PART 28 - HAMPIR

1068 Kata
"Kamu darimana aja sih? Mama telponin dari tadi ga aktif-aktif?" Daniel yang baru bangun, mendapatkan telepon dari ibunya, menghela malas. Bukan malas menghadapi ibunya, tapi malas dengan keadaan yang semrawut. Apalagi dengan kedatangan Chika ke rumahnya, membuat otaknya makin pusing, dan sulit tidur, hingga muncul lingkaran hitam di bawah matanya. Sebenarnya Daniel berkomitmen akan terus tinggal di apartemen, dan tidak akan pulang sebelum gadis itu angkat kaki dari rumahnya. Daniel membenarkan posisi tidurnya menjadi telentang. "Kenapa ma?" ucap Daniel serak, suara baru bangun tidur. "Kamu baru bangun?" "Hmm," ucap Daniel memejamkan mata. "Loh? Kata bik Sari sama pak Harto kamu lagi di luar?" Seketika Daniel terduduk, mengernyitkan dahi, bingung, "Diluar?" "Iya … tadi pagi mama nelpon ke telepon rumah, mau minta jemput kamu. Tapi yang ngangkat bik Sari, kata bik Sari kamu lagi ga ada di rumah." "Minta jemput Daniel? Jemput kemana? Mama aja lagi di Singapur." "Mama udah di Indonesia." Daniel melebarkan matanya, terkejut, "Ha?! Di Indonesia?! Kok mama ga ngomong-ngomong dulu sih? Ga ada konfirmasi dulu ke Daniel?" "Loh, emangnya kenapa kalau mama pulang? Itu, kan rumah Mama. Jadi Mama bebas mau balik kapan aja." "Iya sih, tapi seengganya mama ngomong dulu dong ..." "Lah, kok jadi kamu yang pusing mama ke Indonesia. Udah ga usah banyak omong. Jemput mama cepetan. Mama udah nunggu 30 menit tau ga. Sampe lumutan ni kaki." "Jemput mama di bandara. Titik. Ga pake koma." Daniel melihat jam di sebelahnya, pukul 11 pagi. Daniel mengacak-acak rambutnya frustasi, bisa kacau kalau mamanya bertemu dengan Chika di rumah. Lebih kacau lagi, kalau Chika berbicara yang tidak-tidak. "Bandara? Maksud mama bandara apa?" ucap Daniel memastikan. "Soekarno Hatta. Cepetan jemput mama. 5 menit lagi ga sampe sini. Mama naik taksi beneran." "Gawat," ucap Daniel tanpa sadar. Mengacak-acak rambutnya. "Gawat apa Daniel? Cepetan, kamu mau jemputan ga? Kalau ga mau jemput, ya udah mama dijemput pak Harto aja. Atau ga naik taksi." Tut Tut Tut Sambungan tiba-tiba terputus. Lisa mematikan ponselnya sepihak. "Ini ga bisa dibiarin. Ga bisa. Bisa kacau entar kalau mama ketemu Chika di rumah." Daniel melempar ponselnya ke atas springbed, dan bergegas menuju kamar mandi. ***** "Dion dion, Sena udah hafal 5 huruf abjad dong," ucap Sena bangga. Gadis itu tersenyum gembira, memperlihatkan puppy eyes nya yang imut. "Oh ya?" Dion yang duduk bersandar di punggung ranjang, terlihat sangat senang, "Coba, aku mau denger," ucapnya antusias. "A be ce de e …" Dion tersenyum, "terus?" "Terus apa lagi ya? Sena hafalnya baru lima." Dion mengusap-usap rambut Sena, "Tandanya Sena udah pinter." Sena menggeleng, "Belum, Sena belum pinter, kan Sena baru hafal 5, belum hafal semuanya, terus Sena belum bisa baca, dan belum bisa ngitung juga." "Emm … gimana kalau Dion ngajarin Sena?" Sena mengangguk semangat, "Mau mau!" Seutas senyuman merekah di bibirnya. "Bentar ya." Dion mengangguk, memperhatikan gadis itu yang mulai menjauh. Dion memperhatikan punggung Sena yang ramping dari belakang, terlihat gadis itu meraih tas hello kitty-nya di atas sofa. Jika bertanya kemana Mario. Mario izin pergi ke kampus. Sebelum Mario pergi ke kampus. Ia sebelumnya pergi ke apartemen Dion mengambil barang-barang Dion dan Sena. Seperti perlengkapan baju ganti, dan tas sekolah Sena yang berisi buku tulis, dan peralatan sekolah. Karena siang ini, Dion sudah dipindahkan ke ruang perawatan VIP. Jadi Mario mengambil barang-barang. Tentu saja, setelah Dion mengatakan password apartemennya. Mario membawa barang-barang mereka, sekaligus membelikan makanan untuk Sena. Karena kemungkinan ia akan pulang sore. Dan akan membesuk Dion abis isya. Itulah pesan-pesan Mario sebelum pamit. Sena melangkahkan kakinya mendekati ranjang Dion, dan duduk di kursi samping ranjang. Sena meletakan tas hello Kitty pink di atas ranjang Dion, dan mengeluarkan buku paket, buku tulis, pensil, serutan, dan penghapus. "Coba Dion liat belajar Sena kayak gimana?" Sena membuka buku paket halaman 25. "Ini Sena belajarnya udah sampe sini. Belajar nulis kalimat." "Ini meja," Sena menunjuk gambar meja, dan tulisan arsir yang ia tebalkan. "Ini kursi," Sena menunjuk kursi. "Ini lantai," ucap Sena menunjuk lantai. Dion memperhatikan seksama. Gadis itu menunjukan perkembangan signifikan. Dion mengelus-elus rambut gadis itu. Entah kenapa rambut Sena selalu jadi objek favoritnya. "Coba Dion liat." Dion mengambil buku Sena, dan melihat hasil karya Sena. Menebalkan tulisan. Tulisan Sena cukup bagus, meskipun ada beberapa yang masih keluar garis. "Bagus gak Dion?" ucap Sena menunggu penilaian. Dion tersenyum, "Bagus ... tapi emang ini udah diajarin guru Mira?" Sena menggeleng, "Belum. PR Sena udah selesai. Terus karena Sena bosen, jadi Sena belajar halaman yang lain." Dion tersenyum, "Gapapa. Tandanya Sena mau jadi orang pinter." Sena tepuk tangan senang, "Kan Sena mau jadi relawan dokter." "Sini duduk samping Dion," ucap Dion menepuk-nepuk sisi sebelahnya. Dion sedikit menggeserkan badannya untuk Sena. "Tapi emangnya Sena boleh duduk di kasur? Dokternya ga marah?" ucapnya polos. "Gak, siapa yang berani marahin Sena. Kasurnya luas kok." "Oke kalau gitu," Sena mengangguk senang, lalu melepaskan sandalnya dan naik ke atas ranjang. Duduk di samping Dion. "Nih, kalau Sena mau pintar menulis atau membaca. Sena harus bisa bagian dasarnya dulu. Ibaratnya, kalau Sena mau bangun rumah, ga mungkin Sena bangun atapnya dulu. Pasti Sena akan bangun pondasinya. Jadi Sena harus belajar pondasinya dulu, yaitu huruf abjad," ucap Dion menatap Sena dari jarak dekat. "Tapi Sena baru hafalnya 5 huruf," jawab Sena menatap mata Dion. "Sena, kan udah hafal 5 huruf. Coba Dion mau liat Sena nulis hurufnya, tanpa bantuan penebal tulisan." "Itu Sena udah bisa Dion." "Coba." Sena meraih buku tulis, pensil, dan penghapus yang terletak di samping Dion. "Nih Dion Sena unjukin ..." Sena membuka buku tulisnya. Dion mendekatkan tubuhnya, hingga kepala mereka saling bersentuhan. "Ini huruf A," Sena menuliskan hurufnya dengan pensil. Meskipun huruf A yang dibuat Sena masih miring-miring, dan berantakan. "Ini B," Sena kembali menuliskannya. "Ini C." Dion mendekatkan hidungnya di puncak kepala Sena. Entah kenapa dengan posisinya yang sedekat ini, membuatnya tidak fokus. "Sena kamu wangi banget ... pakai sampo apa?" Dion diam-diam menggeserkan tubuhnya di belakang punggung Sena. Mengendus rambut Sena yang memabukan di indera penciumannya. Entah kenapa wanginya sangat enak. Ia tak bisa berhenti menciumnya. Sena yang fokus menulis huruf D, tak memalingkan wajahnya, "Pake sampo stroberi yang Dion beliin buat Sena." "Tapi kenapa se-wangi ini?" "Dion Sena udah selesai," ucap Sena tak menjawab pertanyaan Dion. Fokusnya terhenti di kelima huruf yang ia hafal telah ditulis berderetan. Sena memalingkan wajahnya ke belakang, namun hidung mereka tak sengaja saling bertabrakan. Dan bibir mereka hampir mendekat. "Upp," ucap mereka kaget. Sena dan Dion menutup mulutnya, terkejut. Hampir satu sentimeter lagi akan menjadi ciuman ketiga mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN