Daniel menghentikan langkahnya di depan pintu kamarnya yang tertutup. Ia menghela nafas panjang. Sejujurnya kamar adalah tempat favoritnya, tapi sekarang mau buka pintu saja rasanya sangat malas semenjak Chika menempati kamarnya.
Rasanya berat untuk masuk, tapi tidak ada waktu lagi mementingkan ego. Daniel menghembuskan nafas berat, lalu membuka pintu yang tidak terkunci.
Saat membuka pintu, terlihat Chika sedang menyisir rambutnya yang basah di depan cermin. Seperti habis mandi. Entahlah apakah gadis itu baru mandi, atau habis berenang di kolam berenangnya. Ia tak peduli.
Chika yang melihat Daniel dari pantulan cermin menoleh ke belakang, "Daniel," ucapnya senang.
Daniel memijat pelipisnya, pusing.
Chika meletakan sisir di atas meja, dan berlarian menuju Daniel yang berdiri di ambang pintu.
"Daniel-" Chika lari berhamburan ke pelukan pria itu, dan memeluk pinggangnya erat, "Aku kangen kamu."
Chika menyandarkan kepalanya di d*da Daniel yang bidang, "Kenapa kamu ga pulang?"
Daniel menghela berat, "Udah cukup, Chik. Aku lagi ga mau berargumen."
Chika mengeratkan pelukannya, "Kamu kok gitu sih jawabnya. Aku bergadang semalaman, nungguin kamu."
"Chik, please. Aku capek."
Chika melepaskan pelukannya. Melipat lengannya di depan d*da, "Kenapa sih kamu perlakuin aku kayak gitu?"
"Hah," Daniel menghela panjang.
"Udah cukup ya. Aku benar-benar lagi ga mau berdebat, Chika."
"Gimana sih caranya supaya kamu suka sama aku? Aku udah ngelakuin semua cara Daniel. Tapi kenapa kamu ga bisa buka hati kamu sedikit buat aku?!"
"Chik ... aku lagi ga mau bahas soal itu. Mendingan sekarang kamu beresin semua barang-barang kamu."
"Kamu ngusir aku?" protes Chika tidak percaya.
Daniel lagi-lagi menghela nafas, mencoba mengontrol emosinya. Jujur, ia lelah dengan keadaan toxic seperti ini. Mood nya selalu turun, dan sulit untuk menemukan kebahagiaan.
"Aku ga ngusir kamu. Kita hanya pindah sementara."
"Pindah kemana?"
"Ke apartemen aku."
"Gak mau!" tolak Chika mentah-mentah.
"Kamu mau ngapain aja di apartemen aku terserah. Tapi jangan di rumahku."
Chika terdiam.
Daniel meraih tangan mungil itu, menggenggamnya erat, dan menatap mata Chika dalam, "Tolonglah Chik ..." ucapnya dengan nada memohon.
"Sekali ini aja ... kamu ngalah."
Chika menatap Daniel yang berbicara serius padanya. Memohon padanya dengan suatu harapan. Ini pertama kalinya Daniel berbicara seperti ini padanya.
Bisakah Daniel memperlakukannya seperti ini untuk yang kedua kali, dan seterusnya? Dengan tatapan hangat, dan nada yang lembut.
*****
Sena menutup wajahnya dengan buku, "Ma-maaf Dion, Sena ga sengaja," ucap Sena malu. Padahal ia 2 kali mencium Dion, tidak ada perasaan malu sama sekali. Tapi kenapa yang ini rasanya malu sekali. Bahkan pipinya semerah cherry.
Apakah ini ada hubungannya dengan suasana hati? Ehm- ciuman pertama dan keduanya saat Sena merasa senang. Tapi yang ketiga, adalah ketidaksengajaan. Ya meskipun yang ketiga, hanya hidung mereka yang bersentuhan. Tapi tetap saja. Jantung mereka rasanya mau copot. Dan suasana mendadak canggung.
Dion menoleh ke arah lain, "I-i-ya gapapa kok."
"Apa kita duduknya kedekatan ya?" ucap Sena masih menutup wajahnya dengan buku. Perlahan-lahan ia bergeser ke kiri, sedikit menjauh. Sehingga bahu mereka tak lagi bersentuhan.
Seketika suasana menjadi hening. Mereka berkutat dengan pikirannya masing-masing. Sampai akhirnya Dion buka suara.
"Sena."
"Iya?"
"Apa kamu serius sama yang kamu ucapkan tadi?"
"Ucapan ... yang mana?"
Dion membalikan badan Sena sehingga berhadapan dengannya. Dion menatap mata jernih Sena seperti air. Tangannya menangkup pipi imut Sena.
"Ucapan yang kamu bilang saat aku hampir sadar."
Sena memutus tatapan mereka, dan melihat ke arah lain. Ke mana saja, asalkan tidak bertatapan dengan Dion. Jantungnya seakan ingin meloncat, bertatapan dengan jarak dekat seperti ini. Sena meremat seprai ranjang, dan menggigit bibir bawahnya.
"Apa kamu ingat ucapan yang kamu bilang?"
Sena menelan ludahnya, "Ucapan- ucapan apa?"
"Ucapan kamu sayang aku."
Sontak Sena menaikan wajahnya, menatap mata cokelat karamel itu, "Dion denger?" ucapnya terkejut.
"Apa ucapan itu serius?"
Jantung Sena semakin berdetak tak karuan.
"I-iya ... tapi, kan-" Sena menundukkan wajahnya.
"Tapi, kan apa?"
"Tapi, kan Dion ga sayang Sena."
*****
Daniel membuka pintu apartemennya, membawa barang-barang Chika masuk, diikuti Chika yang mengekorinya dari belakang.
Chika melangkah perlahan, menikmati setiap sudut keindahan apartemen Daniel yang rapi.
"Kamu punya apartemen? Aku baru tau.""
"Aku baru beli kemarin."
Daniel meletakan barang-barang Chika masuk ke salah satu kamar.
Chika mendaratkan bok*ngnya di atas sofa. Mengedarkan pandangannya ke ruangan serba putih. Ya cukup dimaklumi, Daniel pecinta putih. Bahkan kamarnya, penuh warna putih.
Satu hal yang Chika suka dari apartemen Daniel. Tidak ada bayang-bayang Davina disini. Tidak ada foto Davina yang terpajang. Ia berharap, suatu hari nanti fotonya lah yang akan dipajang Daniel.
Daniel keluar dari kamar, lalu menggulung lengan kemejanya sampai siku, "Kamar aku disini, kamu di samping."
Chika tersenyum senang, "Iya."
"Ya udah kalau gitu, aku pergi dulu."
Chika berdiri dari duduknya, "Kamu mau kemana?" ucap Chika menghentikan Daniel yang berdiri dekat pintu. Chika menatap punggung lebar Daniel dari jauh.
"Ada urusan."
"Apa kamu nanti pulang?"
Daniel menghela nafas berat, "Belum tau."
"Kamu ninggalin aku sendirian?!"
Daniel balik badan, menatap gadis itu dari jauh, "Chik, aku ada urusan sebentar."
"Iya aku tau! Tapi kamu nyuruh aku pindah ke apartemen cuma buat buang aku doang? Aku cuma mau bersama sama kamu, Daniel. Ga mau apa-apa."
Lagi-lagi Daniel hanya bisa menghela nafas. Chika selalu berbicara dengan nada yang membuatnya moodnya turun.
"Chika, aku juga punya kehidupan. Aku ga bisa 24 jam sama kamu terus. Ada urusan yang aku selesaikan."
"Urusan apa?!"
"Chik, aku bosen kita berantem terus. Aku ngasih apartemen ini buat kamu, terserah mau kamu apain aja."
"Aku ga mau apartemen, aku cuma mau kamu. Aku cuma mau kamu bersama sama aku dan sayang sama aku. Itu aja."
Daniel menghela nafas berat, ia berbalik badan melanjutkan langkahnya menuju pintu, "Aku pergi dulu, Chik."
Bam..!
Pintu apartemen tertutup.
"Daniel!" panggil Chika berlari ke arah pintu.
"Daniel!"
Chika membuka pintunya lebar-lebar, namun pria itu telah menghilang. Chika menutup pintunya dengan rasa kecewa, dan menyandarkan punggungnya di pintu.
"Aku hanya benci punyaku di ambil," ucap Chika lemah. Lalu duduk bersandar di pintu, wajahnya yang biasanya terlihat kuat, kini melemah. Ia kembali mengingat kenangan-kenangan lama. Dimana ia dan Davina adalah sahabat baik. Ia menyukai Daniel bertahun-tahun lamanya, ia juga berteman dengan Daniel sebelum Daniel mengenal Davina.
Sampai akhirnya mereka masuk di SMP yang sama. Rasa Chika masih ada untuk Daniel, bahkan semakin kuat. Chika selalu menyembunyikan perasaannya pada siapapun, termasuk pada Davina. Ia tak pernah menceritakan pada Davina bahwa ia menyukai Daniel sejak lama. Dan juga ia tak pernah bilang pada Daniel ia menyukainya.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Mereka selalu bermain bersama, seperti tiga serangkai. Sampai akhirnya, hati Chika hancur berantakan, Daniel dan Davina mengumumkan mereka berpacaran. Dan mereka selalu curhat pada Chika tentang perasaan cinta mereka.
Hatinya hancur berkeping-keping, berikut harapannya. Entahlah. Apakah ini karena kesalahannya tak pernah berterus terang pada Davina siapa pria yang disukainya. Mungkin jika ia bilang pada Davina hari itu, mungkin akhirnya tidak akan seperti ini. Dan mungkin juga Davina tidak akan pernah menerima Daniel, dan mengkhianati sahabatnya sendiri. Tapi nasi sudah menjadi bubur, tidak ada cara untuk menghilangkan masa lalu. Yang ada hanyalah menghentikan dendam, dan berdamai dengan masa lalu.