Sepeda yang dipesan Naina dan Clarisa akhirnya selesai dibuat selesai lebih awal dari target. Hanya sepuluh hari. Dan hal itu membuat Naina juga Clarisa tak sabar untuk segera menguji sepeda yang mereka pesan.
Kembali ditemani Gatot, Naina dan Clarisa di antar Bernand hingga sampai ditoko semetara Gatot menyusul dengan sepedanya.
Ketiga orang itu ternyata memiliki hobby yang sama, bersepeda jarak jauh. Karena itu Naina dan Clarisa memilih sepeda balap yang dapat menunjang hobby mereka dengan baik.
“Kirain nggak dateng tuh si Gatot kaca beling.”
Naina hanya geleng kepala mendengar dumalan Clarisa meski yang sebenarnya terjadi, Clarisa sedikit terpukau dengan stelan yang dikenakan pria itu.
Pakaian olah raga yang pas ditubuh serta kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya membuat Gatot terlihat menarik di mata Clarisa.
Buru-buru gadis itu menggelengkan kepala takut ketauan memikirkan apa yang bisa membuatnya diledek Naina nanti.
“Ganteng, ya?”
“Apa, sih?”
“Sana masuk duluan! Ketauan nanti malu loh.”
Clarisa sudah ingin mengentakkan kaki seperti biasanya jika sedang kesal. Naina melotot memperingatkan.
Clarisa nyengir, baru ingat hal yang terjadi sebelumnya, karena itu ia urung melakukan kebiasaan yang bisa membuat orang-orang nantinya merasa curiga dengan keberadaan mereka.
“Sory!”
Clarisa langsung ngibrit ke dalam toko semenara Naina tergelak lalu menghampiri Gatot lebih dulu agar Clarisa bisa menyiapkan diri.
Berhari-hari mengenal Gatot membuat Naina tahu banyak tentang kekuatan pria itu. Karenanya ia juga menjaga hubungan Clarisa dan Gatot yang masih tidak akur.
“Cepet juga jadinya?”
Naina menganguk. “Jadi hari ini kita mau ke mana?”
“Nanti lihat saja.”
“Aman nggak buat tempat latihan Clarisa? Takutnya orang daddy ngikutin?”
Gatot sedikit terperangah sesaat. Ia lupa Naina bukan orang yang mudah dibodohi. Ia pasti hanya berusaha menjaga perasaan orangtuanya termasuk keberadaan Gralenda.
“Aman. Mereka nggak akan bisa lihat kita.”
Naina jadi penasaran. “Nggak bisa dilihat?” Gatot mengangguk sambil berjalan di samping Naina.”
“Kamu mau belajar juga?”
“Mas Gatot tahu?”
Pria itu tersenyum kecil. “Selebung yang kamu buat di rumah itu masih belum aman. Mahluk yang tempo hari kamu lihat bisa merusak selubung itu.”
Naina manggut-manggut. “Kamu masih ketemu kakek Kiai tetangga kamu?”
Naina menghentikan langkah. “Dari mana Mas Gatot tahu?”
Gatot hanya tersenyum. Naina jadi semakin penasaran, sehebat apa kekuatan pria di hadapannya ini sampai-sampai dia tahu sejauh mana Naina dan kekuatannya.
“Mas!”
Gatot langsung menepis tangan Naina. Namun kali ini dengan wajah yang lebih ramah dan sedikit sungkan.
“Maaf.”
Gatot tentu saja menghindari sentuhan dengan Naina karena gadis itu nantinya bisa menerawang dirinya.
“Iya, aku juga reflek.”
“Aku sempet mimpi aneh. Dan semalam mimpi itu datang lagi.”
Gatot terdiam sambil terus menatap Naina dengan serius. Sementara Clarisa yang sudah berada di dalam memperhatikan keduanya dengan seksama.
Clarisa berdecak. “Kirain iya nyuruh duluan biar aku nggak ketauan ngecengin dia, eh!” Clarisa menepuk mulutnya yang lancah. “Begok!”
Clarisa lantas melihat-lihat sambil aksesoris dan pakaian untuk bersepeda ditemani seorang pelayan toko sambil menunggu Naina dan Gatot masuk.
Sementara itu Naina dan Gatot yang tampak masih bebicara akhirnya menyudahi obrolan mereka.
“Nanti saja. Di sini nggak aman kalau kita bicarakan mahluk itu.”
Naina mengangguk setuju lalu masuk ke dalam dan menemukan Clarisa sedang memilik-milih.
Gatot memilih menyapa pemilik toko yang kebetulan ada di sana dan mengobrol sementara kedua gadis itu memilih semua hal yang diperlukan sebelum mencoba sepeda mereka nanti.
“Lama banget tadi ngobrolnya.”
Naina menoleh sambil mengulum senyum tipis. Clarisa bicara sambil melihat-lihat helm yang dipegangnya.
“Cieeee… ada yang cemburu.”
“Apa, sih?”
“Ssssttt! Nanti ketauan. Mas Gatot ternyata jauh lebih tinggi dari aku kekuatannya loh. Tadi aja–“
“Naina!!!” Clarisa berteriak. Dan hal itu membuat waktu di sekitar mereka berhenti.
Gatot berdecak lalu menjentikkan jarinya agar semua kembali berjalan normal seperti biasa.
“Kamu, sih!”
Naina hanya mengulum tawa. Ia memilih diam daripada menggoda Clarisa dan terjadi lagi hal seperti barusan.
Clarisa belum bisa mengendalikan kekuatannya dan kekuatannya sendiri belum bisa dipastikan sejauh mana manfaatnya.
Karena itu Naina tidak mau terjadi hal yang tidak diinginkan dan membuat situasi di sekitar mereka malah jadi kacau.
Mereka pun fokus memilih semua perlengkapan dan pernah pernik untuk sepeda baru mereka sebelum akhirnya mencoba sepeda tersebut.
“Ada yang kurang?” tanya Gatot sambil memeriksa sepeda mereka bergantian.
“Rem belakang kayaknya terlalu kerasa, Mas. Kalau pas kecepatan tinggi rem dadakan bisa jungkir nih.”
Gatot mengangguk lalu meminta mekanik memeriksa dan mensetting ulang hingga Naina memberi simbol okay dengan ibu jari dan telunjuknya.
“Mau pulang dulu ganti baju?” tawar Gatot.
“Nggak, Mas. Kita bawa baju ganti kok. Ada di mobil.”
Gatot mengangguk. Clarisa sudah kembali sambil membawa tas yang memuat perlengkapan bersepeda yang mereka bawa dari Indonesia.
Kali ini gantian Gatot yang terpukau melihat Clarisa dalam balutan pakaian yang pas di tubuhnya. Rambut yang biasa digerai juga diikat dan membuat wajah Clarisa terlihat lebih cantik.
Gatot berdeham sambil memalingkan sedikit wajahnya. Untung saja kedua gadis itu tidak menyadari sikapnya yang salah tingkah.
“Yuk, Mas. Langsung aja. Bernand udah aku suruh pulang.”
Gatot mengangguk. Tapi kemudian Claris berseru lebih dulu, membuat mereka tidak jadi mengayuh sepedanya.
“Kenapa?”
“Aku baru sadar kok Mas Ber nggak marah atau siaga waktu dia ke rumah dan sekarang barengan sama kita?”
Naina dan Gatot saling tatap. Naina memang belum menceritakan pada Clarisa tentang mimpi yang sama yang sudah dua kali mendatangi tidurnya hingga ia mencari tahu tentang Gatot dan sempat bertanya.
Karena itu, saat Naina melihat mahluk di kampus mereka tempo hari, Naina yakin kalau mimpinya bukan hanya sekadar mimpi karena di dalam mimpi itu mahluk yang dilihatnya ada dan terlihat seperti benar-benar menyerangnya.
“Ya ‘kan aku udah jelasin sama Bernand.”
Clarisa manggut-manggut saja. Lalu mereka melanjutkan perjalanan.
Gatot sengaja memilih jalur menuju pedesaan yang jalannya sepi dengan kendaraan yang minim.
Clarisa merentangkan kedua tangan karena terlalu riang melihat jalanan pedesaan yang sangat indah.
Gatot berjalan di depan mereka untuk menjaga sementara Naina berada di paling belakang agar Clarisa lebih aman.
Namun, di sebuah belokan tak terduga tiba-tiba saja melintas gumpalan awan hitam dengan kecepatan cepat, membuat Clarisa yang tidak siap dan kaget jatuh.
“Clarisa!”
Naina menyandarkan sepedanya di pagar pembatas sebelum berlari menghampiri Clarisa yang tertindih sepedanya.
Sementara Gatot berhasil yang mengendalikan sepedanya dan melesat cepat menghampiri Clarisa.
“Kamu nggak papa?”
Sikut Clarisa terlihat lecet. Begitu pun dengan lututnya. Namun tidak ada luka lain yang lebih parah setelah Gatot mengusapkan telapak tangannya di atas tubuh Clarisa.
“Nggak ada yang luka.”
Naina mengambil P3K di sepeda Claris lalu mengelurkan alkoho* swab untuk membersihkan luka Clarisa.
Naina juga melihat sekitar lebih dulu sebelum mengarahkan telapak tangannya ke luka-luka Claris, meyalurkan energi tubuhnya agar luka Claris tidak terasa perih dan sakit.
Barulah setelah itu Naina memasangkan plester di atas luka Clarisa.
“Lo, sih, belok mendadak.”
Belum sempat Gatot membela, gumpalan awan hitam yang semula melesat cepat itu datang lagi dan siap menyerang.
“Belakang kamu, Mas!” Gatot berbalik dan membuat perisai yang kemudian diarahkan pada mahluk itu.
“Nai, belakang kamu!” Clarisa memekik.
Naina melakukan hal serupa namun perisai yang dibuatnya tidak sekuat milik Gatot dan Naina pun kalah.
“Naina!”
Gatot yang mendengar hal itu mengerahkan kekuatan lain dan berhasil mumukul mahluk di depannya mundur.
Namun karena mahluk itu semakin banyak dan akhirnya mengerubungi mereka, Gatot mulai kewalahan.
Naina berusah melakukan apapun yang bisa ia lakukan untuk membantu Gatot sementara Clarisa yang tidak tahu harus melakukan apa hanya bisa panik hingga akhirnya ia berteriak kencang sambil menutup mata.
Seketika itu suara dentuman kerasa terdengar dan membuat kondisi jalan di sekitar mereka berguncang.