PART 102 - EDELWEISS

1009 Kata
"Kak Dion mau berangkat?" Dion tersenyum, "Iya." Cindy melepaskan pelukannya, lalu menyodorkan boneka hiu kesayangannya, "Ini buat kak Dion." "Buat kakak?" Cindy mengangguk, "Supaya kak Dion ingat Cindy terus." "Kalau bonekanya buat kakak, nanti teman Cindy siapa?" "Kita!" Sepuluh orang teman sebaya Cindy yang terdiri dari laki-laki dan perempuan tiba-tiba muncul di belakang Cindy. Mereka tersenyum ceria. "Jadi Cindy udah ada teman ya?" Cindy mengangguk, "Udah. Ini semua berkat kak Dion yang ngajarin Cindy percaya diri." Dion mengusap-usap rambut halus itu, "Baguslah kalau Cindy udah percaya diri. Ingat pesan kak Dion ya, kalau menginginkan sesuatu, jangan pernah menyerah." Cindy mengangguk, "Akan selalu Cindy ingat kak." "Kak Dion terima boneka hiu dari Cindy ya, namanya Pipi. Pipi ga nakal kok. Kalau Pipi nakal kak Dion marahin aja, tapi jangan keras-keras marahnya ya kak, soalnya Pipi cengeng, gampang nangis." Dion tertawa kecil mendengar pernyataan polos dari gadis cilik itu. "Iya Cindy," Dion menerima hiu biru muda itu. "Yon, ayo masuk. Nanti keburu malem." Suara Glenn memecahkan suasana, Dion kembali menatap gadis polos itu, "Terima kasih Cindy." "Iya. Kak Dion hati-hati ya." Dion mengangguk, lalu berjalan membawa koper, tas, dan juga sebuah boneka hiu dalam dekapannya. Ia menaiki anak tangga satu persatu. "Hati-hati kak Dion, Cindy pasti kangen kakak." "Kami juga," sahut semua teman-teman Cindy. Cindy, teman-temannya, dan semua warga menatap kepergian mahasiswa Nusa Bangsa yang memberikan mereka secercah harapan dan juga kebahagiaan. Desa mereka yang dulunya tertinggal dari selalu bergantung pada sungai, kini berubah maju. Tak ada lagi yang bergantung dengan sungai. Semuanya sudah ada porsi masing-masing. Sumur untuk mandi dan mencuci, toilet untuk buang air, jembatan untuk menyeberang. Dan sekarang rumah mereka punya listrik. Tidak ada lagi lilin, obor, ataupun lampu minyak. Berkat kincir air yang mereka bangun, listrik masuk ke rumah-rumah warga. Dion masuk ke dalam bis, dan pintu bis tertutup perlahan-lahan. Cindy menatap dari jauh, di balik kaca terlihat Dion yang berjalan menuju tempat duduknya. "Kak Dion! Cindy sayang kak Dion." Cindy yang tadinya berusaha tegar, menangis juga. Ia menghapus air matanya yang mengumpul di pelupuk. Karena Dion, Cindy jadi tahu rasanya punya Abang. Karena Dion, Cindy punya kepercayaan diri lagi. Dion menatap Cindy dari jendela bis, lalu melambaikan tangan perpisahan. Para warga juga melambaikan tangan, "Dadaah," mengucapkan kata perpisahan. Bis pun keluar dari pekarangan pondok. Selamat tinggal desa Ujung Jawa, dan selamat datang Jakarta. Meskipun hanya 12 hari, tapi kenangan yang diciptakan sangat banyak. "Kak Dion, hiks hiks," Cindy menangis kejar menatap bis yang kian menjauh. "Cindy …" teman-teman baru Cindy berusaha menghibur gadis itu. Mereka memeluk Cindy yang sedih. Dion duduk di samping Chika. Gadis itu duduk dekat jendela. Dion kira tadinya ia akan duduk kembali dengan Glenn, tapi Dimas mengatakan ia bisa mabuk lagi sepanjang perjalanan, dan itu akan merepotkan Dion. Jadi pada akhirnya Dion kembali duduk bersama Chika. Dion menatap boneka hiu itu. Setiap kali ia menatap boneka hiu, ia akan teringat pada gadis pemalu yang selalu bersemangat namun sering rendah diri, dan murung. "Boneka dari siapa?" tanya Chika penasaran. "Dari seseorang," jawab Dion tersenyum tak henti-hentinya menatap boneka itu. Ia berharap suatu saat nanti cita-cita Cindy menjadi seorang penyanyi tercapai. Jawaban dari Dion membuat Chika sebal. Yang boleh mendekati Dion hanya ia seorang, tapi ternyata ada lagi yang mendekati Dion. Chika kembali menyadarkan punggungnya, dan melipat kedua lengannya di depan d**a kesal. Selama 12 hari tak ada perubahan apapun, antara dirinya dengan Dion. Semuanya begitu-begitu saja. Bahkan menyewa Dimas pun tak ada gunanya. Awalnya Chika berpikir Dion akan menjadi pacarnya saat di abdi desa nanti, namun ternyata sesusah itu. Hati Dion seperti batu. Sia-sia saja ia ikut, dan rela kotor-kotoran. Tapi Chika tak ingin rugi. Ia akan memanfaatkan Dimas sebagai bonekanya sampai tujuannya mendapatkan Dion tercapai. Suatu hari nanti Dion akan bertekuk lutut di hadapannya. Lihat saja nanti. Langit semakin gelap, warna oranye berganti biru tua. Senja meninggalkan peraduan. Bis yang membawa penumpang lebih dari 50 orang meninggalkan desa Ujung Jawa yang menyimpan jutaan kenangan. ***** "Ayo semuanya yang mau beli souvenir," ucap salah satu panitia. Kedua pintu bis terbuka. Pagi-pagi sekali sekitar jam 9, mobil mereka sampai di salah satu desa wisata Edelweiss. Desa Wonokitri. Desa yang terletak tak jauh dari gunung Bromo. Para rombongan turun dari bis satu persatu. Udara segar dari desa ini seperti mengipasi kulit mereka yang lelah. Dion turun duluan meninggalkan Chika. Meskipun ia tahu Chika pasti mengejarnya dari belakang tapi Dion tak peduli. Dion lebih memilih menjauh saja, Dion menuruni anak tangga satu persatu. "Dim lu ga turun?" tanya Glenn yang beranjak dari kursi. Dimas menatap Chika sejenak, "Emm … lu turun duluan aja deh, nanti gue nyusul." "Oh oke." Glenn pun turun dari bis, menyisakan Chika dan Dimas berdua. "Lu mau ngomong apa?" tanya Dimas to the point. Ia tak ingin berlama-lama di bis, takut orang curiga. Chika menatap anak buahnya tajam, "Gue mau nagih janji lo buat deketin gue sama Dion." Dion berjalan sendirian mengelilingi desa wisata yang penuh dengan bunga Edelweiss. Bagi para pendaki, khususnya yang pernah mendaki gunung Bromo pasti tahu bahwa Edelweiss adalah bunga yang dilarang untuk dicabut. Siapapun yang mencabutnya di gunung akan dikenakan tindak pidana. Kita tidak boleh mencabut, tapi kita boleh membeli bunga yang dibudidayakan oleh desa Wonokitri. Disini semua bunga Edelweiss dijadikan souvenir. Para pendaki atau siapapun pengunjung boleh mendapatkan Edelweiss tanpa harus berurusan dengan hukum, caranya adalah dengan membeli. Bunga Edelweiss dirangkai secantik mungkin. Ada yang dijadikan gantungan kunci, kalung, boneka, buket bunga, souvenir pernikahan dan lain-lain. Dion berhenti di salah satu tempat penjual Edelweiss. Bunga putih itu menarik perhatiannya. "Bu saya beli ini," unjuk Dion. ****** "Dion tipe orang yang susah jatuh cinta, Chik." "Gue ga mau tau. Gue udah bayar lu mahal. Katanya lu bisa bikin Dion suka sama gue? Mana? Ga ada buktinya." "Kalau ga bisa selama 12 hari, masih ada waktu-waktu lain. Biarin Dion mengenal lu dulu sementara waktu. Suatu saat nanti Dion pasti suka sama lu." Chika menaikan alisnya, ragu, "Bener?" Dimas mengangguk yakin, "Bener." "Atas dasar apa gue harus percaya sama lu?" "Dion ga mungkin nolak primadona kampus kayak lu, Chik." Chika tersenyum miring. "Gue harap tebakan lu bener Dim."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN