Help Me 1 - Kamu Siapa?

2837 Kata
“Awasss!” teriak seorang gadis. Suara rem mobil terdengar berdecit sebelum akhirnya sedan hitam yang ditumpangi gadis itu menabrak jembatan dan terjun ke dalam sungai. Byurrr …. Blubuk blubuk blubuk …. Mobil itu perlahan tenggelam. Pun dengan air yang semakin masuk ke dalam kabin karena kaca yang retak oleh sebab benturan serta tekanan dalama air yang akhirnya membuat kaca pecah. Dua orang gadis dengan wajah identik dan pakaian kontras terlihat duduk di bangku belakang mobil sedan hitam mewah tersebut. Satu dari mereka menggunakan dres putih panjang selutut dengan kardigan abu serta rambut panjang blonde yang dikepang. Sementara satunya lagi mengenakan pakaian olahraga pesepeda berwarna hitam dan hijau tua meski dengan warna dan model kepangan rambut yang sama. Gadis yang mengenakan pakain olahraga itu sempat kebingunan sebelum satunya lagi menyadarkannya untuk segera melepaskan sabuk pengaman yang melingkari tubuh mereka. Cetrek …. Sabuk pengaman di tubuh gadis yang mengenakan pakaian olahraga terlepas lebih dulu. Ia lantas mendorong pintu mobil yang terkunci di sampingnya. Tapi lagi-lagi ia dibuat tertegun saat melihat kursi pengemudi kosong sementara sabuk pengaman yang terpasang masih mengunci. Ada yang hilang. Supir di balik kemudi mobil yang kini makin tenggelam ke dasar sungai. Namun tak ada waktu untuk memikirkannya. Mereka harus segera menyelamatkan diri. Kembaran gadis itu masih duduk di belakang dan belum bisa melepaskan sabuk pengaman yang melingkari tubuhnya. Ia pun segera menarik kembarannya itu. Dalam kondisi panik karena tak kuat lagi menahan napas, air mulai tertelan sedikit demi sedikit ke dalam tubuh gadis yang masih terkunci posisinya karena sabuk pengaman yang kesulitan dibuka. Gadis yang mengenakan dress putih itu berusaha mempertahankan kesadarannya sambil terus melepaskan sabuk pengaman yang melingkari tubuhnya. Melihat kembarannya kesusahan, gadis berpakaian olahraga bergegas membatu sang kembaran yang terlihat semakin kewalahan karena terlalu lama di dalam air. Cetrek …. Sabuk pengaman itupun akhirnya dilepaskan beberapa saat kemudian. Dengan tenaga yang tersisa dan paru-paru yang semakin terasa panas, gadis yang mengenakan pakaian olahraga maju ke depan untuk membuka kunci pintu otomatis di posisi pengemudi. Tapi tiba-tiba saja, sekumpulan bayangan hitam pekat yang datang dari kejauhan membuat gadis yang terkejut itu seketika terhempas ke belakang dan menuburuk tubuh kembarannya hingga pingsan. Gadis yang masih sadarkan diri itu bergegas memencet tombol otomatis kunci pintu sebelum. Tapi lagi-lagi usahanya gagal karena sekumpulan bayangan hitam pekat yang seola berusaha menyerangnya itu. Gadis berpakaian olahraga itu berusaha menendang kaca mobil lainnya agar bisa bisa keluar dan berenang ke atas sambil menarik kembarannya. Sayang, lagi-lagi bayangan hitam itu muncul dan menarik kembarannya yang pingsan sementara ia kembali terhempas hingga naik ke permukaan seorang sendiri. “Hah! Hah! Hah!” desahnya mengusap wajah dengan kedua tangan dan meraup oksigen sebanyak mungkin. “Hilfe! Hilfe! Hilfe!” teriaknya meminta tolong sambil mencari-cari apakah ada orang yang bisa membantunya. Fisik dan napas gadis penyuka olahraga triathlon sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama itu memang berbeda dari kembarannya–yang masih tenggelem–yang lebih suka mengurus tanaman atau memasak saat hari libur dan kini tenggelam. Meski terlatih menghadapi situasi berat, keadaan panik dalam situasi buruk yang dialaminya saat ini membuat pikiran gadis itupun sempat kosong untuk beberapa saat. Tak tahu harus melakukan apa sambil terus mempertahankan tubuhnya agar tetap mengambang di atas sungai. “Aku harus menyelamatkan Emilia. Ayo, Emma. Kau bisa!” lirihnya menyemangati diri, menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya kembali menyelam. Dengan mudahnya, gadis bernama Emma itu meliuk-liuk di dalam sungai yang memiliki kedalaman sekitar belasan meter hingga ke dasar. Meski dengan penglihatan yang terbatas, gadis bernama Emma itu berusaha mencari kembarannya yang bernama Emilia. Untunglah, pakaian yang dikenakan Emilia cukup mencolok dan mudah terlihat olehnya. Emma bergegas mengejar kembarannya dengan menyelam lebih dalam. Namun, kondisi fisik yang terbatas tanpa peralatan menyelam membuat gadis itu kesulitan ketika kedalaman sungai semakin dekat menuju dasar. Tiba-tiba saja Emma merasakan dingin yang menusuk tulang apalagi cuaca memang sedang peralihan ke musim dingin. Halusinasi menambah kepanikannya. Meski begitu, Emma tetap berusaha menyelam lebih dalam agar bisa meraih tangan Emelie yang terulur ke depan. “Kumohon Emelie, bertahanlah!’ lirih Emma dalam hati. Gadis yang namanya disebut sang kembaran itupun perlahan membuka mata dan tersenyum. Glek …. Emma terkejut hingga terbatuk dan menelan air banyak ke dalam tubuhnya. Emelie yang melihat hal itu segera berenang dan meraih uluran tangan kembarannya. Menarik dan membawa Emma berenang hingga ke atas. Dalam keadaanya setengah tak sadarkan diri, Emma hanya bisa melihat dengan samar-samar siapa orang yang kini sedang memberikannya pertolongan hingga ia tersedak dan memuntahkan sebagian air yang masuk ke dalam perut dan paru-parunya. Lamat-lamat telinga Emma sempat mendengar Emelie mengucapkan kalimat...“Syukurlah Emma, kau bisa selamat.” Sebelum Emma kehilangan kesadarannya. Tiga bulan kemudian …. Di sebuah ruangan ICU di salah satu rumah sakit besar di Jerman, tubuh seorang gadis yang terbaring di atas tempat tidur dengan berbagai peralatan medis penunjang kehidupan itu mulai menggerakan jari jemarinya. Pencahayaan ruang yang cukup terang membuat gadis itu merasakan silau dan menutup kelopak matanya kembali setelah berusaha membukanya. Suara-suara asing yang terdengar ribut di sekitarnya memekakkan telinga hingga membuat kepalanya terasa sanngat sakit. “Apa kau bisa mendengarku, Nona?” Emma mengerang. Rasanya sulit sekali bergerak. Pandangannya masih samar dan kabur. Semua terasa menyilaukan dan membuat matanya sakit. “E-eme–lie!” “Apa kau bisa mendengarku, Nona Emelie?” Suara itu kembali terdengar berat, lambat serta mendengung di telinga Emma. “Eughhh. Aku … di … mana?” lirihnya terbata sambil terus berusaha memulihkan kesadaran sebelum semuanya perlahan kembali menggelap. Seperti ditarik ke masa lalu, Emma yang tertidur lagi itu kembali bermimpi tentang kejadian kecelakaan yang dialaminya. Dan kali ini ia melihat semuanya dari sisi jembatan bersama sang kembaran, Emelie. “Emelie! Itu bukankah–“ “Iya. Itu kau Emma.” Gadis bernama Emelie itu menjawab sambil menoleh ke sisi, di mana Emma berdiri sambil menatap bingung apa yang sedang berlangsung di bawah jembatan sana. “Apa yang terjadi sebenarnya?” “Aku juga tidak tahu Emma. Kita perhatikan saja,” sahut Emelie lalu keduanya kembali menatap sosok Emma yang sedang berenang dan kemudian kembali menyelam. Tak berapa lama, sosok Emelie yang lain muncul sambil menarik Emma yang terlihat tak sadarkan diri. “Ini tidak mungkin?” “Apa yang tidak mungkin?” “Kau kan tidak bisa berenang.” “Aku juga tidak mengerti. Tapi memang itu yang terjadi saat itu, Emma,” jawab Emelie. Emma masih kukuh, menggeleng tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Emelie lain itu terlihat berusaha memberikan pertolongan pertama untuk dirinya. Emelie berulang-ulang menekan d**a Emma dengan konsisten lalu memberi napas buatan hingga Emma sadar dan terbatuk sambil mengeluarkan air. “Terima kasih sudah menyelamatkanku Emelie,” lega Emma membuat Emelie tersenyum getir sambil menatap sosok mereka di bawah jembatan sana. “Tapi itu apa?” imbuh Emma sambil menunjuk gumpalan awan hitam pekat yang bergerak maju ke arah mereka lalu mengukung keduanya di bawah sana. Awan itu membentuk wujud yang menyerupai sosok menyeramkan seperti di cerita dongeng hantu di masa kecil mereka. “Menyingkir! Lari!” teriak Emma panik namun tak bisa membantu apapun. Seperti ada penghalang tak kasat mata yang membuat Emma dan Emelie yang berda di bawah sana tak bisa mendengar teriakannya. “Kenapa aku tidak bisa ke sana?” panik Emma mencoba turun tapi kemudian terhempas seolah ada dinding yang menghalangi dan mendorongnya. “Kita tidak akan bisa melakukan apapun, Emma. Mereka tidak akan bisa melihat dan mendengar kita,” jawab Emelie pasrah. “Kenapa?” “Karena mereka hanya bayangan.” Dan suara Emelie pun terdengar lebih menyedihkan. Emma menatap kembarannya heran. “Apa maksudmu Emelie?” Belum sempat Emelie menjawab, bayangan hitam yang semula mengukung sosok mereka di bawah sana seolah berbalik dan kini memburu marah ke arah Emma dan Emelie yang sedang berada di jembatan. “Emelie lari!” “Ahhhh!” dan, Splash …. Suasana seketika berpindah ke sebuah kabin pesawat di mana seroang gadis menjenggit kasar dan terbangun dari mimpi buruknya. “Kamu kenapa, Naina? Kok keringetan gini?” Gadis bernama Naina itu menerima sapu tangan dari gadis yang bertanya dan duduk di sebelahnya tersebut sambil menjawab, “Aku mimpi aneh, Clarisa.” “Mimpi aneh apa?” desak gadis bernama Clarisa tersebut. Belum Naina menjawab pertanyaanya, Pramugari sudah lebih dulu mengumumkan bahwa pesawat yang mereka tumpangi akan mendarat sebentar lagi. “Nanti aku jelasin kalau udah turun. Sekarang kita siap-siap mendarat dulu,” jawabnya lalu mulai mengikuti arahan Pramugari yang sedang berbicara melalui pengeras suara hingga pesawat mendarat dengan baik dan keduanya turun. Dukkk …. “Aduh!” “Maaf!” ucap seorang pria dalam bahasa Jerman lalu buru-buru pergi, meninggalkan Clarisa yang tak kini sudah terdistraksi dengan hal lain. Clarisa memang hampir jatuh dan untungnya sempat ditahan seroang pria bule yang kemudian menanyakan apakah dia baik-baik saja. “Oh, tentu. Berkatmu aku terselamatkan. Terima kasih, ya,” sahut Clarisa dengan mimik centilnya. “Tidak masalah,” jawab si pria bule lalu pamit lebih dulu ketika mereka berjalan di dalam garbarata. Clarisa kemudian celingukan mencari sosok pria bertopi hitam yang menabraknya tadi. “Mana tuh cowok, Nai? Kurang ajar banget habis nabrak kabur gitu aja. Ketemu aku geprek sama cabe.” “Dia udah pergi. Keliatannya buru-buru. Makanya nyenggol kamu dan cuma minta maaf terus pergi,” terangnya. “Nggak bisa gitu dong! Habis nubruk maen pergi aja. Udah kayak banteng. Banteng bukan kok nggak ada rasa-rasa sesalnya,” sungut gadis periang itu. “Kan udah minta maaf, Nona Clarisa,” sahut Naina gemas sambil mencubit sebelah pipi Clarisa “Tetep aja. Kan yang ditabrak aku. Harusnya liat kondisiku dulu baru pergi. Lima menit mah.” “Karena dia pasti tahu kalau urusan sama kamu nggak akan cukup lima menit,” cibir Naina membuat Clarisa hanya bisa berdecak kesal. “Untung ada Mas bule ganteng yang bantuin. Coba kalau nggak, jatuh terus kepalaku kejedot dinding garbarata dan geger otak mau gimana?” “Iya. Iya. Yang penting kan nggak. Udah yuk! Nanti keburu orang suruhan Daddy dateng,” balas Naina berusaha menenangkan emosi gadis yang masih tak terima karena ditabrak dan ditinggalkan begitu saja sebelumnya. Keduanya melanjutkan langkah menuju tempat pengambilan koper sebelum mengurus imigrasi dan menemui orang yang akan menjemput mereka nanti. “Loh, Nai. Ini bukan koper aku.” Naina menoleh ke bawah di mana koper Clarisa diletakkan di dekat kaki gadis itu. “Lho, kamu barusan ambil koper siapa? Bukannya ini koper kamu?” “Kopernya emang sama. Tapi tag-nya beda. Ini punya cowok. Namanya aja Gatot. Sejak kapan nama aku berubah jadi Gatot?” “Hah?” Naina ikut membaca nama yang ada di-tag koper tersebut sebelum berkata, “Eh, iya. Ya udah. Kita urus imigrasi dulu, baru nanti urus koper kamu.” Clarisa mendesah berat dan panjang. Gadis itu terus menggerutu sampai akhirnya mereka tiba di bagian imigrasi. “Sial banget, sih, hari ini. Turun dari pesawat hampir jatuh ditabrak orang. Sekarang malah koper ketuker. Ini mah kudu ke pantai, Nai. Renang dilarung sama kembang biar kebuang sialnya.” Naina terkekeh mendengar dumalan sahabatnya itu sebelum menjawab, “Gimana mau dilarung sama kembang. Emang kamu kuat renang? Jerman lagi minus empat derajat loh. Bisa jadi malah lautnya beku.” “Astaga! Lupa kan? Duh, nambah sial lagi deh aku,” rungutnya makin kesal. Naina merangkul bahu Clarisa sambil maju selangkah demi selangkah dalam antrian menuju imigrasi. “Nanti mandi kembang aja di rumah. Kembang di Jerman kan beda sama kembang di Indonesia.” “Emangnya kenapa?” heran Clarisa sambil menaikkan satu alisnya ke atas. “Ya biar habis mandi kamu nggak berasa kayak di kuburan karena bau kembang,” terang Naina lalu terkekeh. “Ish, jahat banget. Untung aja Daddy ganteng, baik hati dan kaya raya pastinya.” “Loh, apa hubungannya sama Daddy?” Gantian Naina yang keheranan. “Nggak ada, sih. Cuma pengen bilang aja. Habis Daddy kamu ganteng banget, sih,” kekeh Clarisa lalu nyengir. Naina geleng kepala lalu melepaskan rangkulan karena ponselnya berbunyi. “Siapa?” kepo Clarisa sambil melihat nomer asing yang muncul di layar. “Kayaknya orang suruhan Daddy.” “Angkat aja. Video call lagi. Siapa tahu ganteng.” Bola mata Naina seketika membola. Kalau urusan pria, Clarisa memang biang genitnya. Naina juga sering dibuat gemas dan malu dengan kegenitan sahabatnya yang luar biasa itu. “Halo!” “Halo, Nona Naina. Perkenalkan, saya Bernand yang ditugaskan Ayah Nona,” ucap pria di seberang layar sana. “Wih, udah ganteng bisa bahasa Indonesia lagi. Mas Bernand, tolongin aku dong!” cicit Clarisa sok akrab. “Clarisa, ih! Nanti dulu,” gemas Naina lalu mengalihkan ponsel agar gadis itu tak ikut nimbrung. “Maaf, tuan Bernand.” “Tidak apa, Nona. Itu pasti Nona Clarisa bukan?” Clarisa yang merasa namanya dipanggil langsung merebut ponsel Naina dan bicara dengan mode cepat dan panjang. Menceritakan apa yang menimpanya sejak turun dari pesawat hingga ia kehilangan kopernya. “Baiklah. Kalian ada di mana? Biar saya ke sana sekarang.” “Kami lagi antri di imigrasi. Memangnya Mas Bernand bisa masuk?” kepo Clarisa. Pria yang wajahnya tampak tersenyum di layar itu hanya menjawab, “Baiklah. Saya matikan dulu panggilan ini kalau begitu.” “Eh! Mas Ber–“ Klik …. Naina langsung mengambil kembali ponselnya dari tangan Clarisa sambil mendesis, “Genit kamu bener-benar nggak ada penawarnya, ya?” “Dih, emang racun pake penawar?” “Banget. Genit kamu bikin aku pengen muntah tahu nggak.” “Muntah aja. Aku mah udah sering muntah.” Lagi-lagi Naina hanya bisa merotasikan bola matanya sambil menggeleng heran. Tingakah menyebalkan sahabatnya itu memang luar bisa. Tak lama mereka langsung bertemu Bernand. “Halo, Nona-Nona. Saya Bernand,” katanya sambil mengulur jabat tangan. “Senang berjumpa dengan kalian.” “Saya Naina. Dan ini–“ “Aku Clarisa. Mas Ber, badannya kok tinggi amat, sih? Tiang listrik di Indonesia aja kalah. Makannya apa?” cerocos Clarisa sambil terus menjabat tangan pria itu. “Clarisaaaaa!” beo Naina lalu mendesis gemas sementara Bernand sendiri tampak tak terpengaruh dan tersenyum pada keduanya. “Iya. Iya.” “Biar saya urus semuanya. Kalian duduk saja,” ujar Bernand. “Memangnya boleh?” Naina tentu penasaran meski ia sudah memiliki jawaban. Lagi-lagi Bernand tak menjawab. Clarisa segera merangkul Naina sambil mengucapkan, “Makasih ya, Mas Bernand.” “Ah, iya. Panggil saja saya bernand. Usia saya baru dua puluh dua tahun.” Kemudian pria itu berlalu. Naina tentu saja tak terkejut karena Daddy-nya sudah menceritakan sosok Bernand sebelum mereka berangkat. “Lha … tua di muka si Mas-nya,” celetuk Clarisa usai Bernand pergi. Naina tak peduli lalu coba menghidupkan ponselnya yang ternyata mati karena kehabisan daya. Padahal baru saja ia ingin menghubungi keluarga dan memberi mereka kabar. Begitupun dengan ponsel Clarisa yang kehabisan daya karena lupa meletakkan pengisi dayanya di koper yang disimpan di bagasi cargo dan kini tertukar. Mereka lantas meninggalkan bandara setelah Bernand menyelesaikan semua urusan dan membawa keduanya menuju sebuah rumah yang akan dihuni selama empat tahun ke depan. Ya, Naina dan Clarisa memutuskan kuliah di Jerman setelah Naina merelakan keinginannya untuk masuk Akademi Militer karena masalah kesehatan yang membuatnya dipastikan gagal jika tetap memaksa diri untuk mengikuti tes. “Ini kartu nama saya. Jika perlu sesuatu segera hubungi nomer yang tertera di sana. Kapanpun,” terang Bernand setibanya mereka di rumah yang akan ditempati Naina dan Clarisa. “Dua puluh empat jam juga?” tanya Clarisa langsung diangguki Bernand. “Mas-nya kelelawar, ya? Emang nggak tidur?” imbuh gadis cerewet itu dengan wajah polos. Naina hampir saja terbahak mendengar ucapan Clarisa. Bernand sendiri dengan tenang menjelaskan bahwa, “Ada satu orang lagi yang akan bergantian membantu saya menjaga serta membantu kalian selama di sini.” Clarisa mengangguk paham dan memilih bertanya apakah ada makanan yang bisa dibeli karena perutnya mulai keroncongan. “Makanan akan diantar sebentar lagi. Besok saya akan datang lagi sambil memperkenalkan rekan saya yang lain,” tutur pria berambut cepak tersebut. “Soal koper Clarisa bagaimana?” tanya Naina. “Saya yang akan mengurusnya nanti.” “Baiklah. Terimakasih. Sampai bertemu besok lagi Bernand.” “Makasih, Mas Ber,” timpal Clarisa masih tetap mempertahankan panggilannya pada pemuda yang memiliki perawakan tinggi, tegap gagah dan sudah pamit itu. “Aku pinjem baju kamu dulu berati, Nai,” ucap Clarisa usai menutup pintu. “Boleh.” Keduanya lantas membersihkan diri, makan malam dan tidur hingga keesokannya bangun terlambat karena efek jetlag yang masih terasa di kepala mereka. Dering weker yang berbunyi nyaring di atas nakas terus berteriak membangunkan keduanya yang tidur dalam satu kamar. “Jam berapa, Nai?” “Jam tujuh, Clarisa.” “Pantes berisik banget bel rumah. Si Mas Bernand pasti ngirim sarapan.” “Di Jerman mana mungkin sarapan sepagi ini.” “Iya, sih. Mungkin dia bawain makanan buatannya sendiri.” “Bisa jadi. Ayo bangun! Cuci muka dulu.” “Aduh, nggak usah. Masih glowing kok. Ayo! Kasian nanti Mas Ber nungguin lama jadi manusia salju lagi entar dia di luar,” seloroh Clarisa sambil menarik tangan Naina. Masih menggunakan piyama juga rambut yang acak-acakkan, Clarisa pun membukakan pintu dan berseru, “Selamat pagi, Mas Ber … eh, kamu siapa?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN