PART 26 - SENA SAYANG DION

1014 Kata
"Loh neng? Kok malam-malam banget kesini?" ucap pak Harto setelah membuka pintu gerbang. Terlihat Chika membawa satu koper di tangannya. "Emangnya kenapa? Saya, kan pacarnya Daniel, jadi saya berhak dong datang kapan aja." Pak Harto menggaruk telinganya yang tak gatal, "Iya sih neng, tapi kan sekarang jam setengah 12 malam. Ga baik malam-malam bertamu ke rumah orang, apalagi neng cewek. Apa kata orang kalau cewek bertamu ke rumah cowok tengah malam begini." "Udahlah pak ga usah ceramah. Bawain aja koper saya," ucap Chika angkuh langsung melesat masuk, meninggalkan pak Harto. Namun selang beberapa langkah, Chika berhenti. Menoleh ke belakang, menatap pria paruh baya itu. "Oya satu lagi, bapak jangan ngajarin saya. Saya ini pacarnya majikan yang menggaji bapak. Jadi orang seperti bapak ga berhak ngatur-ngatur hidup saya. Ngerti, kan?" "Udah cepet, bawain koper saya. Ga pake lama," ucap Chika melesat pergi. Pak Harto yang mendengar itu, menghela nafas. Chika dan Davina seperti dua orang yang berbeda. Pak Harto yang kerja puluhan tahun di rumah keluarga Daniel, baru kali ini melihat Daniel mendapatkan kekasih yang seperti itu. Berani menginjak-injak orang di bawahnya. Di rumah mewah Daniel, hanya tinggal Daniel seorang. Orang tuanya lama di luar negeri sejak Daniel masih SMP. Sibuk mengurusi bisnis. Dan jarang pulang. Hanya pak Harto, dan satu orang pembantu lah, yang menemani hari-hari Daniel. Mereka sudah Daniel anggap seperti keluarga. Pak Harto yang menerima perlakuan itu hanya bisa mengelus d*da. Ia tak pernah sekalipun mendapatkan perlakuan kasar dari keluarga Daniel. Namun Chika yang notabenenya orang lain, memperlakukannya seperti itu. Pak Harto menghela nafas panjang, menutup gerbang. Dan membawa koper Chika masuk rumah. Chika menapaki satu persatu anak tangga. Interior rumah Daniel sangat mewah, bergaya Eropa. Modern klasik namun tidak berlebihan. Chika sampai di depan pintu kamar Daniel. Ia membuka pintu kamar tanpa mengetuk terlebih dahulu. "Kamu belum tidur?" Daniel yang sedang melukis arsir wajah Davina dengan pensil, menoleh. "Kamu!" ucap Daniel terkejut menatap seorang wanita yang berdiri di ambang pintu. Daniel menutup buku gambarnya, melangkah mendekat dengan perasaan marah. "Kamu ngapain malam-malam kesini? Ga izin dulu masuk kamar!" "Emang kenapa? Kan aku pacar kamu. Jadi berhak dong aku dateng kapan aja," ucap Chika santai lalu berjalan masuk. Dan duduk di atas spring bed Daniel yang empuk. Ia menatap sekeliling kamar Daniel yang sangat rapi. Bahkan wangi di kamar Daniel begitu khas, wangi Woody. "Kita ga pernah pacaran. Kamu ngerti ga sih!" Chika masih tetap santai dengan gayanya, tak peduli Daniel se-marah apa, "Bukannya kemarin-kemarin kita kencan di pantai Ancol, hmmm?" Daniel menarik nafas dalam, menahan kesal. "Itu kamu yang maksa. Bukan aku." "Terus kenapa? Yaudah kan. Intinya kita kencan." "Kamu kok jadi seenaknya gini?" "Aku cuma menuntut hak aku," Chika melipatkan lengannya di depan d*da. "Hak apa?!" "Hak miliki kamu." "Chika! Kamu gila ya!" "Aku gila karena kamu, kamu gila karena Davina. Impas, kan? Kita sama-sama gila. Tapi yang pasti kamu dan Davina ga akan pernah bersatu." "KELUAR!" "Kenapa? Omongan aku bener, kan?" "Davina itu cuma masa lalu. Aku masa depan kamu. Buang aja w***********g kayak gitu." "KELUAR AKU BILANG." Kemarahan Daniel memuncak. Wanita di depannya, terus bersikap santai seolah kemarahan Daniel main-main. "Permisi tuan Daniel, maaf mengganggu." Daniel menatap pak Harto di ambang pintu. "Kopernya mau ditaruh mana ya?" "Oh taruh aja sana aja pak." Chika menunjuk samping pintu kamar Daniel. "Mulai hari ini aku tinggal disini." Daniel mengepalkan tangannya, menahan amarah yang menumpuk. Ia cukup bersabar dengan tingkah Chika yang selalu bersikap semaunya. Pak Harto masuk meletakan koper itu di balik pintu. "Kalau begitu saya permisi dulu, tuan, neng," pamit pak Harto lalu menghilang. "Aku udah cukup sabar ya Chika. Sekarang kamu keluar dari kamar aku. Keluar!" "Gak mau. Aku ga akan ngebiarin kamu mikirin Davina walaupun sedetik." Chika menyilangkan kakinya, dan mengambil sirup merah di atas meja milik Daniel. Menyesap sirup itu hingga habis, dan meletakannya kembali ke atas meja. "Dengan adanya aku disini. Aku bisa memantau kamu 24 jam, tanpa bayang-bayang Davina." "Gila kamu Chika. Psycho!!" Daniel keluar dari kamarnya dengan perasaan marah, dan membanting pintu kamarnya keras. Ia benar-benar marah, kenapa hidupnya harus berakhir seperti ini. Chika seperti mengikatnya kuat dengan tali, hingga ia tak punya sedikitpun ruang untuk dirinya sendiri. Dipantau 24 jam, seperti kamera CCTV. "Tuan, tuan Daniel mau kemana?" Pak Harto yang melihat Daniel turun dari tangga dengan raut wajah tidak mengenakan, merasa cemas. Pasalnya ia tak pernah melihat Daniel se-marah itu. Daniel adalah orang yang lembut dan ramah pada siapapun. Daniel tak menjawab. Ia berjalan cepat tanpa menghiraukan panggilan pak Harto. "Tuan Daniel mau kemana? Ini sudah tengah malam." Daniel melangkahkan kakinya menuju parkiran mobil, dan membuka pintu gerbang lebar-lebar. Pak Harto terus mengejar Daniel dengan langkah tertatih. Pasalnya ini sudah terlalu larut malam. Bagaimana jika terjadi kejahatan. Daniel masuk ke dalam mobil, tak menghiraukan perkataan pak Harto. "Tuan, tuan Daniel." Pak Harto mengetuk-ngetuk jendela mobil, namun tak ada jawaban. Daniel menancapkan gasnya, meninggalkan pak Harto sendirian. Ia butuh waktu untuk sendiri. Ia tak akan pulang sebelum Chika keluar dari rumahnya "Davina, aku butuh kamu." ***** Sinar mentari menyusup dari celah-celah gorden. Seorang pria yang tengah terbaring lemah, perlahan-lahan mulai menunjukan kesadarannya. Jari-jarinya perlahan bergerak. Sena yang tertidur, sambil menggenggam tangan Dion. Perlahan-lahan terbangun, setelah merasa ada sesuatu yang bergerak dalam genggamannya. "Nggh ... Dion?" gumam Sena mengangkat kepalanya. Sena mengucek matanya yang masih mengantuk. Ia sama sekali tidak bisa tidur, ingin menunggu Dion sampai sadar. Namun ketika jam 3 pagi, ia terlelap begitu saja. Sena menajamkan kesadarannya. Memperhatikan jari-jari Dion yang bergerak perlahan. "Dion?" "Mario, Mario bangun!" Teriak Sena masih memandangi jemari Dion. Pria yang tertidur di sofa terbangun. Ia masih memakai baju kemarin. Tidak pulang ataupun berganti baju. Membiarkan dirinya berpakaian lembab Mario mengucek matanya, "Kenapa sih Sena?" "Tangan dion bergerak!" "Ha?" Mario terkejut, kemudian berlari mendekat ke arah ranjang. Tatapannya menurun ke jari jemari Dion yang bergerak. "Kamu tunggu sini aku panggil dokter dulu," ucap Mario memburu. "Iya." Mario berlari cepat keluar dari ruang ICU, mencari dokter. Sena meraih tangan Dion, dan mengecup punggung tangannya lembut. "Maafin Sena yang bilang Dion jahat ninggalin Sena ..." "Sena tau, Dion baik. Makanya Dion kembali bertahan buat Sena." "Sena sayang Dion."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN