“Naina?”
“Iya, Miss Grelanda?”
“Panggil aku Grelanda saja. Aku jadi seperti guru di sekolah TK.” Perempuan itu terkekeh.
Naina juga ikut terkekeh. “Di negara kami, saat memanggil orang yang lebih tua tidak boleh hanya menyebut namanya saja.”
“Tapi ini Jerman. Kau tidak perlu melakukan hal seperti itu. Anggap saja aku seperti kakakmu. Usia kita hanya terpaut sepuluh tahun.”
“Jadi usiamu baru dua puluh delapan tahun?”
Grelanda mengangguk. “Jadi panggil saja aku Grelanda.”
“Baiklah. Suamimu bekerja di mana?”
“Kilang minyak. Dia pulang enam bulan sekali.”
“Anakmu pasti merindukan ayahnya.”
“Kami sering melakukan video call.” Mereka memasak sambil bercerita satu sama lain.
“Ayo sarapan bareng, Mas Gatot!” Naina berjala ke ruang tamu dan menghampiri Gatot yang sibuk dengan ponselnya sejak tadi.
“Heh? Mas? Sejak kapan dia dipanggil Mas?” protes Clarisa berteriak dari dapur.
“Iya. Mas Gatot ini usianya jauh sama kita, Clarisa.”
“Maksud kamu saya tua?” protes Gatot yang berjalan di belakang Naina.
“Mahasiswa spesialis kedokteran memang ada yang masih muda banget?” sarkas Naina membuat Clarisa melongo.
Padahal gadis itu sudah tahu kalau Gatot memang melajutkan S2 di Jerman. Tapi ia tidak percaya kalau Gatot adalah seorang calon dokter spesialis.
“Ayo duduk, Mas! Biar cepet pergi. Hari ini aku pengen di rumah. Mumpung libur ngampus.”
Gatot mengangguk. Tidak enak juga menolak. Apalagi ia memang belum sarapan dan Grelanda sudah menyiapkan porsi untuknya juga.
Clarisa langsung duduk di sebelah Grelanda, alhasil Naina jadi duduk di sebelah Gatot. Keduanya hanya geleng kepala melihat tingkah gadis itu. Jelas sekali Clarisa terlihat menunjukkan permusuhan dengan Gatot.
Padahal Gatot sendiri yang mengatakan kalau Clarisa yang mendatanginya dan meminta tolong padanya. Tapi lihatlah sikap gadis itu saat ini, seperti sedang bertemu musuh besarnya.
Usai sarapan, Grelanda lantas meminjamkan mobilnya pada Gatot agar ia bisa membawa Naina dan Clarisa yang akan membeli sepeda dengan lebih nyaman.
“Kau mau titip sesuatu Grelanda?”
“Tidak. Pulang saja saat jam makan siang. Aku akan memasakkan makan enak untuk kalian.”
“Kau mau ikut bayi lucu?” ucap Clarisa sambil menjawil pipi gembul bayi Grelanda yang masih duduk di high chairnya.
Bayi itu kemudian tertawa sambil menepuk-nepuk tangannya yang sedang memegang biskuit. Senang kalau semua orang disekitarnya memuji.
“Dia senang dipuji memang.”
“Nanti kita main lagi, ya. Sekarang kamu tidur saja. Ayo tidur bayi cantik yang menggemaskan.”
Clarisa mengusap-usap wajah bayi Grelanda dengan jemarinya berulang kali. Dimulai dari kening hingga ke dagu, membuat bayi itu tiba-tiba menguap dan kemudian jatuh tertidur begitu saja.
Clarisa dan Naina sama-sama terkejut dan bingung. Sementara Grelanda tertawa dan memuji Clarisa yang bisa membuat anaknya tertidur dengan mudahnya.
“Padahal Aneth susah sekali jika diajak tidur di jam seperti ini. Dia harus minum s**u dulu. Tapi hanya disentuh olehmu, dia langsung tertidur. Kau hebat sekali Clarisa.”
Clarisa meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu menoleh ke arah Gatot dan bertanya dengan isyarat wajah. Namun Gatot tak peduli, hanya menatapnya datar sambil mengedikkan bahunya sedikit.
Grelanda lalu memberikan kunci mobilnya pada Gatot sambil bertanya, “Kau punya SIM ‘kan?” pemuda itu mengangguk.
Mereka lalu berpamitan pada Grelanda dan dan menghampiri mobil yang terpakir di pinggir jalan di depan halam rumah.
Grelanda sengaja meminjamkan kendaraan milikinya karena mobil itu sudah dipasangi GPS dan alat perekam sehingga perjalanan mereka menjadi semakin aman.
“Kalian duduk di belakang?” tanya Gatot saat hendak membuka pintu kemudi.
“Kenapa? Mau protes lo?”
“Di mana-mana orang yang minta tolong itu harus tahu diri, ya. Kamu pikir saya supir.”
Clarisa berdecak sambil mendelik sebal.
“Ya udah kamu duduk di depan aja, Clarisa.”
“Nggak, ah! Yang ada gelut. Terus malah tabrakan. Ih, amit-amit!”
“Hush!”
“Udah kamu aja yang duduk di depan, Nai. Biar dia nggak macem-macem. Kan Daddy kamu yang punya yayasan tempat dia dapet beasiswa.”
Naina dan Gatot sama-sama menukar tatapan dengan mimik terkejut.
“Jadi kamu anaknya Pak Janu?”
“Iya. Kamu kenal sama Daddy?”
Gatot menggeleng. “Kakek saya anak buahnya Pak Beni.”
“Oh, kakek kamu anak buahnya Eyang.”
Gatot mengangguk. Clarisa mencebik, langsung membuka pintu belakang dan duduk tanpa mempedulikan Naina dan Gatot setelah berkata,
“Nah… silakan dilanjut obrolannya kalau begitu. Cocok ‘kan duduk bareng daripada sama aku?”
Keduanya memilih mengalah agar tak membuang-buang waktu dan bisa kembali ke rumah tepat saat makan siang.
Selama perjalanan Clarisa tidak ikut mengobrol hingga akhirnya ia membahas soal Aneth yang tertidur begitu saja karena sentuhan Clarisa.
“Aneh banget nggak tadi tuh, Nai?”
Gatot menoleh dari kaca spion tengah dan bertumbukkan dengan tatapan Clarisa yang langsung memutusnya lebih dulu, membuat pemuda itu mendengus kecil.
“Agak aneh, sih, emang. Sejak kapan kamu punya kekuatan lain?” Naina menanggapi.
Meski bisa menerawang, Naina tidak selalu selalu bisa mendengar percakapan orang-orang yang ia terawang.
Karena itu, Naina juga tidak tahu soal kekuatan baru Clarisa yang muncul saat bersama Gatot sebelumnya.
Dengan kemampuan yang dia miliki saat ini saja, Clarisa kadang merasa stres dan sering mengeluh.
Pasalnya jika ia sedang berada di keramaian, banyak sekali suara hati dari orang-orang atau arwah yang ia lihat dan berada di sekitarnya. Dan hal tersebut membuat Clarisa jadi ingin menggila.
Di kepalanya terlalu banyak kebisingan yang membuatnya terganggu dan jadi sulit konsentrasi.
Orang aneh yang ia temui secara tidak sengaja di jalan pernah mengatakan padanya kalau suatu saat nanti dia akan menemukan seseorang yang bisa membantunya mengendalikan sesuatu di dalam dirinya yang tak terkendali.
Awalnya Clarisa menganggap perkataan itu hanya iseng. Namun dengan adanya dua kejadian pagi ini, Clarisa jadi memikirkan kembali perkataan orang itu.
Dalam bayangannya tentu saja tidak ada nama Gatot meski pria itu terlihat memiliki kekuatan yang lebih hebat dari Naina.
Gatot sendiri terlihat santai dan tak peduli meski sebelumnya ia sudah memperingatkan Clarisa untuk tidak mengatakan soal yang terjadi sebelumnya pada Naina.
“Duh, pusing deh. Bisa denger suara batin sama lihat hantu aja bikin aku stres. Tambah-tambah ini.” Clarisa memberengut sambil melipat kedua tangannya di d**a.
“Tapi kamu bisa buka klinik terapi buat orang yang susah tidur, Clarisa. Siapa tahu bisa dilatih buat hal itu,” seloroh Naina membuat Gatot menatap kaca spion tengah lagi dan tatapannya kembali bertemu dengan tatapan Clarisa namun kali ini tidak diputus.
“Lo mau ngomong apa?” ketusnya membuat Gatot mendesis pelan.
“Berapa lama kalian bersahabat?”
“Kenapa memangnya?” tanya Naina.
“Tidak. Hanya ingin tahu bagaimana caranya kamu bertahan dengan sahabat yang berisik dan galak seperti dia.” Gatot menoleh sekilas ke arah Naina.
Clarisa yang duduk di belakang langsung melotot sementara Naina sendiri hanya bisa mengulum tawa mendengar ucapan pria di sampingnya itu.
“Kalian ini cocok tahu, nggak?”
“Aku sama dia? Ih, najis!”
“Clarisa, nggak boleh gitu, ih. Kamu loh yang minta tolong sama Mas Gatot.”
“Ungkit aja terus. Ungkit.”
“Sudahlah, tidak apa. Anggap saja ini balas budi saya karena Pak Janu dan keluarganya sudah menyekolahkan saya sampai ke sini.”
“Nah, bagus. Tau diri emang harusnya begitu lo.”
“Clarisaaa.” Naina memanggil nama sahabatnya lembut namun dengan penekanan.
“Tau ah!”
“Maaf, ya, Mas.”
Gatot tersenyum tipis. Naina sendiri masih heran bagaimana bisa Clarisa menemui Gatot lebih dulu bahkan meminta bantuannya jika sikapnya saja seperti ini.
Tapi Naina akan bertanya itu nanti. Sekarang mereka sudah tiba di toko sekaligus bengkel sepeda khusus yang bisa meng-custome model sepeda yang diingikan agar sesuai dengan postur dan benar-benar nyaman saat digunakan.
“Kira-kira berapa lama selesainya?”
“Paling cepat dua atau tiga minggu. Karena kami harus menyesuaikan sperpart, men-set ulang dan lainnya agar benar-benar sesuai dengan kebutuhan kalian saat bersepeda.”
Naina mengangguk lalu menyelesaikan p********n dan mereka mampir ke kopi shop sebentar.
Namun saat membuka pintu, seseorang wanita yang menenteng banyak tas, membawa kopi sambil menelepon dan tersandung membuat Clarisa reflek menjerit dan seketika itu juga waktu di sekitar mereka terhenti begitu.
Lagi-lagi Clarisa dibuat melongo, begitupun Naina. Hanya Gatot yang terlihat santai saja melihatnya.
Di hadapan Clarisa, kopi yang tumpah serta terlempar ke udara itu terhenti dan sudah dipastikan akan langsung mengenai wajahnya jika saja waktu di sekitar mereka tidak berhenti.
“Kok bisa, Nai? Aku kenapa, sih?”
Clarisa jadi ingin menangis. Ia kesal karena sekarang dirinya mengalami banyak perubahan yang menurutnya aneh dan tak masuk akal.
“Balik ke posisi semula.” Naina dan Clarisa menatap Gatot. “Hitungan ketiga langsung menyingkir ke samping tapi jangan pakai kekuatanmu Naina. Nanti tertangkap CCTV,” tunjuknya ke atas pintu.
Kedua gadis itu saling pandang lalu menuruti ucapan Gatot. Dan pada hitungan ketiga bersamaan dengan jentikkan jari Gatot, Naina dan Clarisa langsung menyingkir cepat.
Kopi itu akhirnya tumpah tapi tak mengenai mereka. Hanya cipratannya saja yang mengenai celana Naina dan Clarisa
Pelangga* kopi shop itu langsung meminta maaf sekaligus berterima kasih karena Gatot membantu menahan tubuhnya sehingga tidak jatuh terjerambab.
Clarisa yang masih syok akhirnya duduk dan ditenangkan Naina. Gadis itu mengalirkan energi tubuhnya dengan mengusap punggung Clarisa agar sang sahabat merasa lebih nyaman sementara Gatot memesankan makanan dan minuman untuk mereka.
“Aku kenapa jadi begini, sih, Nai?” Clarisa menitikkan satu dua air mata lalu segera menghapusnya dengan tisu.
Gatot kemudian tiba dengan nampan berisi pesanan mereka dan meletakkannya satu-persatu ke hadapan Naina dan Clarisa.
“Minum dulu.”
Naina memberikan minuman kesukaan Clarisa untuknya.
“Apa ini yang pertama kali atau sebelumnya sudah pernah terjadi?” tanya Gatot tanpa basa basi.
Clarisa menggeleng. “Ini yang pertama.”
“Karena kekuatannya baru muncul, kamu nggak bisa mengendalikannya. Butuh latihan keras.”
“Caranya?”
“Ya, dilatih.”
Clarisa berdecak. “Kalau itu mah gue tau, Gatot kaca beling!” Gatot melotot. “Maksud gue gimana cara ngelatihnya?”
“Saya bisa bantu. Tapi ada syaratnya.”
Clarisa reflek menendang tulang kering kaki Gatot. Dan itu cukup menyakitkan hingga membuat Gatot mengaduh kesakitan sekali.
“Clarisa.”
“Dia yang nyebelin, sih.”
“Mas Gatot maaf, ya.”
“Nggak papa.” Pria itu meringis sambil balas menatap tajam pada Clarisa yang tak gentar sedikitpun.
Gatot jadi bingung, kenapa jika di dekat Clarisa ia jadi kalah kuat dengan gadis itu. Apa mungkin Clarisa ini kelemahan yang pernah dibicarakan kakeknya?
Sungguh, jika benar adanya Clarisa adalah kelemahannya, Gatot harus menjauhinya. Bukan malah semakin dekat.
Namun ia tidak bisa menghindar karena ia sudah berjanji bahkan sebelum tahu kalau Naina adalah anak pemilik yayasan yang memberinya beasiswa sekolah kedokteran hingga ke Jerman.