“Suasana ini terasa pilu, sebab dia si hujan abu. Yang membawa sembilu di pelupuk mataku. Menyemai rintik-rintik tapi bukan salju.”
Labibah mencurahkan apa yang sedang ia rasakan dalam sebuah tulisan. Buku harian warna biru menjadi saksi, di mana ia sekarang hidup sangat menderita bersama suaminya. Pernikahan yang ia impikan akan indah dan tanpa pilu, ternyata salah. Setiap hari suaminya menggores lara di hatinya, melukis pilu di hidupnya, hingga menorehkan luka yang teramat perih di sekujur tubuhnya.
Tidak ada kata indah di dalam pernikahannya. Tidak ada kasih sayang bahkan cinta dalam rumah tangganya. Yang ada siksaan batin dan fisik dari Fauzan pada Labibah. Semua sudah Labibah katakan sebenarnya pada suaminya, apa yang terjadi dulu, kejadian satu setengah tahun yang lalu. Bahkan orang tua Fauzan pun sudah menjelaskan semua, tapi mata, telinga, dan hati Fauzan masih belum terbuka. Semua tertutup karena cinta. Cinta yang ia agungkan untuk Syafira, mantan tunangannya yang sekarang sudah menjadi milik orang, sudah menjadi suami orang. Fauzan tetap tidak percaya, padahal semua yang dikatakan Labibah dan kedua orang tuanya itu suatu kebenaran, tidak ada kebohongan sama sekali.
Fauzan sudah tertidur, suara dengkurannya terdengar lirih. Bibah memandangi suaminya yang sudah tertidur pulas dari meja kerjanya yang ada di kamar. Tidak ia sangka laki-laki yang ia anggap sangat baik, bertutur kata selalu lembut, berkharisma, ternyata ia berhati durjana. Hanya karena hatinya tertutup cinta.
“Kalau tidak mau, jangan sakiti aku, Mas. Cukup batinku saja yang kau sakiti, jangan fisik ini. Biar aku saja yang merasakan sakitnya tersiksa batin karena kamu, jangan sakiti orang yang menyayangiku, mengasihiku, dan mencintaiku saat melihat goresan luka yang ada di tubuhku, luka yang mereka lihat, terutama ibu dan ayahku,” ucap Labibah dengan memandangi Fauzan yang sudah tertidur.
Labibah menutup bukunya, ia menyimpannya di laci meja. Labibah beranjak dari tempat duduknya untuk ke kamar mandi, mengambil air wudhu lalu salat dua rakaat, sebelum ia tidur.
“Ya Allah, yang maha melembutkan hati. Lembutkanlah hatiku agar aku dapat melembutkan jiwa-jiwa yang keras, agar aku dapat memeluk jiwa yang tidak tersentuh lembut-Mu. Kuatkan aku, agar aku tidak terlihat lemah dalam menghadapi cobaan dari-Mu. Aamiin ....”
Bibah melipat kembali mukenahnya seusai salat. Labibah beringsut naik ke atas tempat tidurnya dengan hati-hati, ia tidak mau suaminya terganggu, lalu terbangun dan marah lagi dengan dirinya. Ia tidak mau ribut dengan suaminya sebetulnya, tapi mau bagaimana lagi, suaminya selalu yang memulai perdebatan, seperti tadi saat setelah pulang dari rumah Fahri atau dari mana Labibah tidak tahu, Fauzan langsung berkata kasar, dan melakukan hubungan badan dengan sangat kasar pada dirinya. Masih terasa sakit badan Bibah karena Fauzan, semuanya sakit, bahkan hatinya pun lebih sakit.
Labibah mencoba memejamkan matanya, ia tidak mau lagi memikirkan yang sudah terjadi tadi. Labibah yakin semua akan berlalu dengan baik-baik saja setelahnya. Ia berusaha memejamkan matanya, tapi bayang-bayang wajah Fauzan yang bengis saat tadi melakukan pesetubuhan dengan dirinya masih membayang di pelupuk matanya. Takut, sakit, dan tidak tahu lagi apa yang Labibah rasakan tadi. Semua bercampur jadi satu, hingga semua berlalu begitu saja, yang tersisa hanya lebam di sekujur tubuhnnya, dan lebam di hatinya.
^^^
Pagi harinya, Labibah terbangun lebih dulu. Ia merasa badannya pegal, sakit semua sekujur tubuhnya. Bibirnya kaku, karena sudut bibirnya terluka. Itu semua disebabkan karena kekasaran suaminya semalam. Labibah beringsut untuk turun dari tempat tidurnya, ia merasa kakinya kaku, pangkal pahanya juga sangat sakit, ia kesusahan untuk berjalan. Perlahan Bibah melemaskan otot-ototnya yang kaku, juga kakinya yang terasa sakit, lalu ia melangkah mendekati meja riasnya untuk bercermin dan merapikan rambutnya. Terlihat pipi dan sudut matanya membiru saat ia bercermin, itu semua karena bekas tamparan Fauzan, juga sudut bibirnya. Itu semua karena kekerasa Fauzan semalam.
“Bagaimana bisa aku keluar dengan keadaan seperti ini? Apa iya aku harus izin kerja? Gak aku gak boleh izin kerja, nanti malah dr. Fahri mengira aku tidak baik-baik saja. Aku yakin, semalam Mas Fauzan ke rumah dr. Fahri, dan pasti Mas Fauzan cerita semuanya pada dr. Fahri,” ucap Labibah dalam hati sambil bercermin.
Bibah mengambil air wudhu, lalu ia salat sendiri. Ingin rasanya Bibah membangunkan Fauzan, lalu salat bersama, ia menjadi makmum Fauzan, dan setelah selesai salat ia mencium tangan Fauzan, lalu Fauzan mencium keningnya. Rasanya semua itu hanya mimpi. Memang itu adalah impian setiap wanita jika sudah menikah. Mendapatkan imam yang baik dalam rumah tangganya, untuk bersama-sama mengarungi biduk rumah tanggannya.
“Jangan mimpi, Bibah! Sudah, kamu harus terlihat baik-baik saja. Kamu Labibah, perempuan yang kuat, jangan menyerah karena semua ini. Ayo bangkit, kamu harus bisa buktikan kalau semua ucapanmu soal Syafira itu benar adanya,” gumam Labibah dalam hati.
Selesai salat subuh, Labibah keluar dengan mengenakan masker lagi. Ia tetap harus memasak meski ada Mbak Sani asisten yang ia bawa dari rumahnya. Asisten yang selalu setia dengannya sejak ia duduk di bangku SMA.
“Mbak Bibah masih flu?” tanya Sani.
“Iya, Mbak,” jawab Labibah.
“Sudah minum obat?” tanya Sani.
“Semalam ya udah, Mbak. Sekarang ya harus sarapan dulu dong?” jawab Labibah.
“Mbak istirahat saja, biar Sani semua yang mengerjakan,” ujar Sani.
“Sudah Mbak Sani bantuin aku saja, Mbak. Biar cepat selesai, lagian udah mendingan sih, tapi tetap harus pakai masker, takut menular,” jelas Labibah.
“Mbak Bibah bisa saja, kayak gak biasanya saja, dulu saja kalau pilek gak maskeran, sekarang pakai masker,” ujar Sani.
“Kan sekarang beda zamannya, Mbak. Apalagi kan masih bau-bau pandemi, Mbak? Flu biasa saja jadinya luar biasa. Lebih baik mencegah dan menjaga kan, Mbak?” ujar Labibah.
“Iya deh, iya ... tapi Mbak Bibah gak demam, kan?”
“Enggak sih, Mbak,” jawab Bibah.
“Orang aku gak flu, aku pakai masker buat menutupi lebam karena Mas Fauzan,” ucap Bibah dalam hati.
Bibah sudah selesai masak dan sarapan dengan Mbak Sani. Ia tidak mau sarapan dengan Fauzan, karena Bibah yakin Fauzan tidak mau sarapan kalau ada Labibah di sebelahnya. Ia pagi-pagi buta sudah memasak, karena ia harus berangkat shift pagi. Jam tujuh ia sudah harus berada di rumah sakit. Bibah masuk ke dalam kamarnya, ia melihat Fauzan yang sudah terbangun tapi wajahnya gusar, karena ia kesiangan, tidak salat subuh.
“Hei kenapa gak bangunin aku?! Aku jadi gak sholat subuh, kan?” hardik Fauzan saat melihat Bibah masuk kamar.
“Aku takut salah lagi, hidupku serba salah soalnya di mata kamu, Mas. Jadi aku takut kena gampar kamu lagi saat tadi membangunkan kamu untuk sholat. Lagian apa mas sholat? Sepertinya dari kemarin mas gak pernah sholat?” jawab Labibah lalu mengambil handuknya.
“Memang aku sholat harus laporan sama kamu?! Enggak, kan?!” jawab Fauzan.
“Ya kali saja gak sholat. Lagian sholat juga sama istri kasar, kejam, untuk apa?” ucap Labibah lalu masuk ke kamar mandi.
“Jaga ucapanmu, Bibah!” bentak Fauzan.
“Yang harus jaga ucapan harusnya kamu, Mas!” ucap Bibah di dalam kamar mandi dengan penuh tekanan. Tapi, tidak mungkin Fauzan mendengar dirinya bicara, kecuali dia teriak, mungkin Fauzan mendengarnya.
Fauzan memang tidak pernah meninggalkan sholat lima waktu, sesibuk apa pun dia, tapi entah kenapa setelah menikah dengan Bibah hatinya menjadi kelabu, kadang ia melupakan sholat, dan kadang juga ia menjadi sosok tempramen, sosok pemarah, bahkan jahat. Dan, itu semua karena Syafira. Fauzan selalu sholat di musholah yang ada di rumahnya, tidak pernah di kamar. Selama ia menikah dengan Labibah, Fauzan sama sekali belum pernah sholat berjamaah dengan istrinya. Ia sholat sendiri di mushola yang ada di sisi kamar tamu.
Labibah keluar dari kamarnya, setelah ia selesai bersiap untuk berangkat kerja. Tak lupa ia ke dapur untuk membawa bekal yang sudah di siapkan Mbak Sani. Bibah juga pamit dengan Mbak Sani, ia tidak peduli dengan Fauzan yang entah ke mana, karena di kamarnya sudah tidak ada lagi Fauzan.
Ia keluar, dan di teras depan ia melihat Fauzan yang sedang meminum kopi yang tadi ia buatkan, dan dititipkan pada Mbak Sani, sambil membaca surat kabar. Namun, Bibah tidak menyapa Fauzan, ia langsung nyelonong ke arah garasi untuk mengambil mobilnya.
“Ada suami, tapi dilewati begitu saja. Begitu yang namanya seorang istri? Mau berangkat kerja bukannya pamit, malah nyelonong saja!” tukas Fauzan.
“Oh iya lupa, ada suamiku ternyata, habis agak abu-abu, samar, jadi gak kelihatan!” jawab Labibah. “Aku pamit kerja ya suamiku sayang?” pungkasnya, lalu menunduk mencium tangan Fauzan.
“Iya, hati-hati,” jawabnya.
Labibah langsung pergi, rasanya mual memanggil sayang pada Fauzan. Ia terpaksa karena ada Mbak Sani yang sedang menyapu, jadi harus akting baik-baik saja, pun dengan Fauzan, ia tidak mau asisten kepercayaan istrinya itu tahu kalau dirinya semalam habis ribut sampai menyiksa istrinya.
^^^
Labibah sampai di rumah sakit, ia sedikit gugup berjalan menuju ke ruang kerjanya padahal masih sangat pagi. Ia tidak mau sampai dr. Fahri melihat dirinya, ia melihat dr. Fahri tadi baru saja sampai, dan baru turun dari mobilnya. Labibah berjalan sedikit berlari, dengan wajah menunduk. Ia langsung menekan tombol lift, untuk naik ke lantai dua, di mana ruangannya berada.
“Gugup sekali Nyonya Fauzan?” Ucapan bariton itu terdengar di belakang Labibah saat menunggu pintu lift terbuka. Bibah tahu itu suara siapa, itu suara dr. Fahri.
“Eh ... Do—dokter Fahri?” ucap Labibah gugup.
“Ini masih pagi sekali lho? Kenapa gugup? Atau takut dan mengindar dariku?” ucap Fahri.
“Eng—enggak gitu, Dok,” jawabnya bertambah gugup.
“Ayo masuk,” ajak Fahri saat pintu lift terbuka.
“Ah iya,” jawab Labibah.
Entah kenapa setiap dekat dengan Fahri, Labibah gugup seperti itu. Sedang baik-baik saja pun ia gugup, apalagi sekarang yang wajahnya sedang tidak baik-baik saja, karena ada luka lebam di pipinya?
“Kamu tumben pakai kaca mata yang frame nya agak tebal gitu dan warna hitam? Biasanya kamu suka yang gold, silver, atau yang bening?” tanya Fahri.
Sedetail itu Fahri memerhatikan Labibah, bahkan dari kacamata yang biasa Labibah gunakan untuk bekerja pun ia tahu. Memang sekarang Bibah memakai kacamata yang frame nya agak tebal dan warna hitam, karna bias bekas lebam yang di sudut matanya tidak terlihat. Untung dia punya kacamata dengan model frame yang seperti itu.
“Kamu baik-baik saja, Bibah?” tanya Fahri.
“Seperti yang dokter lihat, aku baik-baik saja,” jawab Labibah.
“Maaf, itu sudut matamu sepertinya sedikit biru? Apa sedang sakit, atau terkena benturan apa?” tanya Fahri.
“Eng—enggak? Gak sakit, dan gak kenapa-napa kok?” jawab Bibah dengan gugup.
“Oh, yakin tidak apa-apa?” tanya Fahri lagi.
“Ya tidak apa-apa,” jawab Labibah.
Pintu lift terbuka, lalu Labibah keluar dari lift, pun dengan Fahri, ia memang ingin mengikuti Labibah pagi ini.
“Permisi, Dok,” ucap Bibah dengan menunduk.
“Bibah, tunggu!” Ucapan Fahri menghentikan langkah Labibah.
“Ada apa, Dok?” tanya Bibah.
“Nanti jam istirahat aku ingin mengajak kamu makan siang, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan,” ucap Fahri.
“Maaf, jam istirahatku sedikit, dokter tahu sendiri, kan?” jawab Bibah. “Lagian aku sudah bawa bekal dari rumah,” imbuh Labibah dengan memperlihatkan bekalnya.
“Ini penting, aku akan tetap mengajakmu, biar nanti aku yang izin ke teman kamu, dan atasan kamu, kalau kamu istirahat agak lama,” ucap Fahri.
“Maaf dok, aku tetap tidak bisa, permisi,” ucap Bibah sopan.
Fahri tahu, Bibah menghindari dia karena di wajahnya ada bekas luka, apalagi semalam Fauzan bilang kalau Fauzan baru saja menamparnya, karena reflek saat Labibah bilang kalau Syafira hamil dengan laki-laki lain.
“Seujung kuku, aku tidak akan rela Fauzan memperlakukanmu seperti itu, Bibah. Kalau aku tahu kamu adalah perempuan yang dijodohkan dengan Fauzan, aku akan mencegah pernikahanmu. Aku tidak akan rela, jika ada luka ditubuhmu karena Fauzan! Aku tidak rela melihat dia terluka, Tuhan, karena aku mencintainya.” Fahri berkata lirih dengan mengepalkan tangannya, dengan mata yang masih tertuju pada Labibah yang sedang berjalan menuju ruang kerjanya.
Bibah tahu, pasti Fahri ingin tahu soal dirinya, dan pasti Fahri tahu kalau dia habis dikasari Fauzan. Kalau tidak tahu, tidak mungkin Fahri akan jeli sampai melihat sudut mata Bibah yang sedikit membiru.
“Aku harus menghindari dr. Fahri. Iya, harus. Aku tidak mau dia tahu sampai dalam soal rumah tanggaku,” gumam Labibah.