Clarisa langsung merapihkan pakaiannya sebelum pergi meninggalkan Gatot dan seorang pria bule yang berdeham sebelumnya.
“Dia keksihmu?”
Gatot melotot. “Jangan menyebar gosip.”
“Kenapa? Sepertinya kalian dari negara yang sama. Dia juga cantik. Dan lagi, apa yang kalian lakukan tadi sampai–“
Gatot menjentikkan jarinya di depan wajah dan seketika itu juga temannya tersebut tak terdengar suaranya lagi meski mulutnya terus terbuka dan bicara.
Tantu saja hanya Gatot yang tidak bisa mendengar ucapan teman satu kelasnya itu sementara orang lain di sekitar mereka masih bisa mendengar apa yang diucapkan temannya tersebut.
Sementara itu Clarisa yang takut dicari Naina bergegas menghampiri gadis itu di kelas mereka.
“Kamu dari mana?”
“Hah?”
“Kamu dari mana? Kenapa ngos-ngosan begitu? Kayak habis ngejar maling.”
Tentu saja, fakultas tempat Gatot berkuliah berbeda dengan fakultas tempat Naina dan Clarisa berkuliah. Karena itu gedung mereka berjauhan.
“Aku penasaran, jadi tadi aku ke gedung fakultas di ujung.”
Naina melotot. “Penasaran apa sampai bikin kamu ke sana?”
Clarisa mengedikkan bahu bertepatan dengan dosen yang masuk sehingga Naina tidak bisa menanyakan apapun lagi padanya.
Setidaknya untuk saat ini. Agar ia bisa memikirkan alasan lainnya jika nanti Naina masih bertanya.
Mereka pun melanjutkan perkualiahan hingga sore hari. Bernand sudah standby di mobil dan menunggu kedatangan mereka.
Namun Clarisa dan Naina yang ingin makan malam di luar meminta Bernand mengikuti kendaraan umum yang mereka naiki.
Barulah ketika tidak ada kendaraan umum lagi yang bisa mengantar mereka ke rumah, keduanya menaiki mobil yang dikendarai oleh Bernand.
Sampai di rumah, keduanya langsung beristirahat dan melakuka aktifitas seperti biasanya.
Namun keesokannya, mereka yang selesai berkuliah sampai siang merasa heran karena sebelumnya pintu rumah dikunci. Tapi kali ini pintu rumah kembali terbuka tanpa perlu membuka kunci.
“Kamu nggak ngunci pintu?”
“Kamu lihat sendiri tadi aku ngunci pintu.”
“Iya, sih,” jawab Clarisa.
Naina lantas menengadahkan telapak tangannya ke atas. Dari sana keluar cahaya berwarna kekuningan yang membentuk bulatan kecil.
“Wow. Yang ini–“
“Sssttt! Pegang tangan aku.”
Clarisa mengangguk. Ia memang selalu terlihat antusias setiap kali Naina mengeluarkan kekuatan telekinesinya yang bisa memancarkan cahaya.
Mereka lantas berjalan perlahan sambil membuka pintu tanpa menimbulkan suara sama sekali karena kekuatan Naina yang terhubung pada Clarisa.
“Kayaknya di dapur,” bisik Clarisa. “Tapi nggak mungkin Mommy ‘kan? Mommy udah pulang.”
Naina mengangguk setuju, mereka meneruskan langkah hingga akhirnya tiba di dapur dan mengintip di balik dinding.
Seorang perempuan berambut pirang sedang membelakangi mereka sambil mencuci piring.
Di meja, sudah tersedia masakan yang terlihat sangat enak. Apalagi masakan itu masakan khas Indonesia.
Naina dan Clarisa saling tatapan sebelum akhirnya ia bertanya pada perempuan itu dalam bahasa Jerman.
“Anda siapa?”
Perempuan itu menjenggit kaget bahkan hampir melempar peralatan masak yang ia cuci.
Clarisa yang reflek melihat itu lebih dulu langsung mengarahkan tangannya ke depan dan menjatuhkannya ke dalam bowlsink.
“Yes!” Gadis itu berseru senang karena bisa meminjam kekuatan sahabatnya meski tak sebesar yang Naina miliki.
Naina geleng kepala lalu melepaskan tangan mereka dan menghampiri perempuan itu.
“Anda siapa?”
“Saya Grelanda. Saya asisten rumah tangga yang ditugaskan Nyonya Lala untuk membantu di sini.”
Naina mendesah pelan. Dia sudah pernah bilang kalau dirinya tidak ingin diberikan pembantu.
Naina bisa memasak sendiri dan membersihkan rumah mereka seminggu sekali.
Apalagi peralatan rumah tangga saat ini sudah semakin moderen dan canggih, membuat beban pekerjaan rumah menjadi lebih ringan dan bisa dikerjakan tanpa perlu mengeluarkan tenaga extra.
Namun jika Naina menolak, Lala akan membuatnya lebih pusing lagi dengan hal lain yang akan dilakukannya sampai Naina menyerah.
Karena itu Naina menurut saja. Mereka mengajak Grelanda makan siang sambil mengobrol dengan perempuan yang ternyata masih berusia tiga puluh tahun itu.
Naina tidak tahu saja Gleranda juga tentara bayaran yang ditugaskan Janu untuk menjaga keduanya di dalam rumah.
“Apa kau akan tinggal di sini?” tanya Clarisa.
“Tidak. Aku akan datang setelah kalian pergi ke kampus. Membersihkan dan mengerjakan pekerjaan rumah, memasak makan siang. Setelah itu aku pulang ke rumah lebih dulu. Aku masih memiliki bayi yang dijaga oleh ibuku. Sebelum makan malam aku akan kembali dan membuatkan makan malam untuk kalian.”
Naina menggeleng. “Tidak perlu. Kau bekerja saja sampai siang. Setelah itu kembalilah besok lagi. Soal makan malam, biar aku dan Clarisa yang membuat. Kami juga bisa memasak.”
“Tapi Nyonya Lala memintaku untuk–“
“Naina benar. Bayimu pasti lebih membutuhkanmu. Lagipula, Mommy tidak akan tahu. Dan kami juga tidak akan membocorkannya. Bagaimana?” timpal Clarisa.
Grelanda menatap keduanya dengan tatapan bingung agar tidak membuat keduanya curiga kalau ia adalah tentara bayaran seperti Bernand.
“Apa hal ini tidak akan jadi masalah? Aku tidak nyaman menerima bayaranku nantinya.”
“Tidak masalah. Itu kesepakatan antara kita. Dan aku janji, Mommy juga tidak akan marah jika tahu.”
Grelanda mengangguk saja. Toh nantinya ia sendiri akan melaporkan hal ini pada Lala secara langsung.
“Baiklah. Terima kasih untuk kebaikan kalian.”
“Sama-sama,” jawab Naina dan Clarisa kompak.
“Oh, ya. Sayuran dan bahan-bahan makanan lain sudah hampir habis. Sepertinya aku harus berbelanja.”
Naina segera mengeluarkan dompet dan memberikan kartu kredit yang diberikan janu padannya pada Grelanda.
“Kau pegang ini saja. Ini kartu yang diberikan Daddyku khusus untuk kebutuhan rumah. Kamu boleh menggunakannya tanpa perlu minta izin. Jika kamu perlu sesuatu juga beli saja. Apalagi jika itu untuk kebutuhan bayimu. Dan setelah makan siang, kita akan berbelanja.”
“Aku aja, Nai. Biar aku yang temenin Miss Grelanda.”
“Bareng-bareng aja.”
“Kamu di rumah aja. Katanya tadi mau bikin puding jagung. Masih ada jagung di lemari es kan Miss Grelanda?” tanya Clarisa.
“Iya. Tadi aku lihat masih ada dua buah.”
“Nah, kamu bikin aja itu. Jadi sampe rumah aku udah tinggal maka.”
“Dasar!”
Naina berdecak sementara Clarisa terkekeh sambil merangkul sahabatnya dari samping.
“Biar aku yang cuci piring. Kalian pergi saja.”
“Kunci dulu pintunya,” jawab Clarisa.
Bernand mengantar Grelanda dan Clarisa ke supermarket. Clarisa menunjukkan bahan makanan apa saja yang wajib mereka berli beserta bumbu-bumbunya.
Setelah itu mereka pergi ke tempat lain di mana di sana menjual banyak bahan makanan dan bumbu khas Indonesia.
Setelah selesai berbelanja, Clarisa minta diturunkan di sebuah apartemen yang biasa disewa mahasiswa asing yang berkuliah di kampus mereka.
“Aku ke dalam sebentar, ya. Aku harus menemui temanku.”
Grelanda dan Bernand hanya mengangguk dan menunggu di mobil sesuai perintah.
“Sepertinya dia akan menemui pria itu bukan?”
Bernand mengangguk. “Dia memang tinggal di sini.”
“Kau tahu?”
Bernand mengangguk lagi lalu keduanya memperhatikan Clarisa yang terlihat menaiki tangga apartemen dari kaca gedung.
Hingga tiba di lantai yang dituju, Clarisa langsung memencet bel pintu apartemen dengan nomor unit tiga puluh tiga itu.
Sang empunya membuka pintu tanpa melepas gerendelnya sehingga pintu hanya terbuka sedikit.
“Dari mana kamu tahu apartemen ini?”
“Dari temen elo.”
Gatot mengerutkan kening, mencari-cari siapa temannya yang mengatakan alamat rumahnya pada Clarisa.
Dari sana mereka saling bicara dan Clarisa mengatakan kalau ada hal yang harus ia diskusikan dengan Gatot.
“Aku tidak mau ada urusan dengan kalian.”
“Harus mau!”
“Siapa kamu memerintahku?”
“Elo mau gue bikin beasiswa lo dicabut?”
Gatot dibuat membelalak. “Apa maksudmu?”
Clarisa memasukkan kakinya di antara celah pintu yang terbuka.
“Buka dulu. Nggak sopan banget lo ngebiarin tamu bicara dengan posisi di luar kayak gini.”
“Tidak ada. Kalau mau bicara, bicara saja di–“
“Sayang, kenapa kamu melakukan ini? Aku kan sudah minta maaf. Aku tidak sengaja membuat pakaian kesayangamu rusak. Aku janji akan menggantinya tapi izinkan aku masuk. Aku rindu padamu.”
Gatot melongo. Tiba-tiba saja Clarisa berakting dan membuat penghuni apartemen yang melintas jadi menoleh pada mereka.
“Apa-apaan kamu?” geramnya dalam bahasa Indonesia.
Namun Clarisa hanya mendengus tipis dan kembali melanjutkan aktingnya, bahkan hingga menangis kencang.
Sialnya air mata perempuan itu benar-benar keluar seperti orang yang menangis betulan.
Apa gadis ini artis? Batin Gatot bisa didengar Clarisa tentunya.
“Sayang.”
Gatot berdecak karena semakin banyak penghuni apartemen yang satu lantai dengannya mulai keluar dan mencari tahu.
Ia terpaksa membukakan pintu dan membiarkan Clarisa masuk melihat apartemen kecilnya yang super duper rapih. Clarisa sampai melongo hingga berceletuk,
“Elo punya OCD?”
“Maksudmu?”
“Ini rapih banget tau nggak. Kamar cewek aja jarang serapih ini.”
Ya, semua barang tertata rapih dan tampak presisi. Membuat siapapun yang melihat pasti akan mengatakn hal yang sama seperti yang Clarisa katakan.
Gatot hanya berdecak. “Cepat katakan apa yang ingin kamu katakan! Dan setelah itu–“
Clarisa malah pergi ke pantry, menarik kursi dan duduk sambil meminum air putih yang ia ambil dari dalam kulkas.
“Kamu!”
“Gue haus. Elo nggak sopan banget membiarkan tamu kehausan.”
“Jangan banyak bertingkah. Cepat katakan atau aku akan–“
“Jelasin dulu sama gue apa yang kami lihat kemarin?”
“Kenapa aku harus menjelaskannya padamu?”
Clarisa nampak serius. “Setelah kejadian itu gue dengar seseorang bicara. Dari apa yang dibicarakannya, dia sepertinya mengetahui tentang kita.”
“Kita?”
Clarisa mengangguk. “Kurang lebih dia bilang hal yang membuat gue merasa kalau dia tahu di antara kita memiliki kekuatan di luar kemapuan orang biasa.”
Gatot jadi tertarik lalu menarik kursi dan duduk di depan gadis itu.
“Lalu?”
“Gue nggak bisa menemukan orangnya. Tapi firasat gue bilang kalau di kampus ada hal yang membahayakan. Terutama buat Naina.”
Gatot masih memperhatikan ucapan Clarisa.
“Kami pergi ke sini justru untuk menghindari hal-hal kayak yang terjadi kemarin. Tapi sepertinya gue salah. Gue takut ada bahaya yang lebih besar dan hal itu bisa membuat…”
Clarisa menangis. Dan kali ini tangisan gadis itu nyata. Gatot bisa memastikan ada kesedihan dan ketakutan yang terlihat pada sorot mata gadis di hadapannya itu.
“Lalu apa yang ingin kamu inginkan dariku?"
"Gue pengen Elo melindungi Naina."
"Melindunginya dari apa?"
"Dari apapun yang bisa mengancam nyawanya. Terutama arwah gentayangan yang suka minta tolong kayak si hantu bule waktu itu atau makhluk-makhluk yang kita lihat kemarin. Naina nggak boleh berdekatan dengan mereka. Energi kehidupannya bisa lemah dan Nyawanya bisa terancam. Gue mohon, tolong gue."
Gatot terdiam sambil menatap Clarisa yang ia tahu kali ini tidak berbohong sama sekali.
"Baiklah."
Clarisa mendongak dan menatap Gatot tak percaya. Ternyata tidak sulit membujuk pria menyebalkan yang selama ini selalu membuatnya kesal sejak pertama kali mereka bertemu.
"Elo nggak bohong 'kan?"
"Tapi ada syaratnya?"
"Udah gue duga. Elo orang yang nggak bisa dimintai pertolongan gratis."
"Apa kita sedekat itu sampai aku harus menolongmu tanpa bayaran? Bukankah yang kujaga dalaha nyawa temanmu?"
Clarisa berdecak. "Ya sudah. Apa syaratnya? Kalau uang, gue bisa kasih. Tapi jangan banyak-banyak. gue nggak sekaya Naina," terangnya sambil menatap Gatot, menunggu apa yang akan dikatakan pria itu dengan seraut penasaran.