Help Me 3 - Hantu Kurang Ajar!

2613 Kata
“Terus, yang tadi di toilet itu siapa?” lirih Clarisa. “Maafkan temanku. Dia salah paham sepertinya,“ ucap Naina mewakili atas sikap tak sopan Clarisa pada sosok gadis bule yang dikira hantu tersebut. Gadis itu tersenyum ramah dan menjawab, “Tidak apa. Ini tasnya. Periksa lagi saja apa ada yang hilang. Aku menemukannya di toilet setelah kamu berlari dengan buru-buru tadi,” terangnya menatap Clarisa. Clarisa memeriksa isi tasnya kemudian mengangguk pada Naina. “Nggak ada yang ilang. Lengkap, Nai.” “Danke schön. Terima kasih,” imbuh Naina sambil mengulur jabat tangan dan memperkenalkan diri. “Aku Naina. Dan ini Clarisa temanku. Kami baru datang dari Indonesia.” “Ah, begitu. Selamat datang. Aku Emelie,” balasnya meraih jabat tangan Naina sementara Clarisa masih tampak ragu. “Dingin banget tangannya, Nai,” bisik Clarisa langsung dibalas desisan gemas Naina. “Ini musim dingin, Clarisa.” “Iya. Iya,” rungutnya. “Kalau begitu kami pamit dulu. Terima kasih sudah mengembalikan tas temanku,” tatap Naina sekaligus pamit. “Gerne geschehen. Sama-sama. Sekali lagi, kuucapkan selamat datang di Jerman.“ Lalu keduanya pun bule itu mendesah sebelum berbalik dan menghampiri sosok yang sedari tadi bersembunyi di lorong sepi toilet. “Sudah kukatakan bukan?! Ggadis itu bisa melihatku, Emma,” ucapnya pada sang kembaran yang memperkenalkan diri sebagai Emelie tadi. “Sudahlah. Mereka itu orang asing, Emelie. Jangan melakukan hal aneh-aneh pada orang asing.” Emilia mengikuti langkah kembarannya sambil terus bicara. “Mungkin ini satu-satunya jalan, Emma. Berbulan-bulan kita tidak bisa menemukan orang yang bisa melihat arwahku dan membantu kita. Bahkan orangtua kita saja tidak mempercayai ucapanmu. Kau juga dianggap tidak waras. Memangnya kau mau seumur hidup menjadi aku?” “Dan kalaupun semua terungkap, setelah itu aku pasti akan mati. Karena ini tubuhmu. Dan pastinya kau yang berhak memilikinya, Emelie.” “Lalu aku harus bagaimana? Setidaknya kita harus mencoba. Aku tidak masalah kalau harus mati dan memberikan tubuhku padamu asal kau mau membantuku ke surga dengan cara yang benar. Aku tidak mau selamanya gentayangan seperti ini, Emma? Nei! Tidak! Ich mag nicht, Emma! Aku tidak suka suka, Emma!” teriaknya kesal. Langkah Emma terhenti dan berbalik menatap kembarannya yang sudah terlihat berkaca-kaca. Kedua gadis kembar identik yang sudah berbeda dunia itu saling menatap dalam untuk beberapa jenak sebelum Emma akhirnya mengangguk dan berkata, “Baiklah. Kita coba. Tapi bagaimana kita tahu mereka tinggal di mana?” Emelie menyeringai lalu mengendikkan dagu ke arah tas yang dikenakan Emma. “Di sana ada petunjuk. Periksalah,” ucapnya dengan raut sumringah. Emma bergegas memeriksa dalam tasnya dan gadis itu hanya bisa mendesah pasrah begitu melihat ponselnya yang ada di dalam tas bukanlah miliknya. “Kau ini!” “Ini keberuntungan kita, Emma. Untung saja ponselnya sama dengan ponselmu. Jadi kau tidak akan dicurigai saat mencari keberadaan mereka nanti.” Lagi-lagi mendesah pasrah, Emma segera berbalik dan keluar dari lorong sepi itu sebelum berbaur dengan pengunjung supermarket lainnya. Sementara itu …. “Mungkin nggak, sih, kalau hantu yang aku liat tadi itu kembarannya si Mbak bule Emelie?” cici Clarisa setibanya mereka di rumah siang itu. Ya, Naina dan Clarisa batal jalan-jalan dan makan di luar. Mereka memutuskan pulang karena kurang yakin kalau meminta pertolongan Bernand dan rekannya untuk membereskan belanjaan mereka. “Kamu salah liat kali.” Naina masih tidak yakin dengan apa yang diucapkan Clarisa di supermarket tadi. “Masa aku salah liat, sih, Nai? Orang jelas bayangannya di cermin wastafel itu nggak ada,” terang Clarisa meyakinkan. Naina diam. Mereka menata barang-barang di dapur sementara Clarisa juga membereskan belanjaan yang lain ke dalam kulkas. “Kamu liat sendiri tadi kalau Emelie itu bukan hantu. Kamu juga pegang dia ‘kan?” “Iya, sih. Berarti kemungkinan kalau yang aku temuin itu kembarannya bisa jadi bener dong, Nai?” sahut Clarisa masih masih yakin kalau Emelie dan sosok hantu yang dilihatnya adalah saudara kembar. Naina mendesah pelan. “Aku juga nggak tahu, Clarisa. Kita sering dengar kan beberapa orang meyakini kalau setiap kelahiran manusia itu diikuti dengan satu kelahiran setan.” Ada jeda sesaat sebelum Naina kembali melanjutkan ucapannya. “Sosok setan ini biasanya menyerap energi yang ada di tubuh orang tersebut selama mereka hidup. Mulai dari cara bicara, tulisan, bahkan ekpresi dan kebiasaan kecil dari si manusianya.” Naina berbalik dan menatap Clarisa yang juga menatapnya sambil memegang buah apel di tangan. “Itulah yang mendasari orang-orang yang tidak terlalu percaya dengan dimensi lain menganggap kalau orang yang sudah mati dan terlihat bergentayangan bukan arwah sesungguhnya. Melainkan sosok setan yang sejak lahir sudah hidup berdampingan dengan mereka.” “Pusing aku jadinya, Nai,” keluh Clarisa. “Makanya, yang penting mereka nggak ganggu kita.” Clarisa mengangguk patuh lalu lanjut beres-beres dapur dan rumah sebelum Naina menghubungi Bernand dan minta diajak pergi sorenya. Sejenak, Clarisa melupakan pertemuannya dengan sosok hantu yang mirip Emilia itu dan menikmati waktu jalan-jalan mereka hingga malam harinya mereka di antar sampai depan rumah. “Besok tidak usah jemput kami, Bernand,” terang Naina setelah keluar mobil dan bicara di samping pengemudi. “Kenapa?” “Kami mau naik bus saja sekalian jalan-jalan melihat sekitar. Nanti kuhubungi kalau perlu bantuan,” terang Naina. Bernand sempat terdiam sebelum akhirnya mengangguk dan pamit meninggalkan mereka dengan mobil yang dikendarainya. Tanpa Naina ketahui kalau ia akan selalu mendapat penjagaan dan pengawalan cukup ketat secara diam-diam. Ya, Daddy-nya tak akan membiarkan Naina berkeliaran bebas di negeri orang tanpa pengawalan meski paham betul kalau Naina akan selalu menolak jika diperlakukan sangat protektif. Apalagi, Jerman termasuk negera yang cukup nyaman dan aman untuk ditinggali mahasiswi perantau seperti Naina dan Clarisa. Karena itu orangtua Naina yang notabene seorang pejabat tinggi di dunia militer pun menyewa pengawal khusus untuk mengawasi sang putri dan temannya yang sudah mereka anggap keluarga juga selama dua puluh empat jam kedepannya. Keduanya lantas masuk ke dalam rumah, membersihkan diri lalu berbincang sebentar di ruang tv sebelum mereka berdua pergi ke kamar masing-masing. Tepat tengah malam kemudian, saat jarum jam belum tegak bergeser ke angka dua belas, seorang dengan pakaian serba hitam menyelinap masuk dengan mudahnya ke dalam rumah yang ditinggali Naina dan Clarisa. Sosok itu melangkah dengan tenang sambil mencari-cari sesuatu yang ingin dicarinya hingga sekian menit berlalu sesuatu yang dicarinya itu tak kunjung ditemukan juga di dalam rumah ini. Dengan langkah yang tampak ragu, sosok itu kemudian naik ke lantai atas, menghampiri satu dari dua pintu kamar yang dilihatnya kemudian. Dia membuka sarung tangan dan menempelkan telapak tangannya di salah satu pintu sambil memejamkan mata untuk beberapa jenak sebelum akhirnya lampu di lantai rumah itu menyala terang benderang. “Kamu cari ini Mas Gatot?” Clarisa melipat satu tangan di dadanya sementara tangan yang satunya mengacungkan kunci gembok koper yang dicari pemuda itu. Pemuda yang hanya menutupi wajahnya dengan masker dan topi itu lantas berbalik dan mendapati kedua gadis penghuni rumah yang disusupinya sedang berdiri menatap dari jarak sepuluh meter. Gatot yang kepalang ketahuan lantas menurunkan kupluk kepala, topi dan masker yang dikenakan. Menunjukkan wajah aslinya tanpa ragu pada kedua gadis yang ia yakini sudah tahu maksudnya datang ke rumah ini. Naina dan Clarisa bertukar tatapan sebelum sama-sama mendengkus karena mengingat percakapan mereka beberapa jam lalu di ruang tv. “Kamu mau nunjukin apa sama aku?” “Sini aku tunjukin sesuatu dari kunci dan gantungan ini.” Naina lantas menggenggam sebelah jemari Clarisa sementara sebelah jemarinya yang lain menggenggam sebuah kunci dan gantungan kunci yang diduga milik Gatot dan terjatuh tadi pagi di rumah mereka. Keduanya memejamkan mata cukup lama sampai Clarisa terkekeh-kekeh. Begitupun dengan Naina yang tak bisa menahan tawa hingga mereka terbahak-bahak dan melepaskan tangan satu sama lain. “Gila! Nggak nyangka banget aku. Tapi kamu yakin si Gatot kaca mobil itu bakal dateng malam ini?” “Yakin, dong. Kalau nggak, dia nggak akan bisa buka kopernya. Kalau namu lagi yang ada gelut sama kamu. Ya pasti dia bakal nyusup ke sini,” analisa Naina percaya diri. Clarisa terbahak lagi sebelum kembali bertanya apa yang akan mereka lakukan setelah ini. Naina membisikkan sesuatu dan mereka terkekeh lagi sebelum masuk kamar masing-masing dan mempersiapkan jebakan yang keduanya buat saat ini. Kini, kedua gadis itu menghampiri Gatot tanpa melepaskan tatapan kesal mereka pada pemuda itu. “Kembalikan kunci saya,” ujar pemuda itu dengan nada datar dan tatapan standar. Se-standar wajah orang-orang menyebalkan yang sering berkeliaran di muka bumi ini. “Apa?” ledek Clarisa sambil meletakkan telapak tangan di belakang telinganya, mencondongkan wajahnya sedikit kedepan sebelum lanjut berkata, “Aku nggak denger. Coba ulang!” “Kembalikan kunci milik saya.” Pemuda itu mengulang kalimatnya dengan nada dan ekspresi yang sama. “Kamu ngerti nggak dia bilang apa, Nai?” ucap Clarisa makin membuat Gatot kesal. Naina menggeleng sambil mengendikkan bahu. “Nggak tahu aku. Dia ngomong apa, sih? Minta tolong atau nyuruh?” sindir gadis itu. Membuat Gatot akhirnya tersadar. “Tuh, Naina aja nggak paham. Apalagi aku yang IQ-nya di bawah Naina. Coba ulang sekali lagi, Mas Gatot yang budiman,” ejek Clarisa. “Tolong kembalikan kunci saya yang kalian pegang itu. Saya membutuhkannya.” Clarisa dan Naina sama-sama terkekeh. Clarisa lantas melemparkan kunci itu dari jarak dekat. Membuat Gatot sedikit terkejut karena sikap keduanya yang berbeda dengan apa yang dilihat Gatot sebelumnya. “Ngapain, sih, mesti nyelinap segala ke rumah orang? Nggak tahu apa cara namu yang baik kayak apa?” Ucapan Clarisa kali ini tentu saja menyentil kesalahan Gatot yang jelas-jelas salah karena ketauan menyelinap masuk ke dalam rumah mereka. “Maaf. Tapi tadi pagi kamu juga membuat saya hampir digeledah oleh pria-pria itu,” sahutnya membela diri. “Ya salah lo sendiri jadi orang nyebelin. Gue kan cuma keceplosan.” “Tapi keceplosan kamu itu bisa membahayakan keberlangsungan hidup saya di sini.”“Bodo amat! Emang gue pikirin.“ Gatot mendengus sinis. “See! Kamu memang keterlaluan.” “Kamu juga keterlaluan. Nabrak orang nggak minta maaf malah langsung pergi. Koper salah ambil sampe gue harus pinjem baju Naina. Dan tadi pagi juga elo dorong gue sampe hampir jatuh. Kalau nggak koper yang geser, nih p****t udah mendarat paripurna nyium lantai,” unjuknya sambil menepuk bokongnya sendiri dan menunjukkan ke muka Gatot. Pemuda itu sampai berdeham kikuk dengan wajah sedikit memerah. Sementara Naina yang melihat hal itu ingin sekali tertawa namun hanya bisa mengulum bibirnya agar tak kelepasan. “Masih mau ngeles apa lo, hah?” imbuh Clarisa dengan wajah kesal meski dengan volume suara yang tetap pelan. “Saya juga–“ Prakkk …. Ketiga orang itu membeliak dan saling menukar tatapan terkejut. Suara benda jatuh di dapur membuat mereka terdiam beberapa jenak sebelum Gatot memberi isyarat pada Naina untuk mematikan lampu kembali. Meski mereka baru saja berdebat, namun kali ini ketiganya kompak bekerja sama untuk mencari tahu kenapa ada barang jatuh di rumah ini di jam orang-orang seharusnya tidur. “Tunggu!” Gatot menghentikan langkah kedua gadis itu dan meminta mereka untuk menunggu saja dengan suara berbisik. “Tapi–“ “Memangnya kamu berani?” sela Gatot menghentikan kalimat Clarisa. “Kenapa harus takut?” Gatot hanya mendengus pelan. “Sudahlah. Tunggu di sini saja. Kalau dia tahu, kita tidak akan bisa menangkapnya.” Kedua gadis itu bertukar tatapan sebelum Nania mengangguk setuju pada Clarisa dan membiarkan pria itu melesat cepat seperti angin. Clarisa membeliak sambil menggelengkan kepalanya. Meyakikankan dirinya atas apa yang baru dilihatnya barusan. “Dia masih manusia, Clarisa. Apa yang dilakukannya setauku bisa dipelajari kalau menurut buku yang pernah aku dapet dari Kak Gendhis,” terang Naina menjelaskan lebih dulu. “Gendhis Kakaknya Sayang Ayyas-ku yang di Jogja?” Naina melotot pada sahabat yang memang sudah sering mengaku-ngaku kalau sang kakak sepupu adalah kekasihnya. “Ya ampun, Nai. Santei kali. Jangan kaku kaku kayak kerupuk kering lagi dijemur di bawah terik matahari kenapa?” Naina berdecak pelan. Clarisa balas mencebikkan bibir lalu mengendikkan bahu tak peduli. Entah buku apa yang dibaca Naina karena sejujurnya Clarisa masih tak paham kenapa ia yang suka dengan sesuatu yang berbau mistis jadi semakin peka bahkan bisa punya kemampuan yang masih tak bisa dicerna oleh isi kepalanya. Suara gaduh di lantai bawah segera mengalihkan perhatian mereka kemudian. Gatot yang sudah melesat kembali ke atas membuat Clarisa mencicit kaget. “Astagfirullohaladzim! Pake salam dong, Mas. Kaget nih jantung saya,” dumalnya sambil spontan mengangkat sandal bulunya lagi dan mengarahkannya ke wajah Gatot. “Kamu!” “Assalamualaikum dulu napa. Nongol-nongol nggak diundang udah kayak jelangkung lo tuh tau nggak?” “Ayo ikut! Penjahatnya sudah saya tangkap. Tapi jangan terkejut.” Naina dan Clarisa sama-sama menukar tatapan sebelum mengikuti langkah normal Gatot kali ini dan tiba di dapur yang masih gelap. Naina yang akan menyalakan lampu langsung dicegah oleh pemuda itu. “Kenapa?” “Orang-orang suruhan orangtua kamu pasti akan curiga kalau kamu menyalakan lampu rumah cukup lama di jam seperti ini.” “Dari mana kamu tau?” heran Naina sementara pria itu tak berniat menjawab. Naina mengalah dan mencari senter di laci agar bisa menyorot sesaat sesosok bayangan yang terlihat duduk dalam keadaan seperti terikat di lantai dapur rumahnya. “EMELIE!” pekik Naina dan Clarisa bersamaan. “Kalian kenal dengan hantu ini?” “Hah? Hantu?” kompak kedua gadis itu lagi. “Tapi dia bukan hantu. Kami berkenalan dengan dia di mall tadi.” “Kalian tertipu. Dia ini hantu. Lihat saja. Memangnya saya ikat dia pakai apa?” Naina menyorotkan senternya ke arah Emelie dan tak menemukan tali apapun yang tampak mengikat tubuh gadis bule itu di sana. “Kalau tidak percaya, lempar saja sandalmu ke wajahnya,” titah Gatot pada Clarisa. Patuh. Clarisa mengucapkan basmalah dan kata maaf sebelum meleparkan sendalnya ke arah lain dari tubuh Emelie. Namun, Gatot yang sudah bisa menebak hal itu langsung mengarahkan tangan Clarisa untuk melempar sandalnya ke wajah Emelie. Membuat Gadis itu langsung memekik takut dan loncat merapatkan tubuhnya pada Gatot begitu melihat sandal itu melewati tubuh Emelie. “Apa kubilang kan, Nai. Aku nggak bohong liat hantu. Dan bener kan dugaanku kalau Emelie ini hantu sebenernya,” cicitnya sambil tak sadar mencengkram lengan Gatot dengan erat. Membuat Gatot jadi salah tingkah sendiri. “Jadi, kamu benar–“ “Aku memang hantu. Tapi yang kalian temui tadi itu juga kembaranku. Tolong lepaskan aku. Aku ke sini hanya ingin meminta bantuan kalian.” “Hantu tidak seharusnya mengganggu manusia. Apalagi memintanya mengurusi masalah kalian,” sela Gatot dingin. “Tapi hanya kalian yang bisa membantuku. Tolonglah kasihani aku. Saudaraku terkurung dalam tubuhku. Sementara jasadnya sudah dikubur. Aku tidak bisa kembali tapi setidaknya aku harus tahu apa yang membuat kami bisa seperti ini. Aku juga tidak mau jadi arwah penasaran selamanya.” “Apa?” pekik Clarisa dan Naina bersamaan. “Jangan percaya mahluk seperti ini. Mereka itu manipulatif,” ucap Gatot meyakinkan agar Naina dan Clarisa tidak terpedaya. Emelie menggeleng keras. “Aku tidak bohong. Sungguh. Kalian bisa buktikan.” Emelie menangis. Tangis yang sungguh tak dibuat-buat meski air mata yang jatuh itu menguap entah ke mana. Clarisa jadi iba, begitupun Naina yang merasa kalau Emelie tidak membohongi mereka. “Lalu di mana kembaranmu sekarang?” Naina jadi ingin membuktikan. “Dia ada di rumah. Dia tidak tahu kalau aku ke sini,” terang Emelie. “Lalu bagaimana bisa kamu menemukan rumah kami?” Kali ini Clarisa yang penasaran. “Aku tidak sengaja melihat kalian saat jalan-jalan di pusat kota. Jadi kubuntuti saja,” akunya karena ternyata rumah mereka tidak berjauhan. Hanya terpisah beberap blok saja dari kawasan pemukiman semi premium itu. “Baiklah. Bagaimana aku menghubungi kembaranmu sekarang?” “Kalian telepon saja ke nomer Clarisa.” “Kenapa nomerku?” heran sang pemilik nama yang disebut. “Karena ponselmu kutukar dengan milik Emma saat di mall tadi.” “Hantu kurang ajar!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN