PART 27 - MEMBUANG KENANGAN DAVINA

1213 Kata
"Pak Harto, nyonya Lisa nelpon katanya mau bicara sama tuan Daniel." Pak Harto yang sedang menyiram tanaman, tersentak. Ia menoleh, menatap pembantu paruh baya. Bik Sari. Yang berdiri di sebelahnya membawa telepon nirkabel. "Aduh," pak Harto menepuk jidatnya, "Tuan Daniel nya ga ada. Kemarin malem keluar. Sampai sekarang belum pulang," bisik pak Harto pelan. Bik Sari menjauhkan gagang teleponnya, "Hah? Tuan Daniel ngapain?" tanya Sari ikutan berbisik. "Ga tau … mungkin gara-gara ada non Chika disini. Jangan bilang ke nyonya ada non Chika." "Oke … terus Sari bilangnya apa dong ke nyonya?" bisik bik Sari. "Halo bik Sari .. masih disitu, kan?" Suara panggilan dari dalam telepon membuat bik Sari panik. "Danielnya ada, kan? Saya mau ngomong sama dia." "Bilang apa aja, yang penting nyonya jangan sampai tau ada non Chika. Nanti urusannya bisa berabe." "Oke." Sari mengangguk setuju, lalu mendekatkan kembali gagang telepon ke telinganya, "Halo nyonya … tuan Daniel nya ga ada, barusan keluar." "Kemana Daniel?" "Kalau itu bibi juga kurang tau nyonya … tuan Daniel ga ngomong apa-apa. Mungkin ke tempat kuliahnya. "Oh gitu. Tolong sampaikan ke Daniel saya akan terbang ke Indonesia hari ini." Duar..! Mereka terkejut bak disambar petir. Bik Sari dan Pak Harto saling bertatapan. "Halo bik Sari …" "Eh-i-i-ya nyonya." "Tolong sampaikan ke Daniel ya. Bilang ke Daniel jemput saya di bandara. Saya lagi packing barang-barang." "Ba-baik nyonya." Tut Tut Tut. Sambungan terputus. "Aduh gimana ni pak Harto?" tanya bik Sari panik. "Saya juga bingung, bik. Gimana ya caranya menyembunyikan non Chika." ***** Chika melempar sebuah kardus di pekarangan belakang. Barang-barang yang berisi semua kenangan Davina dan Daniel jatuh berserakan di rerumputan. Album foto Davina dan Daniel yang berpacaran dari SMP hingga dewasa. Hadiah-hadiah yang diberikan Davina, lukisan arsir wajah Davina yang Daniel lukis semalam, buku diary Daniel yang menceritakan kisahnya tentang Davina. Bingkai foto, Chika membuang itu semua, tanpa persetujuan pria itu. Tidak - bukan tanpa persetujuan. Tapi pria itu tidak tahu sama sekali. "Selamat tinggal kisah Daniel dan Davina. Semua kenangan kalian akan terkubur mati." Chika menyiramkan satu dirigen minyak tanah, dan menyalakan pemantiknya. Ia menatap api dengan perasaan gembira. Karena hari ini, tidak ada lagi kenangan yang tersisa antara pria itu dengan Davina. Chika mengambil salah satu foto Davina dan Daniel saat SMP. Foto itu pertama kali diambil saat mereka pertama kali pacaran. Chika mendekatkan api ke ujung foto. Membiarkan api menyala-nyala di atas foto. Perlahan-lahan foto itu terbakar, dan Chika membuang fotonya ke bawah. Membiarkan benda-benda lainnya terbakar. ***** "Bik nyium bau sesuatu ga?" Bik Sari mengendus-endus wangi yang menyengat, sumbernya dari belakang rumah, "Iya, kayak bau-bau terbakar gitu." "Bibi bakar sampah?" Bik Sari menggeleng cepat, "Pak Harto gimana si, kita mana pernah bakar sampah. Sampah kita, kan diangkut." Pak Harto menepuk dahinya, "Oh iya-" "Terus ini bau apa dong?" lanjut pak Harto. "Jangan-jangan kabel konslet?" "Waduh ... ga bisa dibiarin ini, bisa-bisa kebakaran." "Yok pak buruan dicek. Aduh bibi jadi takut." "Yok!" Pak Harto mematikan keran air, dan meninggalkan paralon-nya di tanah. Bik Sari dan Pak Harto lari terbirit-b***t ke dalam rumah. Mereka berlari menuju ruang tamu, menuju sumber kabel listrik. Pak Harto memerhatikan kabel listrik yang terpasang di stop kontak. "Ga kenapa-kenapa kabelnya, bi. Ga ada yang putus atau robek." Bik Sari mengangguk setuju, "Iya pak, kalau dicium-" bik Sari mendekatkan hidung di sumber kabel, mengendus-endus, "Ga ada bau apa-apa." "Mungkin bukan disini bi, di tempat lain." "Dicek semua aja pak." Pak Harto mengangguk setuju. Mereka berlari mengelilingi rumah, menuju sumber listrik, dan stop kontak. Dimulai dari ruang tamu, ruang keluarga, setiap kamar, dapur, bahkan sampai kamar mandi. Mereka menghentikan langkahnya di depan wastafel cuci piring. "Ga ada kabel terbakar bi. Tetangga sebelah kali bakar sampah." "Ya ga mungkin lah pak. Rumah kita, kan komplek. Sampahnya dibayar iuran. Pak Harto gimana si ..." "Oh iya ya ..." "Kalau di dalam ga ada, mungkin di luar." Mereka melangkahkan menuju pintu belakang yang terletak di dapur. Pintu belakang menghubungkan taman dan pekarangan belakang. Namun saat sampai di pekarangan belakang, mereka terbatuk-batuk dengan asap yang membumbung tinggi. "Bi siapa yang bakar sampah disini?" "Bibi gatau pak Harto. Bukan bibi yang bakar." Mereka melangkahkan kakinya menuju sumber api. Asap hitam mengepul di udara. Dari kejauhan mereka melihat seseorang yang berdiri membelakangi mereka. Satu meter dari sumber api. "Pak, bukannya itu tamu nya tuan Daniel ya? Siapa namanya ci ci ci- cipmunk?" "Chika." "Iya itu. Ngapain dia disitu?" "Jangan-jangan dia yang bakar sampah," jawab pak Harto mengira-ngira. Bik Sari menepuk jidatnya panik, "Waduh pak, kalau nyonya sama tuan besar tau. Pekarangan belakangnya ada bekas pembakaran sampah abis kita. Ini, kan tempat tuan besar main golf." "Waduh ... ngapain sih non Chika nyusahin terus." "Dahlah, kita kesana aja." Mereka berjalan serempak mendekati Chika yang meresahkan. "Ya ampun non ... " ucap pak Harto. Chika yang berdiri membelakangi mereka, balik badan. Menatap mereka berdua. "Kenapa non Chika bakar sampah disini? Bisa abis kita berdua dimarahin sama bos. Ini tempat lapangan golf-nya tuan besar," ucap pak Harto memelas, mau marah tidak bisa. "Oh." "Oh doang? Non ... non ini kan tamu. Jangan seenaknya begitu di rumah orang," ucap bik Sari yang mulai kesal. "Orang? Gue itu pacarnya Daniel. Apapun yang gue lakuin di rumah ini. Bukan urusan kalian, suka-suka gue lah mau ngapain aja. Udah tua masih aje ngurusin urusan orang." "Non boleh ngelakuin apa aja disini. Tapi jangan seenaknya dan menyusahkan orang lain," jawab bik Sari. "Lu tuh cuma orang bawah. Digaji. Ngerti gak? Di-ga-ji, ga pantes lu nasihatin pacar majikan." "Ya ampun neng. Ga pantes neng ngomong gitu sama saya. Biarpun saya bawahan, tapi saya lebih tua dari neng. Kalau neng tidak bisa menghargai pekerjaan saya, atau status saya. Setidaknya neng harus menghargai saya sebagai orang yang lebih tua." "Udahlah lu diem aja. Liat aja, kalau gue jadi istrinya Daniel. Gue pecat lu berdua." Pandangan pak Harto menurun, menatap tumpukan sampah. Pemandangan di depannya, membuatnya mengernyitkan dahi. Bahkan ia mengabaikan perdebatan antara Chika dan bik Sari. Ia menatap aneh tumpukan sampah yang terbakar sebagian. Sebagian yang lain telah menjadi abu. Pak Harto mengambil sebuah foto yang terbakar sebagian. Foto dalam posisi tertelungkup. Pak Harto membalikan fotonya. Ia melebarkan mulutnya, tak percaya. "Non, non bakar foto neng Davina?" ucap pak Harto dengan suara bergetar. Bik Sari yang tadinya berdebat menasihati Chika, terkejut, "Apa?" Chika melipatkan lengannya di depan d*da, menatap angkuh, "Iya kenapa?" "Kenapa non bakar? Ini foto yang berharga bagi tuan Daniel. Siapapun tidak boleh menyentuh barang-barangnya yang berhubungan dengan neng Davina. Apalagi kalau non membakarnya. Tuan Daniel bisa marah besar." "Dion harus banyak makan buah, biar cepat sembuh." "Ya ampun Sena aku udah kenyang," tolak Dion yang bersandar di bahu ranjang. Sena yang sedang menyuapkan apel, mengerucutkan bibirnya. "Dion ... satu lagi," ucap Sena tak menyerah. "Kamu udah suapin aku tiga apel loh," protes Dion menunjukkan jari tengah, jari manis dan jari kelingkingnya. "Aaaa Dion ayo satu lagi." Kegiatan mereka tak luput dari orang yang memandangi mereka malas dari atas sofa. "Eleh eleh, mesra banget pengantin baru." Sena yang mendengar itu tersipu malu, menundukan wajahnya. Berbeda dengan sang korban yang dituduhkan, memasang reaksi protes. "Iri bilang bos ..." "Udah yayang Sena, Dion mah gitu ga tau diri, disuapin pura-pura ga mau. Padahal aslinya mau. Udah suapin aa Mario aja. Perut aa masih banyak nih buat nampung suapan dari yayang Sena." "Yeee modus!" Protes Dion.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN