Naina mengetuk pintu kamar Clarisa yang masih bergelung dalam selimut.
“Clarisa! Clarisa!”
“Ahhhhhh!”
Naina langsung menerobos masuk untuk memastkan kondisi Clarisa yang terdengar menjerit.
“Kamu kenapa?”
Dilihatnya Clarisa seperti orang yang syok sambil menangkup bibirnya dengan telapak tangan.
“Clarisa!” Naina mengguncangkan bahu sahabatnya itu berulang kali. “CLARISA DIANA!”
Teriakan Naina bahkan membuat tempat tidur Clarisa berguncang-guncang.
“Aduh, stop! Nai, ngapain teriak, sih? Kalau tetangga denger dikira gempa nanti.”
Naina berdecak. “Kamu lupa. Aku udah bikin pagar transparan di rumah ini.”
Clarisa mendesah kasar sambil menepuk-nepuk dadanya.
“Kamu sih aku panggil-panggil nggak nyahut. Malah teriak. Kamu kenapa? Mimpi buruk?"
Clarisa menatap Naina yang tampak cemas.
Mimpi buruk? Entahlah bisa disebut atau bukan. Hanya saja orang yang ada dalam mimpi Clarisa adalah orang yang tidak ingin ia lihat.
“Nggak. Kaget aja, aku mimpi jatoh dari sepeda,” kilahnya.
“Ya udah bangun. Nanti jodohnya om-om kalau kata Mommy.”
Clarisa tergelak sambil menyibak selimut lalu membereskan tempat tidurnya.
“Ya, kalau om-omnya kayak Kim So Hyun mah ya nggak papa.”
Naina berdecak. “Gong yoo dong!”
“Duh, itu ketuaan buat kita harusnya jadi bapak kita itu.”
“Nggaklah. Yang penting ‘kan ganteng. Nggak malu-maluin diajak kondangan.”
Mereka tergelak bersama. Hanya sesaat karena bel pintu ditekan seseorang. Naina dan Clarisa saling tatapan kemudian.
“Miss Grelanda kali.”
Naina manggut-manggut sebelum akhirnya keluar kamar dan membukakan pintu.
Namun di luar dugaan, yang datang justru Gatot. Pria yang tak diduga sama sekali oleh Naina.
“Kamu? Ada barang yang ketinggalan lagi?”
Gatot menggeleng. “Saya boleh masuk?”
Naina membukakan pintu lebar-lebar lalu mempersilakan Gatot duduk di ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang keluarga.
“Mau minum?” Gatot hanya menggeleng. “Kamu ada perlu apa ke sini?”
“Clarisa datang ke apartemen. Dia minta tolong sama saya.”
Naina mengerutkan sebelah alisnya. “Clarisa nemuin kamu?” Gatot mengangguk. “Minta tolong?” Kali ini dibalas gumaman. “Minta tolong apa?”
“Kalian mau beli sepeda?”
“Clarisa yang bilang?”
Gatot mengangguk lagi. Naina agak kewalahan menghadapi pria introvert yang irit bicara itu.
“Dulu saya atlet pesepeda. Tapi karena cidera, saya berhenti dan melanjutkan S2 di sini,” terangnya singkat padat dan jelas.
“Oh, gitu. Kamu mau bantu kami carikan sepeda yang bagus?”
Gatot mengangguk lagi. Naina mendesah dalam hati. Ingin bicara tapi ia tahu Gatot juga memiliki kekuatan telepati seperti ia dan Clarisa.
“Clarisa kok nggak cerita, ya? Memangnya kapan dia ketemu kamu?”
“Kemarin sore.”
Kemaren sore, artinya setelah belanja sama Miss Grelanda dan Bernand.
Kali ini Naina membiarkan Gatot mendengar apa yang ia gumamkan dalam hatinya.
“Hari ini nggak kuliah memangnya?”
“Sore sampai malam,” jawabnya singkat dan padat.
Naina agak merasa lelah menghadapi orang seperti Gatot meski ia sendiri adalah tipikal orang yang gesit, praktis, simpel dan tidak bertele-tele.
Namun Naina tahu cara mencairkan suasan jika bertemu dengan orang-orang yang menyenangkan. Dan Gatot ini sepertinya masuk dalam salah satu kategori orang tidak menyenangkan.
Untunglah di tengah perasaan tak karuan itu bel pintu rumahnya kembali di tekan.
Naina bergegas membukakan pintu dan muncullah Miss Grelanda di sana.
“Lho, kok tumben Miss ke sini pagi-pagi?”
“Iya. Kemarin Nyonya menelepon dan bertanya. Saya jelaskan semua yang kita sepakati. Jadi Nyonya minta saya lebih pagi ke sini untuk membuatkan sarapan. Tapi hari ini saya bisa menginap karena orangtua saya sedang pergi ke Austria. Mereka menjengguk adiknya yang sedang sakit,” terangnya.
Naina mendesah pelan. Grelanda memang membawa bayinya hari ini. Tapi kemudian Naina tersenyum melihat bayi berusia enam bulan itu terkekeh padanya.
“Kamu cantik sekali.”
Dengan bahasa bayinya, tangan bayi Grelanda meraih jemari Naina. Gadis itu segera mengalirkan energi hangat ketika merasakan jari jemari mungil itu terasa dingin.
Wajah bayi Grelanda pun seketika terlihat lebih cerah dan memerah. Hanya Gatot yang bisa melihat apa yang dilakukan Naina. Dan tepat saat itu juga Grelanda menoleh dan menganggukkan kepalanya ke arah Gatot.
“Kalian pasti belum membuat sarapan ‘kan?”
“Iya.”
Naina sengaja tidak memperkenalkan Gatot pada Grelanda. Ia sudah bisa menebak kalau Gatot sudah tahu siapa Grelanda. Terlihat dari sorot mata pria itu yang bisa dibaca jelas oleh Naina.
“Ya sudah kalau begitu. Kita buat sarapan bersama agar kamu tahu apa yang biasa kamu makan.”
Grelanda mengangguk lalu minta izin untuk membawa box dan barang-barang bayinya.
“Biar aku yang gendong bayimu,” ujar Naina lalu menatap ke arah Gatot. “Kamu bisa membantu Miss Grelanda?”
Gatot langsung bangun dan mengikuti Grelanda ke arah mobilnya.
Tak lama setelah itu Clarisa turun dan langsung berteriak histeris melihat Naina menggendong bayi yang menggemaskan.
“Anak Miss Grelanda?” Naina mengangguk. “Miss Grelandanya ke mana?”
“Lagi ambil barang-barang. Katanya hari ini dia mau nginep. Orangtuanya lagi ke luar negeri nengok adiknya yang sakit.”
Clarisa manggut-manggut saja. Ia hendak keluar dan membantu Miss Grelanda membawa barangnya namun terhenti ketika melihat siapa yang ada di belakang Miss Grelanda.
Buru-buru Clarisa menghampiri Gatot dan menahannya.
“Ngapin ke sini?”
“Lupa perjanjian kita kemarin.”
“Tapi nggak langsung gini juga.”
“Kenapa? Takut ketauan sahabat kamu?”
Clarisa berdecak. “Awas lo, ya, macem-macem.”
“Point pertama, gada elo gue dalam percakapan.”
Clarisa melotot. “Naina bisa curiga kalau kita langsung akrab gini. Lo ‘kan musuh gue.”
Gatot mengedikkan bahu sambil memberikan satu barang yang dipegangnya.
“Point dua, Satu kali melanggar sama dengan satu hukuman.”
“Perjanjiannya kalau depan orang aja. Nggak lagi berdua gini. Gimana sih, lo? Lo yang lupa ogeb!”
“Harus dibiasakan. Nanti keceplosan.”
Clarisa mengentakkan kakinya kerasa ke tanah. Namun tiba-tiba hal itu membuat guncangan hingga menyebabkan tubuh Gatot sampe oleng.
Baik Clarisa maupun Gatot saling menukar tatapan. Clarisa tampak membelalak namun Gatot terlihat tenang meski tatapannya menyelidik.
“Sejak kapan kamu punya kekuatan lain?”
Clarisa menggeleng. “Kekuatan gue ‘kan cuma bisa denger suara batin orang dan liat hantu aja. Kenapa…”
Kalimatnya menggantung. “Jangan bilang dulu sama Naina.”
“Kenapa?”
“Sepertinya ini sementara. Dipengaruhi emosi kamu. Itu artinya kamu harus bisa mengendalikan emosi kamu.”
“Gimana gue bisa ngendaliin emosi kalau depan gue cowok nyebelin kayak elo? Huh!”
Lagi-lagi Clarisa mengentakkan kakinya ke tanah dan membuat getaran yang lebih besar dari sebelumnya.
“Clarisa!”
“Bodo!”
Gadis itu mendumal sambil berjalan ke dalam rumah dan membawa barang milik bayi Miss Grelanda.
“Keras kepala,” dengus Gatot lalu memanggul box bayi yang dibawa Miss Grelanda.
Tanpa keduanya ketahui, Naina yang bisa menerawang tentu saja mengetahui pembicaraan keduanya.
Meski ada yang membuatnya penasaran, namun senyum di wajah Naina menunjukkan kalau ia suka melihat interakhir sahabatnya dan Gatot.
“Akhirnya, ketemu pawangnya juga,” lirih Naina lalu menunduk menatap bayi Miss Grelanda yang terkekeh dengan bahasa bayinya.
“Kamu juga tahu?” Bayi itu menjawab dengan cara yang sama. Membuat Naina jadi gemas dan ingat ketika adik-adiknya masih bayi.
“Kau menggemaskan sekali. Aku jadi rindu adik-adikku. Tapi mereka sudah besar. Tidak bisa kuperlakukan sepertimu sekarang.”
Miss Grelanda tersenyum melihat bayinya yang langsung akrab dengan Naina.
“Kita masak sekarang?”
Naina mendongak. “Ah, iya. Bayimu?”
“Ada high chair. Dia bisa menuggu sambil makan biskuit. Itu kegiatan favoritnya.”
Naina mengangguk lalu bangun dan bertepatan dengan Clarisa yang masuk.
“Clarisa, jagain bayi Miss Grelanda. Aku mau ngasih tahu cara masak sarapan kita ke Miss.”
“Okay!”
Clarisa lalu meraih bayi itu dan memangkunya. Ia tampak nyaman berada dalam gendongan Clarisa.
Namun kedatangan Gatot dengan wajah lempeng dan dinginnya membuat Clarisa mendengus sebal.
Clarisa bangun dan hendak pergi ke dapur, namun tiba-tiba saja gerakannya yang tak seimbang membuat gadis itu oleh dan jatuh ke atas sofa.
Harusnya Gatot membiarkan saja Clarisa jatuh ke sofa. Toh tidak akan membuat Clarisa celaka.
Namun entah kenapa ia reflek melesat dan meraih Clarisa dengan cepat hingga akhirnya Clarisa terduduk di pangkuannya.
Momen itu membuat mereka saling tatap kikuk hingga akhirnya Clarisa bangun dan pergi dengan wajah kesal.
“Nyuri-nyuri kesempatan banget, sih. Dasar Gatot kaca beling!”
“Kamu kenapa, Clarisa?” tanya Naina ketika melihat gadis itu mendudukkan bayi Miss Grelanda di atas high chair dan menemaninya.
“Nggak papa. Mimpi buruk aku nyambung.”
Naina hanya mengerutkan kening lalu lanjut memasak bersama Miss Grelanda meski diam-diam gadis itu tersenyum sambil membelakangi sahabatnya.