"Mario tungguin anjirr!"
Mira mengejar Mario yang berlari jauh di depannya. Tadinya mereka lari berdua, tapi langkah Mario sangat panjang sampai-sampai ia tertinggal sangat jauh. Apakah cuma dirinya saja yang berlari sangat lambat. Lagipula kenapa Sena harus kabur segala, kan Mira jadi susah mengejarnya.
"Mariooo! Tungguin anj*ng."
"Lagi punya kaki kecil sih."
"Ah lu mah! Lu gatau apa kalau gue waktu TK pernah menang lomba lar-"
BRUK…!
"Kok lu ngerem mendadak sih anj-" baru saja Mira ingin bersumpah serapah, pria itu tiba-tiba mematung tanpa sebab.
"Mar."
Mira mengguncang bahu Mario, namun pria itu tidak bergeming.
"Mar lu liat apaan sih? Kok diem aja. Lu ga kesurupan, kan?"
Mira yang penasaran melihat ke arah yang Mario pandangi. Ia melihat sesuatu yang mencengangkan.
"Sen-Sena, Di-Dion."
Mata Mira melebar tak percaya, dari kejauhan ia melihat Sena dan Dion berciuman di bawah cahaya rembulan.
"Aaaa so sweet, tapi … ya ampun mata gue, mata gue. Mata gue ternodai!"
Mira menutup wajahnya, namun ia membuka jari-jarinya sedikit mengintip.
"Ga pengen ternodai, tapi diliat juga."
Mira mendengus malas, menurunkan tangannya, "Ngintip dikit doang."
"Ngintip dikit doang sama aja ngeliat. Dahlah kita pulang aja."
Mario menarik lengan Mira, tak peduli dengan suara melengking gadis itu yang protes dan mengeluarkan puluhan sumpah serapah. Telinganya sudah terlatih untuk disakiti. Terlebih lagi disakiti suara Mira yang mirip seperti tong kosong kalau dipukul.
"Lepasin gue anj*r. Adegan tadi belum selesai."
"Lagi lu kepo banget nontonin gituan. Kenapa ga kita aja yang–"
PLAK..!
Satu pukulan melayang di punggung Mario. Tenang saja Mario sudah biasa dengan pukulan Mira.
"Ga usah ngarep lu anj*r."
Mario tertawa terbahak-bahak. Membuat Mira kesal adalah hobinya.
Dion melepaskan ciuman mereka. Menjauhkan wajahnya sedikit demi sedikit.
Sena menunduk dengan wajah memerah, menatap sepatunya dan sepatu Dion. Ia terlalu malu dan gugup untuk melihat wajah Dion. Argh, kenapa ia jadi seperti ini. Biasanya Sena yang akan mencium duluan. Tapi sekarang– dicium Dion membuat jantungnya berdegup tak karuan. Ternyata beda perasaan ya antara mencium dan dicium. Dan sekarang Sena, argh– rasanya ia ingin berteriak kegirangan sekarang.
Dion tersenyum, "Kita pulang yuk," ucapnya meletakan tangan di puncak kepala Sena.
Sena mengangguk, "Yuk."
"Gimana kalau hari ini kita kencan."
Sena mendongak, menatap wajah Dion yang lebih tinggi darinya, "Kencan?" ucapnya dengan mata berbinar-binar.
"Iya. Kamu mau?"
"Mauuu!" ucap Sena tiba-tiba bersemangat. Ah tidak, ia memang selalu bersemangat jika di dekat Dion. Pria itu seperti memberikan energi untuknya.
Sena memeluk Dion erat, "Sena mau kencan sama Dion."
"Hahaha. Yuk. Udah berapa lama kita ga kencan."
"Tapi guru dan Mario gimana?"
Dion menaikan alisnya, "Gimana apanya?"
Sena melepaskan pelukan, "Tadi Sena kesini sama guru sama Mario juga. Tapi kok ga ada ya."
Dion tersenyum, "Mungkin mereka pulang duluan."
"Tapi kok ga ngajak Sena," ucap Sena bingung.
"Karna Sena pulang sama Dion. Yuk masuk ke mobil."
Sena mengangguk senang, "Yuk, Let's go!"
Dion tertawa lepas, "Kamu tau kata-kata itu darimana?"
"Dari guru, kan guru yang ngajarin Sena bahasa Inggris."
Dion mengacak-acak rambut gadis itu, "Hahaha udah pintar kamu sekarang ya."
"Iya, kan Sena belajar terus selama Dion ga ada."
*****
Mario dan Mira jalan beriringan. Mungkin ini adalah momen damai mereka berdua. Mereka yang biasanya sering bergelut,s sekarang diam membisu. Suasana mendadak canggung. Tak ada satupun diantara mereka yang membuka suara.
Mira memeluk tubuhnya. Dinginnya angin malam seperti menembus ke tulang. Helaian rambutnya terbawa terpaan angin. Entah kenapa Jakarta hari ini sedang dingin meskipun tak sedingin Bandung, tapi membuat kulit sedikit menggigil.
Mario yang diam-diam menatap wanita itu, menurunkan resleting jaketnya, lalu menyelimuti bahu gadis itu dari belakang.
"Ah?" ucap Mira terkejut. Ia menoleh menatap Mario di belakangnya.
Namun Mario cuek-cuek saja. Ia kembali berjalan dengan kaos putih santainya, meninggalkan Mira sendiri di belakang.
"Kok lu ngasih jaket ke gue?"
"Ga butuh jaket, panas."
"Lah panas darimana anjir, dingin gini."
"Lagijuga pengen gue buang, bosen."
Mira mempercepat langkahnya menyamakan langkahnya yang kecil dengan langkah Mario yang panjang, "Bosen? Bosen kok ngasih ke gue anj*r. Ini kan ukuran cowok."
"Gatel-gatel kulit gue pake yang murahan."
"Kalo murah kenapa lu beli anj–"
"Pake aja gausah berisik. Sakit kuping gue dengernya."
"Hmm yaudah deh, kalo lu maksa. Gue juga lagi kedinginan."
Mira memakai jaket tebal Mario. Ukuran mereka yang berbeda, membuat jaket itu kepanjangan sampai ke paha, dan tangannya juga tenggelam.
"Makasih ya."
"Hemm …"
"Tumben lu baik?"
"Lagi coba-coba aja jadi orang baik, siapa tau keterusan."
"Gob-"
"Mira tetaplah Mira. Cewek yang penuh dengan sumpah serapah."
"MARIOOO!!"
Mira dan Mario jalan beriringan di bawah bulan purnama. Entah kenapa tanpa sadar jalan mereka saling bersisian, Mario tak lagi di depannya. Pria itu– menyamakan langkahnya dengan langkah Mira.
*****
"Dion Dion! Sena sekarang udah bisa baca."
Dion tersenyum, sepanjang jalan Sena terus saja berceloteh riang. Sena tetaplah Sena– gadis lucu yang penuh semangat. Gadis itu sama sekali tidak berubah. Tetap lucu seperti biasanya. Dion bersyukur, Sena belum melupakannya.
"Oh ya? Pulang dari sini, Dion mau denger ya," ucap Dion fokus menyetir ke depan.
"Iya! Tapi Dion jangan pergi lagi ya, Sena ga mau Dion pergi lagi!"
Dion tertawa kecil, lalu mengulurkan tangan kirinya mengacak-acak rambut Sena, "Iya sayang."
Sayang? Panggilan itu membuat Sena meleleh saja.
Sena meraih lengan Dion dan memeluknya erat, "Pokoknya Dion punya Sena."
"Iya Dion punya Sena."
"Bukan punya siapa-siapa."
"Iya bukan punya siapa-siapa."
Dion menyetir dengan satu tangan, ia membiarkan tangan kirinya dipeluk gadis itu.
Dion memberhentikan mobilnya di sebuah taman. Ia mengajak Sena turun dari mobil.
Dion ingin menghabiskan banyak waktu dengan Sena, setelah 12 hari tidak bertemu.
Mereka bergandengan tangan di bawah rembulan, menyusuri taman.
Siang atau malam taman ini tetap indah, dengan bunga-bunga yang bermekaran di sepanjang jalan.
"Sena coba kamu liat ke atas."
Sena mendongak, "Waaah."
Mata Sena berbinar menatap cahaya-cahaya putih yang berkumpul di atasnya. Cahaya-cahaya kecil itu beterbangan menyinari mereka berdua.
"Indahnya …"
Dion tersenyum lalu merengkuh pundak Sena, "Mau aku ambilin?"
Sena mengangguk semangat, "Mau mau!"
Dion menangkap salah satu cahaya tersebut, di dalam genggamannya.
"Coba kamu lihat ini."
Dion melepaskan rengkuhannya di pundak Sena. Ia membuka telapak tangannya, menunjukan cahaya kecil yang bersinar terang.
"Waaaah Dion ini apa?" ucap Sena kagum.
"Kunang-kunang."
"Kunang-kunang?"
Dion mengangguk, "Iya."
"Kunang-kunang indah ya."
"Iya. Tapi … kita lepasin lagi ya. Biarin dia main sama temen-temennya."
Sena mengangguk polos, "Iya."
Dion melemparkan kunang-kunang itu ke atas. Membiarkan kunang-kunang itu berkumpul dengan yang lainnya.
Dion merengkuh pundak Sena, mendekatkan gadis itu hingga tak ada jarak. Mereka menatap kumpulan kunang-kunang yang seperti menari di atas mereka.