Napas Labibah sedikit terengah-engah, seperti habis berlarian. Gladis yang sudah berangkat sepuluh menit sebelum Bibah, ia mengernyitkan dahinya melihat Labibah seperti baru saja mengikuti lomba lari.
“Kenpa Bibah? Kamu habis ikut lomba lari marathon?” tanya Gladis.
“Huh ....” Bibah membuang napasnya dengan kasar. “Aku takut terlambat saja, jadi aku sedikit lari tadi,” jawabnya dengan napas yang belum beraturan.
Labibah menaruh tasnya di atas meja, lalu ia reflek membuka masker penutup wajahnya di depan Gladis, karena ia ingin minum, ia benar-benar kehausan sekali, karena harus berjalan cepat menghindari Fahri. Labibah duduk lalu meneguk air mineral yang ia bawa dari rumah. Mata Gladis seketika menajam melihat pipi dan sudut bibir Labibah lebam dan membiru.
“Bibah ... kamu wajahnya kok lebam gitu? Kok biru? Bibah, kenapa?” tanya Gladis iba, dan ia tahu itu adalah bekas sebuah tamparan.
“Eh masa sih?” tanya Bibah gugup dan langsung menutup wajahnya lagi dengan masker.
“Stop Bibah!” Dengan tatapan nanar, dan mata berkaca-kaca Gladis menghentikan tangan Bibah yang mau menutup wajahnya lagi.
“Bibah apa suamimu yang melakukan ini?” Tanya Galdis dengan suara bergetar, karena ia mengingat sesuatu. “Bibah, katakan padaku, apa suamimu yang melakukan ini?”
“Sudah aku tidak apa-apa. Bukan, bukan Mas Fauzan yang melakukan ini, ini bukan karena apa-apa kok,” jawab Labibah gugup.
“Bibah, kalau suami kamu yang melakukan, please ... laporkan tindakan kekerasan itu,” ucap Gladis.
“Ih lagian masa suamiku gitu?” Ucap Bibah dengan langsung beranjak dari tempat duduknya, dan menyibukan diri.
Gladis yakin itu suami Bibah yang melakukanya, tapi Gladis tidak mau lagi tanya terlalu dalam, karena itu adalah privasi Bibah dengan suaminya. Galdis gak habis pikir saja, masa iya suami Bibah melakukan itu? Padahal baru kemarin Bibah menikah, mungkin baru satu minggu.
“Dis, jangan bilang siapa-siapa aku begini, ya?” ucap Bibah lirih.
“I—iya, Bibah,” jawabnya terbata.
“Bener ya? Jangan ember kamu!” Labibah menegaskan lagi.
“Iya Bibah, iya ....” Jawab Gladis meyakinkan Bibah.
Gladis tidak mau penasaran lagi dengan luka lebam yang ada di pipi dan sudut bibir Labibah. Biar itu menjadi urusan Labibah, yang penting Gladis sudah yakin dengan dirinya sendiri, kalau luka lebam di sudut bibir dan pipi Bibah itu karena bekas sebuah tamparan yang sangat keras.
Bibah masih ingat ajakan Fahri tadi untuk makan siang bersama. Mungkin kalau tidak ada bekas tamparan dari Fauzan semalam, Bibah mau saja diajak makan siang, tapi bagaimana bisa Labibah mau makan siang dengan Fahri, yang ada Fahri nantinya semakin penasaran dengan kehidupan rumah tangga dirinya kalau melihat bekas tamparan Fauzan semalam.
^^^
Seperti yang Fahri bilang tadi pagi pada Bibah, ia akan mengajak Bibah makan siang. Sekuat apa pun usaha Bibah untuk menghindari Fahri, tetap saja Bibah tidak bisa, karena Fahri sudah berada di ruangan Bibah tiga puluh menit sebelum jam istirahat Bibah. Bibah membereskan pekerjaannya lebih dulu, karena ini sudah giliran dia untuk istirahat.
“Mas Anton, tidak apa-apa ya kalau Mas Anton nanti gantiin Bibah dulu sebentar, aku mau ajak dia sebentar, ada hal yang harus saya bicarakan dengan Bibah,” ucap Fahri.
“Siap Pak Dokter, tidak masalah,” jawab Anton. Jelas saja Anton mau, toh Fahri sudah memberikan uang jaminan padanya.
“Maaf Dok, saya tidak bisa,” ucap Bibah.
“Kita harus bicara Bibah, ini penting, ayo kita keluar sebentar,” ajak Fahri.
“Tapi Dok, ini menyalahi aturan, kalau mau bicara di luar dari pekerjaan saya, saya tidak bisa,” tolak Labibah.
“Itu makanya saya minta Anton gantiin kamu dulu sebentar, tiga puluh menit atau satu jam. Kita bicara di luar, tidak bicara di rumah sakit kok,” ucap Fahri.
Bibah tidak tahu lagi harus dengan cara apa menolak Fahri, dia sudah benar-benar menyerah untuk menolak Fahri. Akhirnya ia memenuhi ajakan Fahri untuk makan siang. Bibah yakin, Fahri mau membahas soal Fauzan, apalagi semalam Fauzan dari rumah Fahri.
“Ya sudah, kita bicara di cafetaria saja, tidak usah keluar dari rumah sakit,” ucap Bibah.
“Ya sudah terserah kamu, Bibah,” jawab Fahri.
Bibah berjalan di sisi Fahri menuju ke Cafetaria. Masih belum ada obrolan di antara mereka. Bibah masih terdiam, dan Fahri pun bingung mau bicara dengan Labibah dari mana dulu. Ia bingung mau menanyakan soal Fauzan yang katanya semalam menampar Labibah. Kalau ia tanya, jelas itu sudah di luar batas obrolan, karena itu adalah masalah pribadi Bibah dengan suaminya. Fahri menepiskan pertanyaan itu dulu. Ia berpikir, ia harus mengobrol yang lain saja, tidak membahas soal apa yang Fauzan lakukan semalam.
“Bibah,” panggil Fahri.
“Ya, gimana, Dok?” sahut Bibah.
“Kamu masih suka menulis puisi?” tanya Fahri.
“Itu hobi yang tidak bisa aku hindari, Dok,” jawab Bibah.
“Kamu gak mau nulis puisi lagi di blog kamu?”
“Sepertinya belum ingin lagi, Dok. Lebih enak nulis di buku saja,” jawab Bibah. “Puisi dokter kemarin juga bagus,” puji Labibah.
“Kamu yang menyebar virus, makanya aku tertular,” jawab Fahri.
“Virus?” Labibah mengdongakkan wajahnya dan menatap Fahri yang mengulas senyum sambil menatapnya.
“Ya, Virus nulis puisi,” jawab Fahri.
“Dokter bisa saja,” ucap Bibah.
“Bibah, hari ini kamu menulis puisi?” tanya Fahri.
“Enggak, masih belum pengin nulis saja, tadi kan repot sekali pekerjaanku, makanya aku gak enak sama Mas Anton, kalau aku menerima ajakan dokter,” jawab Bibah.
“Aku heran saja sama kamu, Bibah, demi sahabat kamu, kamu rela kehilangan karya-karya terbesarmu, dan itu hanya untuk mendekati laki-laki seperti Fauzan,” ucap Fahri.
“Sudahlah gak usah bahas itu. Lagian semua sudah berlalu,” jawab Bibah.
“Boleh aku minta nomor ponsel kamu, Bibah?”
“Untuk apa? Kalau mau bicara temui aku saja di ruanganku,” jawab Bibah.
“Ya supaya aku bisa tahu kamu baik-baik saja atau tidak,” jawab Fahri.
“Aku baik-baik saja kan buktinya?” ucap Bibah.
“Supaya kalau di rumah bisa meminta dibuatkan puisi sama kamu,” ucap Fahri.
“Dokter saja bisa bikin puisi, masa minta dibuatkan aku?” ucap Bibah.
“Ya kan biar bisa bertukar puisi,” alasan Fahri.
Fahri padahal ingin sekali setiap hari tahu keadaan Bibah, karena dia yakin Bibah setiap hari di rumah tidak baik-baik saja, apalago semalam mendengar Fauzan menamparnya, dan masih terlihat sedikit membiru sudut mata Labibah sampai sekarang. Tapi terlihat samar, kalau orang yang melihatnya hanya sepintas saja.
Mereka sudah sampai di cafertaria. Fahri memesan minuman untuk dirinya dan Labibah. Meski Bibah menolak, Fahri tetap memesankan teh hangat untuk Bibah.
“Dok, aku kan bilang aku gak pesan apa-apa,” ucap Bibah saat pengantar minuman mengantarkan pesanan mereka.
“Masa aku membiarkan kamu tidak makan dan minum. Kalau kamu memilih akan memakan bekal kamu nanti, ya sudah tidak masalah, tapi aku tidak tega kamu di sini hanya menemaniku ngobrol tanpa aku pesankan minum,” jelas Fahri. “Diminum, Bibah.”
“I—iya nanti,” jawabnya gugup.
Bagaimana bisa Bibah membuka maskernya, yang ada Fahri akan melihat lukanya, meski sudah lumayan samar yang ada di pipi dan sudut matanya, tapi di sudut bibirnya masih terlihat jelas, apalagi sampai berdarah, tentunya meninggalkan bekas luka.
“Ih masa dilihatin saja tehnya, udah aku pesankan lho? Ayo diminum, gak aku kasih jampi-jampi kok tenang saja,” ucap Fahri.
“Iya nanti aku minum, Dok,” ucap Bibah.
Fahri yakin ada bekas tamparan di wajah Bibah, makanya Bibah tidak ingin melepaskan maskernya.
“Aku yakin tamparan Fauzan semalam meninggalkan bekas di pipi Bibah,” gumam Fahri.
Bibah semakin tidak enak dengan Fahri, ia akhirnya terpaksa melepas maskernya, lalu meminum teh hangat yang Fahri pesankan tadi. Ia juga sudah ingin menikmati minuman itu selagi masih hangat. Bibah meminum teh yang Fahri pesankan tadi. Benar pipi Bibah terlihat masih membiru, dan sudut bibirnya juga masih sangat terlihat membiru.
“Astaga ... Fauzan! Kamu tega sekali membuat orang yang aku cintai tersakiti seperti itu. Kamu bukan hanya melukai hatinya, tapi fisiknya juga, Fauzan! Aku tidak akan membiarkan itu terjadi lagi pada Bibah. Meski itu bukan urusanku, setidaknya aku tahu apa sebab Fauzan menampar Bibah. Hanya karena Syafira orang yang sangat kamu cintai, dan jelas dia sudah berkhianat, kamu sampai hati melukai Bibah seperti ini. Aku jamin kamu akan menyesal nantinya, Fauzan!” Fahri marah sekali melihat keadaan Labibah, ia mengepalkan tangannya, lalu memalingkan wajahnya dari Bibah, supaya Bibah tidak tahu kalau dirinya melihat bekas tamparan Fauzan semalam.
Bibah meletakkan cangkirnya lagi, lalu ia akan memakai maskernya lagi, sebelum Fahri melihatnya, tapi Fahri mencegah tangan Bibah yang akan memakai maskernya.
“Semalam Fauzan bilang sudah menampar kamu, karena kamu bilang Syafira hamil. Benar seperti itu, Bibah? Dan, sekarang aku lihat pipi kamu lebam, sudut bibir kamu juga terluka, sudut matamu juga membiru, apa itu perbuatan Fauzan semalam?” tanya Fahri dengan tatapan iba.
“Ma—maaf, ini bukan urusan dokter,” ucap Bibah dengan menepis tangan Fahri. “Dokter juga sudah lancang sekali memegang tangan wanita yang bukan muhrimnya!”
Fahri berdecak kesal. “Ini memang bukan urusan aku, Bibah! Tapi semalam suami kamu yang bilang sama aku, kamu tahu aku tidak bisa tidur memikirkan keadaan kamu! Aku takut kamu disiksa lagi sama Fauzan, dia pulang dalam keadaan marah soalnya!” ucap Fahri dengan napas memburu.
“Kalau dia menyiksa aku kenapa? Dia suami aku, kan?” ucap Bibah.
“Pernikahan kamu sudah tidak baik-baik saja, Bibah! Bicarakan semua ini dengan orang tua kamu dan orang tua Fauzan. Karena ini sudah melampaui batas, sudah masuk dalam kekerasan rumah tangga!” ujar Fahri.
Memang benar apa yang dikatakan Fahri, ini sudah termasuk KDRT, tapi Bibah tidak tahu harus bagaimana. Kalau dia bilang dengan orang tuanya atau orang tua Fauzan, itu akan menjadi masalah yang semakin rumit.
“Sudah cukup, Dok. Jangan mengurusi rumah tanggaku, memang rumah tanggaku seperti ini, hanya karena satu nama wanita, yaitu Syafira. Mungkin kalau aku sudah menemukan Fira, dan Fira sudah jujur, Mas Fauzan baru sadar,” ucap Bibah. “Aku juga sedang mencari cara supaya aku bisa lepas dari Mas Fauzan. Aku akan mencari Fira, biar dia menjelaskan semuanya, setelah itu selesai, aku akan meminta cerai dari Mas Fauzan, tapi aku yakin Mas Fauzan yang akan menyerah, ia yang akan lebih dulu mengembalikan aku pada orang tuaku,” ucap Bibah dengan tatapan kosong.
Ingin rasanya Fahri mendekap tubuh Bibah, ingin rasanya ia menangis melihat keadaan Bibah, wanita yang sangat ia cintai.
“Aku minta tolong dengan dokter. Kita hanya sebatas teman, aku istri temanmu, jadi tolong ini masalah keluargaku, kalau dokter tahu apa yang dilakukan Mas Fauzan, dokter tidak usah lagi seperti ini, lebih baik kita menjaga jarak, karena aku takut akan menimbulkan fitnah,” ucap Bibah.
“Boleh aku minta nomor kamu? Itu adalah syaratnya jika kamu tidak ingin aku temui lagi,” pinta Fahri setengah memaksa.
“Kemarikan ponsel dokter.” Fahri memberikan ponselnya, lalu Bibah menuliskan nomornya.
“Disave saja, dan setelah ini aku mohon jangan temui aku lagi, boleh saling menyapa, tapi jangan seperti ini lagi, aku tidak mau ada omongan yang tidak baik. Aku istri orang, aku harus bisa menjaga marwah seorang istri, terima kasih karena Dokter sudah peduli dengan aku,” jelas Bibah, lalu dia meninggalkan Fahri.
Fahri menatap Bibah yang berjalan meninggalkannya. Lalu ia menyimpan nomor Bibah. Setidaknya ia bisa tahu kabar Bibah dengan cara ia menghubungi Bibah, dan dengan cara ia melihat Bibah dari kejauhan.
“Aku tidak akan membiarkan kamu terus seperti ini, Bibah,” ucap Fahri.