PART 7 - PERTANDINGAN BASKET

1085 Kata
Pritt…! Bunyi peluit memenuhi ruang stadion. Dua tim kuat dari kampus berbeda mulai berebut bola. Sorak sorai dibangku penonton terasa panas. Para supporter mengumandangkan jagoannya, berharap pulang membawa piala final. Pertandingan basket antar Kampus Jaya sakti dengan Kampus Nusa bangsa berlangsung sengit. Pertandingan ini diadakan di stadion basket kampus Nusa bangsa. Setelah 30 kampus se-Jakarta Barat saling adu di pertandingan basket. Akhirnya 2 kampus terkuat yang maju ke babak final memperebutkan piala West Jakarta Basketball. Tim Nusa Bangsa berseragam putih, dan tim Jaya Sakti berseragam biru dongker. "Go nusa bangsa, Nusa bangsa go!" Cheerleaders berbaju putih merah bersorak keras mengumandangkan yel-yel mereka. "Jaya sakti!" Teriak cheerleaders berbaju putih biru, lalu tepuk tangan 3 kali. "Jaya sakti!" Tepuk tangan 3 kali. "Dion!" Teriakan keras berhasil membuat Dion menoleh. Sosok Mario berusaha untuk mengoper bola ke arahnya meski dihadang oleh 3 orang tim lawan. Begitu juga dengan Dion yang dikepung oleh tim lawan. "Ambil." Dion melompat tinggi, dan hap! Ia mengambil lebih dulu. Operan yang bagus, dan tepat sasaran. Dion si kapten basket, berlari sambil memantulkan bola menuju ring. Kapten lawan bernomor punggung 10, bernama Andik tidak tinggal diam. Ia mencegat Dion dan membaca gerakan lawannya. Ia mencoba merebut bola. Ia tidak akan kecolongan lagi, setelah di babak 3 tim-nya harus kalah telak dengan skor 50:30. Di babak terakhir ini, ia akan mengejar skor yang tertinggal. Tapi Dion punya seribu akal. Meskipun ia dihadang oleh Andik dan rekan timnya. Ia tidak akan membiarkan lawan lolos mencetak gol. "Yon!" Sinyal dari Glenn membuat Dion cepat melempar bola ke arah Glenn. Dion berlari menuju arah ring, menunggu operan dari Glenn. Namun Glenn yang dihadang 3 tim lawan. Tidak memilih mengoper ke arah Dion, melainkan mengoper bola ke samping ke arah Roni. Roni memantulkan bola nya berlari menghindar, ia memutar tubuhnya menghindari cekalan tangan lawan. ia mengoper ke belakang ke arah Dimas. Dimas menangkap itu, dan mengikuti strategi tim mereka. Jangan biarkan lawan mengambil bola, jika dalam keadaan terdesak, lebih baik mengoper bola dibandingkan menyerah memberi kesempatan pada tim lawan. Taktik mereka adalah mempermainkan tim lawan, yang membuat mereka kewalahan untuk merebut. Dimas mengintai lapangan. Tatapannya mengarah pada Mario yang jauh di dekat ring. Tidak ada tim lawan disana. Memudahkan mereka untuk mengoper dan mencetak gol. "Mario!" Hap! Mario menangkap bola itu. Dan tentu saja tim lawan berbondong-bondong berlari ke arahnya. "Dion." Dion menerima operan bola, dan berlari dengan cepat ke arah ring. Dan- Gol! Dion melakukan lay up, memasukan bolanya dengan satu tangan. "Woooooo." Supporter Nusa Bangsa bersorak gembira. "Yes," ucap Dion bangga. Pertandingan terus berlanjut hingga babak akhir. Sampai akhirnya skor berhenti di 60:45. Kemenangan di raih oleh kampus Nusa Bangsa. Tim putih Nusa Bangsa berkumpul berbentuk lingkaran, saling berpelukan meraih kejayaan mereka. * * Dion membuka lokernya, dan mengambil handuk kecil berwarna biru. Ia mengusap-usap lehernya yang berkeringat. "Kak Dion." Dion yang merasa namanya dipanggil, buru-buru menutup pintu loker. Dan berbalik badan. Sosok wanita berkacamata tengah berdiri di hadapannya. "Oh iya?" "Buat kakak," Wanita berkacamata itu dengan malu-malu menyodorkan botol mineral. Ia menundukkan kepala, tak berani menatap mata Dion, pria yang begitu terkenal di kampus. Sang cassanova yang namanya selalu diperbincangkan para mahasiswi. Dion tersenyum tipis, "Oh iya," ucapnya lalu mengulurkan tangan menerima pemberian wanita itu. "Makasih ya." Gadis itu membenarkan kacamatanya, "Iya ka sama-sama," ucapnya malu-malu. "Nama kamu siap-" belum sempat Dion menyelesaikan ucapannya, gadis itu telah berlari pergi. Dion sedikit tercengang. Gadis itu berlari cepat sampai keluar dari ruang loker. Ia berdiri menyandar di dinding sebelah pintu. Merasakan denyut jantungnya yang berdegup cepat. Rasanya ia kehilangan nafas saat berada di dekat Dion. Gadis itu menetralkan napasnya yang memburu, lalu sedikit melihat ke arah pintu. Dion belum keluar. Ia harus buru-buru pergi, sebelum ia dan Dion bertemu lagi. * * "Siapa?" Mario yang sedang menggosok-gosok rambutnya yang basah dengan handuk merasa bingung. Ia baru saja selesai mandi, namun ia melihat Dion mematung menatap seorang wanita yang berlari entah kenapa. Dion tersadar, "Bukan siapa-siapa." "Ngasih minuman?" Dion mengangguk, "Iya." "Suka sama lu kali." "Ya kali ..." ucap Dion membuka tutup botol. Lalu meneguk air yang dingin itu. Mario membuka lokernya nomor 201, yang letaknya di sebelah kanan loker Dion. "Ya kali gimana? Tipe-tipe cowok kayak lu tuh banyak yang naksir sebenernya. Lu nya aja yang nolak mulu." Dion yang selesai minum, menutup botolnya kembali, "Lagi males berhubungan sama cewe." "Karena Chintya?" Mario menutup lokernya, dan menatap Dion dengan segudang pertanyaan. Dion menghela napas, "Ga usah bawa-bawa nama dia." Mendadak moodnya rusak. Mario menyandarkan punggungnya di loker, menatap sahabatnya intens, "Udahlah, ga usah ingat-ingat lagi soal Chintya. Banyak cewek selain dia. Lagijuga Chintya itu masa lalu. Pikirin aja cewe yang sekarang." Dion menaikan satu alisnya, "Cewe sekarang siapa?" Mario menaik-turunkan alisnya, "Itu bidadari di rumah lo," ucapnya dengan senyuman menggoda. "Bidadari rumah gue?" "Iya," ucapnya dengan senyuman yang tidak luntur. "Siapa? Maksud lo si Sena?" "Yoi." Buk...! Dion memukul bahu Mario dengan botol minumnya, "Sembarangan. Nih ya, si Sena itu tanggung jawab gue sekarang. Ga mungkin gue jadiin pacar. Hanya sebatas tanggung jawab. Ga lebih dari itu." Mario memicingkan mata, "Yakin?" "Yakinlah." "Ga takut jatuh cinta?" "Ga lah. No no no no. Ga ada cinta-cintaan disini." "Oh yaudah. Sena buat gue berarti," ucap Mario enteng, melangkahkan kakinya pergi. Namun baru dua langkah, Dion menghadangnya. "Ett ett enak aja. Ga ada ga ada! Ga gue restuin pokoknya!" "Lah? Kan katanya lu gamau?" Dion menggaruk lehernya yang tak gatal. Pertanyaan seperti ini membuatnya terjebak. Oh God, Mario memang benar-benar pintar dalam membuat pertanyaan. "Yaaa, yaaa ... emang ga mau," ucap Dion ragu-ragu. "Nah justru karena lu ga mau. Makanya bidadari Sena buat gue," ucap Mario dengan senyuman menggoda. Senyuman yang membuat Dion jengkel. "Gaa! Sena ga boleh sama siapa-siapa." Dion berlalu pergi, meninggalkan Mario yang terkekeh puas. "Lu mau kemana, Yon? Gue ke Apartemen lu ya? Mau ketemu bidadari Sena." ucap Mario sedikit keras. "ENGGAK." "Salam buat yayang Sena dari babang Mario wkwkwk." "Ngomong lagi, gue blacklist jadi tamu," ucap Dion berlalu pergi menuju pintu keluar. Dion melangkahkan kakinya menuju kantin, untuk membeli makanan pengganjal perut. Namun di pertengahan jalan, ia sadar akan sesuatu. "Oh iya ya, kan sekarang mau belanja keperluan Sena." Dion menepuk dahinya. Kebetulan ia ingat. Dion mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Ia mencari nomor w******p Glenn, dan mengetik cepat disana. From Dion : Glenn sorry. Gue ga ikut makan-makan. Ada urusan mendadak. Salam buat pelatih, dan anggota lain. Send to Glenn. Setelah selesai mengirim pesan, ia memasukan ponselnya ke saku celana. Rencananya Dion akan merayakan acara penting kemenangan tim mereka. Tapi Sena lebih penting.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN