PART 8 - BELANJA

1025 Kata
"Keperluan cewek apa aja ya?" ucap Dion mengusap pelipisnya. Lebih dari 5 menit Dion hanya berdiri di depan pintu toko ritel Matahariku. Bimbang mau masuk atau tidak masuk. Sejujurnya ia juga tak mengerti dengan barang-barang wanita. Pulang dari pertandingan. Dion memutuskan untuk mandi sebentar di toilet stadion, lalu pergi menuju mall yang tidak jauh dari kampusnya. Namun setibanya di mall, ia jadi pusing sendiri. Mau beli yang mana. "Apa gue tanya mama aja ya?" ucap Dion bertanya pada dirinya sendiri. "Tapi kalau tanya mama. Entar dia mikir yang engga-engga. Kalau dia tau gue bawa cewek ke rumah, woooh bisa heboh." Dion menggeleng cepat, "Ga ga ga. Nanya ke mama ide yang paling buruk." "Apa gue tanya Mario?" "Lah, kan Mario cowok juga. Dia mana ngerti beginian." "Tanya temen cewek?" "Emm kalau tanya temen cewek. Pasti mereka bakalan tanya beli barang buat siapa?" Dion mengacak-acak rambutnya, mondar mandir di depan pintu toko, "Kok jadi gue yang pusing." "Mas, mondar-mandir mulu kayak setrikaan." Dion berhenti. Berbalik ke belakang. Ternyata sosok SPG penjaga toko. "Hah? SPG?" tanya Dion dalam hati. Dion kembali menatap mbak-mbak SPG di depannya. Ini serius? Biasanya SPG suaranya lembut. Selembut kain sutera. Yang ini SPG-nya kok beda. Cempreng banget, seperti kaleng kosong yang dipukul-pukul. No, Dion. Tidak boleh memperlakukan orang lain body lotion, body care, dan body swimming. Eh salah, body shamming. SPG itu dengan gaya preman mendekati Dion, mondar-mandir menatap Dion intens. Dion yang ditatap seperti itu, melangkah mundur, "Ke-ke-kenapa mbak?" SPG itu kembali berdiri tegak, "Enggak. Mas-nya ganteng." "Oh, hehehe," Dion mengusap-usap tengkuknya. "JADI MAS-NYA MAU BELI APA?!!!" "Ebuseet, astaghfirullah." Dion tersentak kaget. Rasanya seperti suara panggilan dari militer. Ia mengusap-usap kemejanya naik turun. Untung jantung buatan Yang Maha Kuasa, bukan buatan manusia. Coba kalau buatan manusia. Mungkin udah copot. "Mbak suaranya tolong dikecilin. Sakit kuping saya." "GA BISA MAS. SAYA MEMANG KALAU JUALAN SUARANYA NGE-GAS!" Para pengunjung yang berlalu-lalang tiba-tiba berhenti. Menonton Dion dari kejauhan. Dion memperhatikan sekelilingnya. Oh god. Ia seperti tersangka utama disini. "Mbak kecilin suaranya, nanti saya disangka ngapa-ngapain mbak." Rasanya Dion ingin menghilang saja dari bumi. Atau kalau bisa, melipat wajahnya kecil-kecil terus dimasukan ke dompet. "GA BISA MAS." Seorang SPG yang berseragam sama dengan SPG cempreng keluar dari toko. Ia begitu terkejut, banyak orang yang menonton pertikaian ini. Ada yang menonton sambil makan popcorn. Ada yang menonton dengan mata serius. Ada yang menonton sambil taruhan di ujung sana. "Jadi menurut lu siapa yang menang?" ucap penonton yang sedang taruhan. Jika penontonnya sebanyak ini, sebenernya bisa dijadikan ladang bisnis. Satu penonton, 5 ribu rupiah. Tapi sayangnya, di hati kecilnya masih tersimpan nurani. Nurani ya bukan Nuraini. "Bubar bubar. Tontonan nya udah selesai," ucap SPG itu. "Wuuuu ga seru ah. Ga ada baku hantam nya." Mereka pun bubar di tempat. "Hah," Dion bernapas lega. Akhirnya semesta berpihak padanya. "Maaf ya mas. Temen saya emang suka gini," ucap SPG itu merasa bersalah. Dion yang tidak tahu harus berkata apa lagi, cuma bisa menyengir. "Temen saya ga bisa ketemu yang ganteng dikit. Ketemu yang ganteng bawaannya suka nge-gas." "Iya mbak gapapa." * * Dion berkeliling melihat-lihat barang khusus wanita ditemani mbak SPG yang ramah itu. Bukan mbak-mbak SPG yang buat kaget tadi ya. "Mas mau beli apa?" Dion menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal, "Sebenernya saya kurang tau juga sih mbak." "Hah? Kok kurang tau?" "Saya mau beli perlengkapan wanita." Mbak SPG itu mengangguk mengerti, "Oh, pasti buat istrinya ya mas?" ucapnya tersenyum lembut. "Hah? Is-is-is-istri?" ucap Dion tergagap. Dion mengayunkan tangannya ke kanan ke kiri, isyarat bukan. Tapi ternyata mbak SPG nya salah tanggap. "Yuk mas, saya kasih tau apa aja barang yang wajib dibeli seorang suami untuk membahagiakan istri tercinta." "Istri tercinta?" Dion menepuk jidatnya, "Mati gue. Semoga ga ada anak kampus yang liat. Tolong ya Allah tolong." * * Dion yang tidak mengerti, menurut saja. Ia mengekori SPG itu sepanjang jalan, entah dibawa kemana. Sampai akhirnya langkahnya terhenti, di berbagai macam peralatan bayi. Sekali lagi. PERALATAN BAYI. "Mbak? Ko saya dibawa kesini? Kan saya cari barang-barang keperluan wanita," protes Dion. "Peralatan bayi juga keperluan wanita, mas. Keperluan untuk rumah tangga dan anak tercinta," ucapnya tersenyum lebar. Oh Tuhan, tolong Dion capek. "Mbak tapi kan saya belum-" belum selesai Dion bicara SPG itu memotong pembicaraannya. "Disini ada 2 model baju bayi yang paling laris mas. Ada yang model baju berkancing dengan lengan panjang, dan baju berkancing lengan pendek dua-duanya sama berbahan adem mas-" ucap SPG itu menunjukan dua baju bayi yang berbeda model, di tangan kanan dan kirinya. Dion menarik nafasnya dalam-dalam, "Mbak saya ini belum punya-" "Bahannya dijamin membuat bayi nyaman, tidak gerah, tidak akan kepanasan. Dan juga daya serap keringatnya membuat si bayi tidak lepek ataupun gerah. Setidaknya untuk mencegah terjadinya keringat berlebihan yang menyebabkan biang keringat dan mengganggu kesehatan tubuh, dan juga-" "Mbak saya ini belum punya ba-" "Dengan dua model baju ini. Bisa mas jadikan referensi dan contoh. Mau pilih model baju yang mana. Tapi jika mas tidak tertarik dengan model baju yang ini masih ada 1000 model lagi di gudang yang bisa saya jelaskan secara rinci dan lebih detail untuk membuat mas tertarik dan tidak ragu untuk membeli. Jadi mau beli yang mana mas?" "Buset," ucap Dion speechless, "Ini toko apasi?" "Jadi gimana mas? Tertarik? Jika mas tidak tertarik saya akan menjelaskan 1000 model yang tersimpan di gudang." Sontak Dion menggeleng cepat, "Ga mbak. Enggak. Makasih." "Oh kalau mas tidak tertarik dengan dua model yang ini, dan 1000 model dalam gudang. Saya akan telepon supplier toko untuk menunjukan 5000 model baju bayi yang berbeda, pastinya lebih hits, nyaman, dan menyegarkan. Yang pastinya mas akan-" "Ya ampun mbaaaaaak. Saya ga punya bayi mbak. Ga punya bayi!" "Oh jadi mas ga punya bayi?" Dion yang terlanjur frustasi, menarik rambutnya, "Iya mbak saya ga punya bayi. GA. PU-NYA. BA-YI." Mbak SPG menarik nafas dalam-dalam, lalu meletakan dua baju itu ke dalam rak, "Bilang dong mas kalo ga punya bayi. Jadi, kan saya ga capek ngejelasinnya." "Saya mau ngomong, mbak potong terus. Gimana saya ngomongnya ..." "Jadi mas-nya mau beli apa?" "Perlengkapan wanita mbak." "Oke," ucap SPG tadi, lalu melangkah lebih dulu ke stand berikutnya. "Huh, baru 15 menit. Udah sampai keringetan gini. Pantesan aja nama tokonya Matahariku."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN