Help Me 2 - Hantu Toilet

2418 Kata
“Kamu siapa?” tanya Clarisa heran saat melihat pemuda berwajah asia menatap cukup dalam dan lama di depan pintu rumah mereka sepagi ini. “Hey! Jawab! Punya mulut nggak, sih?” salak Clarisa. Pemuda itu berdeham. “Bisa saya bertemu dengan tuan, Bernand?” jawabnya acuh. Tak mempedulikan ucapan marah Clarisa sebelumnya. “Eh, bisa bahasa Indonesia. Orang Indonesia?” Pemuda itu hanya mengangguk. “Bernand nggak tinggal di sini. Kamu siapanya?” sahut Naina dari arah belakang Clarisa. Pemuda itu tertegun sejenak saat menatap ke arah mereka berdua sebelum berdeham lagi dan mengatakan bahwa, “Nama saya Gatot. Saya ke sini mau mengantarkan koper yang tertukar,” unjuknya pada koper yang ia bawa di sebelah kaki kanannya. “Ah, koperku!” Clarisa langsung berseru riang. Gadis itu sekonyong-konyong duduk di lantai dan memeluk koper berisi barang-barangnya. Membuat Gatot langsung menyingkir seperti orang yang takut bersentuhan. Naina sempet mengernyit melihat sikap pemuda yang ternyata bisa berbahasa Indonesia dengan baik itu sebelum mengabaikannya. Gatot yang merasa sempat diamati langsung menoleh ke arah gadis yang masih berdiri di samping pintu itu. “Apa boleh saya ambil koper saya sekarang?” ucapnya sopan. Clarisa mengecek lebih dulu kopernya sebelum mengangguk pada Naina dan mengatakan kalau, “Ini koperku, Nai. Masih dikunci. Aman,” ungkapnya yakin. Naina balas mengangguk. “Tunggu di sini kalau begitu,” katanya menatap Gatot tanpa berniat mengizinkan pemuda itu masuk ke dalam rumah. Clarisa yang tak peduli dengan keberadaan Gatot terus saja memeluk koper berwarna biru dongker itu sambil bercicit apa saja. “Gadis gila!” umpat Gatot dalam hatinya. Tiba-tiba saja Clarisa langsung mendongak dan menatap tajam. Ia berdiri menghampiri pemuda yang kini terkaget dan perlahan mundur serta menjauh darinya. “Bilang apa lo?” Gatot tersentak dalam hatinya. “S-saya tidak bilang apa-apa,” gagapnya walaupun sudah mencoba tenang. “Nggak usah belaga begok lo! Gue denger lo ngumpatin gue gila barusan. Ngaku lo?” salak Clarisa dengan wajah galak yang justru tampak lucu di depan Gatot. “Kenapa gadis ini bisa tahu?” batin Gatot sambil menatap ngeri Clarisa yang terus memojokkannya. Clarisa kemudian mendengkus dan berhenti memojokkan Gatot lalu melipat kedua tangan di dadanya dan berkata, “Kenapa? Heran, ya, gue bisa tahu apa yang lo omongin dalam hati? Jangan suka ngatain orang seenaknya meski di dalam hati doang,” galaknya masih menatap tajam. “S-sa–“ Kehadiran Naina yang membawakan kopernya pun menyelamatkan Gatot yang kemudian malah spontan mendorong Clarisa hingga limbung ke belakang. “Ahhhhh!” “Clarisa!” teriak Naina kaget. Tangan Gatot reflek terulur untuk meraih Clarisa. Dan di saat itulah, koper Clarisa yang berada tak jauh dari gadis itu bergeser cepat untuk menahan panggul gadis itu dengan sendirinya. “Alhamdulillah. Hati-hati dong, Clarisa,” ujar Naina lalu mengulur tangan pada sang sahabat. “Dia nih!” omelnya masih menatap gatot Galak kemudian, Tap …. Splash …. Naina tergugu membeku sambil memegangi sebelah tangan Clarisa. Sebuah adegan masa lalu seketika melintas di kepalanya. Gatot yang juga sedang memegangi sebelah tangan Clarisa yang lain langsung melepaskannya dengan kasar karena merasa tersetrum sesuatu. “Aduh!” Naina tersentak lalu membuang napas kasar sebelum menatap Gatot dengan seraut rumit. Sementara Clarisa yang kembali dibuat kesal oleh Gatot langsung mencecar pemuda itu dengan ocehannya. “Heh! Nggak sopan banget sih, lo? Bukannya terima kasih kopernya dijagain malah dorong gue. Emang, ya, cowok nggak ada ahlak banget.” Gatot tak mempedulikan omelan Clarisa. Pemuda itu memilih mengecek koper miliknya dan memastikan apakah kuncinya dibuka atau tidak. “Terima kasih sudah mengembalikan koper ini. Permisi.” “Eh tunggu!” hadang Clarisa dan merentangkan kedua tangannya lebar-lebar di hadapan Gatot. “Ada apa lagi?” Tatapan Clarisa menyelidik wajah Gatot yang sedikit tersembunyi di balik topi hitamnya. “ELO?!” “Ada apa?” balas Gatot tenang. “Elo yang nabrak gue di garbarata kemaren ‘kan? Iya kan?” Clarisa terus mencari-cari wajah Gatot yang disembunyikan di bawah topinya. “Bener. Elo orangnya.” Clarisa berseru yakin dan senang karena berhasil menemukan orang yang menyenggolnya saat turun dari pesawat kemarin. Gatot mengernyitkan alis. Mencoba mengingat-ngingat apa yang dituduhkan gadis itu padanya. “Wah kurang ajar banget lo, ya?! Dua kali lo bikin gue jatoh nggak ada rasa bersalah. Sini lo!” amuk Clarisa lebih dulu sebelum Gatot sempat menjawab. Gadis itu melepaskan sandal bulu rumahan yang dipakai dan memukulkannya pada pemuda itu. “Aduh!” “Clarisa!” “Hey! Berhenti!” erang Gatot sambil menyilangkan tangan menghalangi wajahnya. Tapi posisi bokongnya sekarang malah jadi tidak aman. “Enak aja nyuruh berhenti! Ini balas dendam gue. Udah bikin gue jatuh di garbarta, bikin koper gue ketuker sekarang lo juga bikin gue hampir jatuh lagi. Dasar perkedel kentang!” “Aduh! Berhenti!” Naina yang hendak melerai urung karena jadi ingin tertawa mendengar u*****n lucu sang sahabat sambil melihat keduanya berkejaran. “Hey! Tolong suruh temanmu berhenti.” Gatot memcoba meminta bantuan. Naina mengendikkan bahu. Merasa tak perlu ikut campur. Toh, Clarisa hanya memukulkan sandal santai. Itu pun bukan ke area berbahaya seperti wajah dan kepala. Pikirnya. Clarisa memukul-mukulkan terus menerus sandalnya ke p****t Gatot sambil mengejar pemuda itu, seperti ibu yang sedang marah-marah dan mengejar anaknya yang bandel agar diberi bisa hukuman. “Sini lo! Ngeselin banget jadi orang. Nyokap bokap lo nggak ngajarin di rumah apa kalau bikin salah itu harus–“ Dukkk …. “Aduh!” Gatot berhenti menghindar. Membuat Clarisa menubruk dadanya yang bidang. Clarisa sampai hampir jatuh lagi saat tangan Gatot justru menarik kedua pergelangan tangan Clarisa sambil menatapnya dengan napas menderu-deru. Clarisa sempat tertegun memandangi wajah Gatot yang menurutnya lumayan tampan sebelum gadis itu sadar dan kembali kesal lantas membenturkan kepalanya ke wajah Gatot hingga membuat hidung pemuda itu terluka. “Ahhhh!” “Rasain itu!” “Clarisa! Kamu kok main kasar, sih? Kasian itu berdarah,” omel Naina hendak membantu namun Gatot juga menepis bantuan gadis itu dengan kasar. “Tidak perlu. Tidak usah sentuh saya,” ketusnya. “Heh! Masih nggak sadar juga ya, lo?! Mau ditambahin, hah?” salak Clarisa dibalas tatapan tajam Gatot. “Clarisa udah!” Naina berusaha menahan tubuh sahabatnya yang kembali mengacungkan sandal bulunya ke udara. “Cewek bar-bar!” “Apa lo bilang?” “Clarisa udah! Malu ih nanti tetangga denger kita ribut.” “Ada apa ini?” Bernand dan seorang pria lainnya berjalan menghampiri teras rumah mereka. “Mas Ber, tangkep ini cowok! Dia nyelundupin obat terlarang di kopernya,” fitnah Clarisa spontan. “Clarisa!” “Ssttt!” gadis itu melotot sambil menyilangkan jari telunjuk di bibirnya pada Naina seraya memberi kode. Bernand langsung menghampiri Gatot, hendak memeriksa pemuda itu dengan gestur baik-baik. Sayangnya, Gatot yang terlanjur dibuat kesal sekaligus panik karena takut barang pribadinya benar-benar diperiksa langsung menepis dan meraih kopernya yang tak terjangkau dengan sebuah gerakan yang cepat. Naina dan Clarisa langsung dibuat terkejut dengan roda koper yang seolah melesat ke arah sang pemiliknya dengan cepat. “Nai, dia–“ “Iya, Clarisa,” sahut Naina juga tak kalah terkejut. “Hey! Jangan pergi kau!” erang Bernand hendak menarik baju Gatot namun gagal. Gatot berhasil menghindar dengan gerakan super cepat seperti kedipan mata. Pria yang datang bersama Bernand ikut menghadang Gatot dan hendak menarik topi yang menutupi sebagian wajanya. Tapi Gatot kembali berkelit hingga perkelahian di antara keduanya tak terelakan lagi. Tanpa perlawanan yang pasti, Gatot hanya menghindar hingga Bernand dan rekannya malah bertabrakan dan jatuh di rumput halaman. Gatot dengan mudahnya pergi, membawa serta koper dan menyetop taksi yang kebetulan melintas. “Nggak usah dikejar!” seru Naina menghentikan Bernand dan rekannya. “Kenapa?” Naina kemudian mengacungkan sebuah kunci yang jatuh di rerumputan rumah dan tersenyum miring ke arah mereka berdua. “Dia pasti kembali,” jawabnya yakin. Clarisa langsung merampas kunci di tangan Naina dan ikut menyeringai lalu berkata, “Siap-siap lo, Kentang. Gue bikin perkedel beneran. Dasar cowok nggak berahklaqul karimah.” Lalu gadis itu terbahak seperti orang gila. Naina geleng kepala lalu mengajak dua pengawalnya yang kebingungan masuk ke dalam rumah. Mereka sarapan dan bersiap pergi untuk mencari barang-barang yang dibutuhkan sambil membeli bahan makanan di supermarket. “Kamu yakin si Gatot kaca mobil itu bakal balik?” tanya Clarisa sambil mendorong troli belanjaan di salah satu supermarket di kota mereka tinggal. “Nanti aku tunjukkin sesuatu sama kamu lewat kunci itu.” Clarisa manggut-manggut saja lalu keduanya mengitari hampir seluruh lorong di antara rak-rak supermarket hingga isi troli mereka menumpuk. “Aku ke toilet dulu, ya, Nai!” “Aku tunggu depan toko roti itu, ya. Biar nggak kesasar,” unjuknya ke sebuah stand roti yang berada di dalam kawasan supermarket dan tak jauh dari area kasir. Clarisa mengangguk lalu berjalan menuju toilet sesuai petunjuk arah yang terpampang. “Huh! Kenapa, sih, orang bule nggak mau cebok pake air? Untung bawa tisu basah. Kan iyuh banget cebok nggak pake air,” dumal Clarisa lalu keluar dari bilik toilet. “Eh!” Clarisa memekik karena hampir saja bertabrakan dengan seseorang. “Verzeihung–maaf,” ucap seorang gadis dengan rambut blonde di kepang usai Clarisa mencuci tangannya di wastafel. “Nggak masalah, Nona,” jawab Clarisa dengan bahasa Jerman yang cukup baik. Gadis itu tersenyum lalu meraih tisu untuk mengeringkan tangannya yang basah sebelum meninggalkan toilet. “Tunggu!” seru gadis blonde berkepang itu maju dua langkah ke depan Clarisa. “Ja –Iya?” sahut Clarisa setelah balik badan. “Kamu bisa melihatku?” Kening Clarisa langsung terlipat. “Apa maksudmu, Nona?” “Kau sungguh bisa melihatku?” ulang gadis berambut blonde dan dikepang itu. “Tentu saja. Kau kan–“ Clarisa baru menyadari sesuatu. Pantulan bayangan gadis itu di cermin wastafel tidak ada sama sekali. Dan itu artinya gadis yang sedang berdiri di hadapannya sekarang ini bukanlah seorang manusia. Kaki Clarisa mendadak seperti disemen. Tak bisa bergerak. Tangan gadis itu reflek melepas tas selempang yang menyilang di tubuhnya dengan gugup lalu mengacungkannya ke depan sebagai alat pertahanan. “K-kamu … kamu mau apa?” Gadis blonde itu menyeringai. Membuat Clarisa gugup setengah mati sambil susah payah menelan ludah. Jangankan berusaha pergi, berteriak pun Clarisa kesulitan. Bukan hanya kakinya, tapi seluruh tubuh Clarisa kini rasanya seperti jelly. Ingin ambruk ke lantai. “Gimana ini ya, Allah? Papih, Mommy Lala, Daddy Janu, Naina, tolong!” jerit Clarisa di dalam hati sambil pelan-pelan mundur. Meski sering berurusan dengan arwah atau hantu, Clarisa masih belum terbiasa berhadapan langsung dalam situasi mendadak seperti ini mengingat ia masih tak suka dengan segala hal yang berbau gaib. “Aduh! Ampun Nona hantu bule. Aku masih gadis. Jangan dulu diajak ke alam baka. Please! Aku belum punya pacar. Please! Aku belum pernah valentine-an sama cowok,” cicitnya panik menggunakan bahasa Indonesia. Langkah hantu gadis blonde itu sempat terhenti sesaat, heran dengan ucapan Clarisa sebelum dirinya kembali menyeringai dan mendekati gadis yang semakin mundur dan akan membentur tembok kamar mandi. “Aduh, Nai! Naina! Kok nggak denger, sih, aku minta tolong?” batin Clarisa lagi-lagi menjerit. Clarisa lantas memberanikan diri dan menguatkan mental untuk menghadapi sosok itu sebelum menjerit kencang dan berlari ke luar untuk menyelamatkan diri. Tapi, pintu yang seharunya ditarik ke dalam malah didorong dan membuat Clarisa tidak bisa keluar jadinya. “Aduh, kok nggak bisa dibuka, sih?” omelnya panik. “Tarik pintunya. Bukan didorong. Gadis bodoh!” maki si hantu bule itu lalu terkekeh. Kekehan yang membuat bulu kuduk Clarisa malah berbaris rapih. “Ah, iya. Aku lupa. Terima kasih.” Clarisa masih sempat membalas bahkan mengucapkan terima kasih karena sudah diberi tahu. Membuat Hantu gadis bule itu terbahak semakin kencang. Tawa yang membuat Clarisa juga semakin bergidik ngeri. “Astagfirullohaladzim. Bismillahirahmanirrahim, Ayat Kursi! Eh, Qulhu. Eh, Kul audzubirobbinas. Malikinas. Ila … Ila … duh, Ila apa? Kok mendadak jadi begok gini, sih? Ah! Kabur dulu!” dan, Brakkk! “Ah, Papih … Daddy Janu … tolong!” teriaknya sambil berlari lalu kembali meneriakkan apapun yang melintas di kepalanya. Naina yang sebenarnya sempat mendengar suara batin Clarisa namun tanggung karena hitungan belanjan di kasir belum selesai langsung menitipkan troli begitu selesai membayar. Naina mencari keberadaan Clarisa ke arah toile. Namun belum sempat ia berbelok ke arah toilet, mereka sudah lebih dulu bertemu dan bertabrakan. “Aduh!” “Clarisa!” Beruntung keduanya tak sampai jatuh. “Kamu kenapa, sih? Kok panik gitu?” imbuh Naina. “Gawat, Nai! Hantu. Ada hantu di toilet dan tadi aku dikejar hantu itu.” Claris terus bicara sambil mecengkram lengan Naina kuat-kuat. “Mana? Kamu liat hantu di mana? Masa siang gini ada hantu?” Naina meragu meski kepalanya tetap mencari-cari. “Benaran, Nai. Aku nggak bohong. Tadi ada mbak hantu bule. Cantik lagi. Pake dres putih gitu sama kardigan abu. Rambutnya pirang dikepang. Tapi biarpun cantik kan tetep han–ah … Itu dia, Nai!” Sosok yang dibicarakan Clarisa tersebut mendekat sambil membawa tas selempang Clarisa yang jatuh dan ditinggalkannya begitu saja di dalam toilet. Sementara Clarisa sendiri langsung bersembunyi di belakang Naina. Clarisa masih merasa ketakutan sementara sang sahabat terus menatap ke arah sosok yang kini hanya berjarak lima langkah dari mereka. Sosok tersebut lantas mengulur tangan sambil berkata, “Maaf. Apa ini tas milik temanmu?” tanyanya dalam bahasa Jerman. Naina menatap dalam wajah gadis bule tersebut. Rambut dan tatanannya persis seperti yang dikatakan Clarisa. Namun pakaiannya berbeda dengan apa yang dijelaskan sang sahabat. Tapi, bagaimana bisa dia adalah hantu sedang kakinya jelas menapak di tanah, memakai sepatu, bahkan ada bayangannya. Batin Naina. “Kamu yakin dia hantu?” bisik Naina dengan bahasa Indonesia sambil menoleh sedikit ke belakang. “Beneran, Nai. Pantulannya di cermin wastafel tuh tadi nggak ada sama sekali. Aku nggak bohong,” cicit Clarisa masih takut-takut dan bersembunyi di belakang Naina. “Kamu liat lagi, deh. Pantulan dia di kaca toko keliatan, kok. Bayangannya juga ada. Kakinya nginjek lantai. Masa hantu?” “Masa, sih?” “Beneran. Aku nggak bohong. Liat sendiri dulu cepet!” desak Naina sambil menarik Clarisa agar berhadapan dengan gadis bule yang kini tersenyum sambil terus mengulur tangan dan memegang tas selempangnya yang jatuh. Clarisa membuka kedua kelopak matanya perlahan. Membukanya lebar-lebar sebelum mengamatinya dengan benar dan mendetail sosok yang dilihatnya sebagai hantu toilet meski tanganya juga mulai merih tas selempang yang diulurkan padanya dengan gerakan takut-takut. Tatapannya Clarisa memindai tubuh gadis tersebut dari atas ke bawah lalu kembali ke atas dengan lancangnya. Clarisa bahkan ragu-ragu mendekat lalu menusuk-nusuk lengan gadis itu dengan jari telunjuknya dan berseru, “Eh, beneran, Nai. Bukan hantu. Tapi kok mirip, ya? Terus, yang tadi di toilet itu siapa?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN