PART 103 - DION KEMBALI

1075 Kata
"SENA!!!" "Ayam ayam," ucap Sena latah, hampir saja lukisan yang ia pegang terjatuh. "Aduh guru Sena kaget," protes Sena hampir saja jantungan mendengar teriakan Mira yang entah darimana asalnya. Mungkin dari kamarnya. Sena kembali menggantungkan lukisannya di dinding kamar Dion. Selama 12 hari Sena membuat beberapa lukisan di kamar Dion. Dan juga belajar dengan giat. Mira lari terbirit-b***t menuju kamar Dion. Raut wajahnya menunjukan ketergesaan, "Sena Sena! Pokoknya kamu harus tau ini! Pokoknya harus tau ini! Ini parah banget! Parah! Kamu pasti ga percaya!" "Parah apa guru?" "Dion Sen Dion-" Mendengar ucapan Mira, Sena jadi panik, "Dion kenapa guru?" Sena harap tidak terjadi hal-hal yang buruk. Ia berharap Dion baik-baik saja sampai ke Jakarta. Ia sudah menyiapkan semuanya untuk Dion, menunggu pria itu kembali. Tapi jangan sampai– astaga Sena enyahkan pikiran negatifmu itu. "Kamu baca pesan ini." Sena meraih ponsel Mira, membaca pesan yang baru masuk beberapa menit yang lalu. "Mir, sebentar lagi aku sampai Jakarta." Sena tak percaya, apakah pesan ini benar? Apakah ia salah baca? Sena kembali membacanya berulang-ulang. Ternyata benar. "Dion pulang?" ucapnya dengan mata berbinar-binar. Mira mengangguk senang, "Iya." "Aaaaa," Sena teriak kegirangan, ia pun memeluk Mira erat. Ia tak tahu lagi harus bagaimana mengekspresikan rasa senangnya. Orang yang Sena tunggu-tunggu akhirnya datang. Senyum ceria Sena mengembang. Ia tak sabar bertemu dengan pujaan hatinya. "Kamu harus dandan yang cantik, Sen. Oke?!" Sena mengangguk, "Oke guru." "Aku kabarin Mario dulu," ucap Mira lalu berlalu pergi dari kamar Dion. "Dion pulang?" Sena masih tidak percaya, benarkah? Ia tidak salah baca, kan? Kemampuannya membaca sudah benarkan? "Dion pulang," ucap Sena sekali lagi. "Yeeeeeeeay! Dion pulang!" "Aduh gimana ya, Sena harus gimana nih? Pokoknya Sena harus cantik. Sena harus cantik!" ujar Sena mondar-mandir kebingungan. Tunggu– ia benar-benar tak sabar. Wajahnya memerah, dan jantungnya berdegup tak karuan. Dion membaca pesan yang ia kirimkan pada Mira. Hemh- seandainya saja Sena bisa bermain ponsel, pasti sangat menyenangkan bisa mengirim pesan, dan saling teleponan dengan gadis itu. Tapi setidaknya Mira pasti menyampaikan isi pesannya. Kegiatan Dion tak luput dari perhatian Glenn. Ia melihat Dion yang terus-menerus tersenyum menatap ponsel. "Kenapa lu Yon?" Dion menoleh, menatap Glenn yang duduk di seberangnya, "Haha gapapa." Dion kembali memasukan ponselnya ke saku almamater. Menatap lurus ke depan. Ia sudah sampai di tol Jakarta. Chika yang daritadi menatap gerak-gerik Dion, mengepalkan tangannya. Ia tidak akan pernah membiarkan Dion jatuh ke pelukan Davina. Ia akan menghancurkan hubungan itu, apapun caranya. Davina harus merasakan, apa yang ia rasakan. ***** "Kamu cantik Sen hari ini. Siapa yang dandanin?" puji Mario terhanyut pada wanita cantik yang memiliki paras murni seperti Dewi Yunani. Pantas saja Dion menamakannya Sena. Sejenak Mario terkesima. Sena dapat mengalihkan dunianya begitu saja. Ehm, bukan sejenak. Tapi setiap hari. Tapi, hari ini Sena lebih cantik dari biasanya. Senyuman polos dengan mata bulat seperti anak anjing membuat Sena terlihat imut, dan juga lugu. Hari ini Sena memakai dress Sabrina pink peach selutut. Dengan make-up natural. Bibirnya yang ranum diolesi lip cream berwarna pink peach, rambutnya dikepang bando oleh Mira. Dan di lehernya terdapat liontin blue diamond langka, pemberian Diana untuknya. Liontin yang melambangkan keabadian dan cinta sejati. Mira menaikturunkan alisnya, "Akuuuh dong. Siapa lagi," ucapnya bangga. "Heleh, ga percaya gue, lu yang dandanin Sena secantik ini. Kemarin aja lu dandanin Sena kayak anak punk tersesat di hutan." Mira mengepalkan tangannya sebal, "Anj*r itu karya seni gue tau!" "Dahlah gue ga percaya itu lu yang dandanin." Mira melipatkan kedua lengannya depan d**a, "Terserah. Intinya Sena hari ini cantik banget kayak tuan putri," ucap Mira kagum. Ribuan love seperti bermunculan di matanya. Mereka bertiga menunggu di depan pintu kampus. Disini ada 3 pintu. Pintu depan, belakang, dan samping. 4 jam pun berlalu, mereka yang menunggu di depan pintu kampus mulai mengantuk. Sena duduk di lantai sambil menopang dagu. Hari sudah pukul 8 malam, tapi Dion tak juga muncul. Mira mondar-mandir kebingungan, dan Mario, pria itu sudah terlelap di lantai. Entah bagaimana ceritanya, Mario bisa-bisanya dalam keadaan panik seperti ini tidur pulas di depan pintu. "Guru … Dion beneran pulang hari ini?" ucap Sena lemas. Mira mengangguk, "Iya bener kok. Di SMS-nya juga gitu. Tapi kok Dion ga muncul-muncul ya." "Hemh," Sena menghela nafas. Mira meraih teropong yang tergantung di lehernya. Mendekatkan matanya di lensa teropong mencari keberadaan Dion. Namun yang ia lihat sedang berjalan ke arah sini bukanlah Dion, melainkan satpam yang patroli. "Ngapain kalian disini malem-malem, mau gelap-gelapan ya?!" Dia adalah satpam killer yang mengejar-ngejar Dion waktu itu. "Ih bapak, terang gini dibilang gelap. Kita itu lagi nunggu bis mahasiswa yang katanya abdi desa. Tapi kok ditungguin 4 jam ga datang-datang yah," ujar Mira. "Lah si eneng, Bisnya mah udah sampai daritadi jam 5 sore di pintu belakang." "APA?!" teriak Sena dan Mira bersamaan. ***** Dion menatap ponselnya, lalu menghela nafas panjang. Tidak ada pemberitahuan pesan apapun. Ya sudahlah, nanti juga bertemu di apartemen. Dion membuka bagasi mobil, lalu meletakkan seluruh barang-barangnya. Tas jinjing, koper, hadiah untuk Sena, dan juga Pipi si boneka hiu. "DION!!!" Ini seperti suara yang Dion kenal. Suara lembut yang ia rindukan. "Sena?" BAM…! Dion menutup bagasinya, dan menoleh ke belakang. "Diooon." BRUK…! Sena lari berhamburan ke pelukan Dion. Ia memeluk Dion erat menyalurkan semua kerinduannya yang terpendam selama ini. Sena menyandarkan kepalanya di d*da bidang Dion. Mendengar detakan tiap detakan suara jantung Dion. Ia rindu pada pemilik detakan ini. Dan ia juga rindu pada orang yang memberikannya detakan yang sama. "Sena." Dion tak bisa berhenti terkejut. Baru beberapa detik yang lalu, ia berpikir Sena tidak datang, namun nyatanya gadis itu berdiri memeluknya, "Aku kira kamu ga akan datang." Dion membalas pelukan gadisnya. "Sena ga mungkin ga datang hiks." Dion tersenyum, mencium puncak kepala Sena, "Aku rindu kamu Sen sampai mau mati rasanya." Dion mengeratkan pelukannya, membiarkan Sena menangis dalam dekapannya. "Sena kamu tau seberapa besar aku cinta kamu." Sena menggeleng. "Aku cinta kamu sampai matahari kehilangan sinarnya, dan sampai bintang-bintang kehilangan cahayanya." Dion mengeratkan pelukannya, mendekatkan puncak hidungnya di leher Sena, "Cinta itu seperti dua sayap yang mengepak. Jika salah satunya sakit, maka yang lainnya juga ikutan sakit." Dion melepaskan pelukannya. Memandang Sena dalam-dalam. Dion menghapus air mata Sena yang mengalir, "Aku cinta kamu, Sen." "Sena juga." Sena menatap wajah tampan Dion yang lebih tinggi darinya, tak lama jantungnya berdegup kencang tak karuan, pipinya tiba-tiba memerah, wajah Dion semakin mendekat ke arahnya, menyempitkan jarak. 5 senti, 3 senti, 1 senti. Hembusan nafas Dion mengenai pipinya. Sena menutup matanya perlahan-lahan, sampai akhirnya sesuatu yang lembut menyapu bibirnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN