, kalau kita bakar sampah disini. Tapi kalau tuan Daniel yang nanya dimana benda kesayangannya. Itu yang pak Harto ga tau bik, gimana jawabnya. Ga tega kalau tuan Daniel tahu semua barang-barangnya non Davina dibakar." "Terus gimana dong, pak?" "Kita pilih-pilih aja barang non Davina yang belum hangus. Terus kita sembunyiin. Jangan sampai tuan Daniel tau." "Terus non Chika?" "Udah bi, biarin aja." "Jadi maksud pak Harto kita ga usah bilang non Chika yang bakar?" "Ga usah." "Enak di dia dong, pak?! Ga enak di kita!" protes bik Sari. "Bukan pak Harto bela dia bik, cuma untuk sekarang ini. Kita sembunyikan aja semuanya. Bapak gak mau gara-gara kita, keluarga tuan Daniel jadi benci sama non Chika." "Ah, bapak ini terlalu baik. Itu, kan memang resikonya. Siapa suruh dia jahat." "Bukan gitu Bik, non chika, kan pacarnya tuan Daniel ... kalau orang tuanya tuan Daniel tahu kelakuannya non Chika kayak gini gimana? Bisa-bisa ga direstuin. Bibi mau gara-gara kita hubungannya non Chika sama tuan Daniel rusak karena ga dapat restu?" "Terserah pak Harto aja lah. Bibi pusing. Intinya bibi masih ga terima direndahin kayak gitu." Pak Harto yang mendengar itu menghela nafas panjang. Entah ini keputusan yang baik atau tidak. Tapi intinya, pak Harto hanya ingin keadaan baik-baik saja. Meskipun ia tahu keputusan ini menguntungkan bagi Chika. Tapi ia hanya tidak ingin, keluarga Daniel marah besar, dan bertengkar. Pak Harto membela Chika mati-matian, tapi yang dibela melarikan diri, tidak mau tahu. Bik Sari dan pak Harto berbagi tugas. Pak Harto yang memungut semua abu-nya, dan memasukannya ke dalam karung. Sedangkan bik Sari mencari-cari benda yang masih selamat di bawah tumpukan abu. "Kenapa ya non Chika kejam banget sama kita?" Bik Sari memungut foto Davina yang hangus setengah bagian, menyisakan wajah Davina saja, bagian bawahnya hangus. "Udah bik, jangan di inget lagi," ucap pak Harto menggenggam abu-nya dengan telapak tangan, dan memindahkannya ke dalam karung. "Bibi tu ga suka pak sama non Chika itu. Bibi lebih suka tuan Daniel sama non Davina. Non Davina ga pernah menyakiti orang lain, iya, kan pak?!" Pak Harto yang sibuk hanya menyahut, "Iya ..." "Udah bagus sama non Davina. Tapi kenapa tuan Daniel malah milih non Chika yang kayak iblis itu," ucap bik Sari meluapkan semua isi hatinya. "Entahlah Bik. Padahal pak Harto berharap banget tuan Daniel sama non Davina berjodoh. Tapi entahlah, mungkin ga jodoh. Lagipula non Davina ga pernah keliatan lagi. Kemungkinan udah putus, bik," ucap pak Harto memungut semua abu dan memasukannya ke dalam karung. Bik Sari menghela nafas, "Padahal non Davina baik … sayang banget tuan Daniel milih perempuan seperti non Chika." Bik Sari meletakan barang-barang yang masih bisa diselamatkan ke dalam kardus. Meskipun bentuknya tak sama lagi. Hangus sebagian. Yang selamat hanya foto selfie Daniel berdua dengan Davina berseragam SMP, buku diary Daniel, dan kaus kaki lebah yang bagian bawahnya hangus. Kaus kaki lebah adalah hadiah pertama yang Davina belikan untuk Daniel, karena ia tahu Daniel tidak bisa tidur tanpa kaus kaki. Hanya Davina yang mengerti Daniel, mengerti apa maunya, dan mengerti perasaannya. Itulah kenapa, Daniel tak bisa melupakannya. Bahkan barang-barang dari Davina, masih ia simpan dan dijaga baik-baik, tanpa sepengetahuan gadis itu. "Entahlah bik, namanya juga hidup … pak Harto cuma berharap tuan Daniel berhati-hati aja sama perempuan kayak non Chika." "Hati-hati kenapa, pak?" Pak Harto menaikan bahu, "Sepertinya non Chika bukan wanita yang tepat untuk tuan Daniel. Entahlah bik, mungkin perasaan pak Harto aja." "Bibi berharap non Davina balik lagi." "Udahlah bi, kita ga usah berkomentar apapun soal percintaan tuan Daniel. Kita harus ingat, kita ini siapa? Bibi ngerasain sendirian, kan gimana perlakuan non Chika terhadap kita? Kita itu cuma orang bawahan bik. Ga berhak ngomong-ngomong apa." Bik Sari menghela nafas, "Bibi cuma ngeluarin keluh kesah aja pak, ga mau tuan Daniel kenapa-kenapa." "Udah bik. Kita lanjut aja selesaikan ini." Bik Sari mengangguk pasrah. Meskipun ia masih ingin mengeluarkan semua unek-uneknya. Tin..! "Pak Harto." Bik Sari dan pak Harto yang sedang mengarungkan abu. terkejut. Mendengar suara mobil dan sang pemilik rumah di luar pagar. "Pak, tuan Daniel pulang? Gimana nih? Ini belum selesai." ucap bik Sari panik. "Tenang. Kita bisa beresin ini nanti. Yang terpenting, bibi segera sembunyikan semuanya. Biar pak Harto yang buka pagar." "Tapi, pak. Disembunyikan dimana?" "Dimana aja bik. Pokoknya di tempat yang ga bakalan dijangkau tuan Daniel." Tin..! Bunyi klakson berbunyi lagi. "Pak Harto tinggal dulu." Pak Harto mengusap-usap tangannya yang dipenuhi abu di baju, dan di celana. Lalu berlari menuju pintu belakang yang menghubungkannya dengan dapur. "Pak!" seru bik Sari, namun pria itu telah menghilang di balik pintu, "Yah kok ditinggal." "Ini disembunyikan dimana?" ucap bik Sari menggaruk kepalanya yang tak gatal. Pak Harto berjalan cepat menuju pagar. "Buka pintunya pak." "Iya tuan Daniel." Pak Harto menggeser pagar hingga terlihat mobil mewah Mercedes-Benz hitam, milik Daniel. Daniel menancapkan gasnya setelah gerbang terbuka. Pak Harto bergeser sedikit, memberikan ruang untuk mobil masuk. Lalu menutup pintu gerbang setelah mobil masuk sempurna. Daniel keluar dari mobilnya, dan menutup pintu mobil. "Tolong parkirin pak," ucap Daniel menyerahkan kunci mobilnya ke pak Harto. Pak Harto mengangguk kecil, "Baik tuan." Daniel berjalan masuk dengan langkah terburu-buru. Pasalnya ia dikejar waktu. Dikejar waktu oleh mamanya yang akan pulang ke rumah. Kalau ia tidak buru-buru mamanya akan ngotot pulang naik taksi. Dan yang paling ia takutkan, saat mamanya pulang ada Chika di rumah. Maka dari itu, ia harus cepat membereskan Chika dari rumah ini. Saat Daniel menginjakan kakinya di anak tangga pertama, netra matanya melihat bik Sari yang kebingungan sambil membawa kardus. "Kardus apa tu, bik?" Bik Sari yang mengenali suara ini, terkejut. "Aduh, kok bisa ketahuan," ucap bik Sari dalam hati. Daniel yang melihat bik Sari hanya diam saja, kembali menegur, "Bik." "Oh iya," Bik Sari tersadar. Ia memperhatikan Daniel dari kejauhan. Jarak mereka 1 meter dari tempat berdiri. "Itu kardus apa?" "Ngh- kardus ... kardus-" ucap bik Sari terbata-bata. Memutar otaknya mencari alasan yang pas. "Kardus apa bik? Kok bibi bingung gitu?" "Ngh ... bukan kardus apa-apa, tuan Daniel. Cuma paket aja." Daniel menaikan satu alisnya, "Paket? Paket apa?" "Paket buat anak bibi di kampung." "Ooh, bibi mau ngirim barang?" Bik Sari menelan ludahnya susah payah, keringat dingin mengucur di pelipisnya, "Iya." Ini pertama kalinya ia berbohong pada Daniel. "Ooh ... kok bibi mau ngirim barang ga bilang Daniel dulu? Kalau Daniel tahu bibi mau ngirim barang. Daniel pasti beliin banyak barang-barang buat Sesya." Sesya = anaknya Bik Sari yang masih SMP. "Nghh- i-i-ya tuan Daniel. Bibi ga mau ngerepotin." "Bibi ngerepotin apa si? Bibi sama pak Harto, kan udah bagian dari keluarga ini. Ngurusin Daniel dari kecil juga. Kalau ada apa-apa bilang sama Daniel." "I-iya tuan Daniel makasih." Entah kenapa bik Sari merasa bersalah, membohongi Daniel yang baik padanya. "Yaudah Bik, Daniel ke atas dulu ya. Sampaikan salam Daniel buat Sesya." Bik Sari mengangguk, "Iya tuan Daniel." Daniel tersenyum, lalu melangkah ke atas. Bik Sari hanya bisa mematung, menatap punggung Daniel yang kian menjauh. "Hah," Bik Sari menghela nafas lega. Di satu sisi ia merasa bersalah, tapi di satu sisi ia merasa lega. Daniel tidak curiga pada isi kardusnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN