Perdebatan Sengit

1109 Kata
BSM 14 Nara hanya menggelengkan kepalanya saja tanpa berani bersuara. "Saya hanya menolong, tak baik seorang perempuan sendirian saja di tempat gelap seperti ini." Aksa menjawab dengan santainya. Kedua tangannya ia selipkan ke dalam saku jaket yang dipakainya. "Apa buktinya kamu hanya menolong tanpa memiliki niat yang jahat?" sela Naren cepat. "Mas, sudah! Jangan begini. Malu, Mas!" lirih Nara. Ia mencoba menghentakkan tangannya yang dicengkeram oleh Naren dengan erat. Tetapi gagal, pegangan tangan Naren terlalu kuat. "Saya hanya menolong, jika dia tak berkenan saya tak akan memaksa," ujar Aksa santai. "Permisi," sambungnya lagi. Aksa lantas berjalan menjauh dari tempat Nara dan Naren berdiri. Dengan langkah gontai dan setengah hati ia menjauh dari seorang perempuan yang diperlakukan kasar oleh pasangannya. Sebenarnya hatinya iba melihat wajah Nara tetapi melihat kerasnya sikap Naren membuat Aksa tak mampu berbuat apa-apa sekalipun ia memiliki niat yang baik. "Lepas, Mas! Pergi saja dariku! Jangan membuatku semakin tersiksa!" teriak Nara lantang. "Bagaimana aku akan pergi sementara kamu di sini sendirian?!" "Apa pedulimu?" sengit Nara. Foto yang ia lihat di aplikasi tadi membuatnya kembali tersulut. "Aku peduli padamu! Aku sayang! Aku cinta!" "Peduli? Sayang? Cinta? Tapi nyatanya kamu malah menggendong perempuan lain dalam dekapanmu! Bilangnya kamu nego buat bantu bilang ke mama untuk membatalkan perjodohan, tapi apa? Kalian sudah sedekat itu ternyata!" cecar Nara tak sanggup menahan perihnya hati. "Apa maksudmu?" Naren tak paham. Keningnya membentuk lipatan dengan pandangan tak lepas dari wajah Nara yang sudah basah dan sembab. "Bagaimana mungkin Mas tak paham maksudku? Sementara dengan sadar Mas menggendong dia di malam hari?" sembur Nara lagi. Naren terdiam. Mendengar kata gendong, sekelebat bayangan kejadian kemarin kembali menari dalam kepalanya. "Sudah cukup Mamamu memperlakukanku dengan kasar seperti tadi!" sambung Nara lagi sambil terisak. Ia tak kuasa menahan air matanya untuk tidak mengalir. Mendengar kata "Mama" disebut oleh Nara membuat pegangan tangan Naren merenggang. Sejenak ia lupa bahwa masalah yang sebenarnya ada pada keluarganya. Merasa mendapatkan kesempatan, Nara mengibaskan tangan Naren dengan cepat dan ia berlari menuju arah Aksa berjalan. Kepalanya celingukan mencari keberadaan Aksa hingga ia menemukan pemuda berjaket itu masih duduk di depan kemudi setir sambil mengamati ponsel di tangannya. "Mas, buka!" ujar Nara dengan tergopoh mengetuk kaca mobil milik Aksa. Ia segera masuk setelah kunci otomatis yang ditekan Aksa terbuka. "Aku masih boleh nebeng, kan?" tanya Nara takut-takut setelah berhasil duduk. Matanya menatap wajah Aksa dengan melas sambil tangannya memilin ujung baju yang dikenakannya. Nara gusar, duduknya tak tenang. "Boleh," jawab Aksa santai. "Ngga takut dimarahi pacar kamu lagi?" lanjut Aksa. Kepala Nara menggeleng lemah. Setelah itu terdengar helaan napas yang keluar dari bibirnya yang dibalut dengan liptint berwarna pink. "Oke kita pergi sekarang," ujar Aksa sambil menyalakan mesin mobil. Seulas senyum samar tercipta dari bibir Aksa. Narendra yang tengah merasa bersalah lalu bergegas menuju mobilnya terparkir setelah melihat sebuah mobil melaju dengan santai. Ia pun tak mau kehilangan jejak Nara dari pandangannya. Suasana parkiran mobil yang sunyi membuat deru kendaraan terdengar lebih kencang. Terlebih Naren mengendarai dengan sedikit cepat. Meskipun ia tak bisa mengantar Nara pulang, minimal ia harus memastikan bahwa Nara pulang dengan selamat. Sesuai janjinya dengan Ibu Nara saat berpamitan tadi. "Oh iya, kita belum kenalan." Pemuda itu mengulurkan tangannya setelah Nara terdiam beberapa saat. "Aku Aksa." "Naraya." Tangan Nara menerima uluran tangan Aksa dengan senyum yang sedikit dipaksakan. Perlahan Nara mulai tenang. Ia sedikit terhibur dengan sikap Aksa yang santai dan tak banyak bertanya soal kejadian tadi. Keduanya lantas berbincang sambil menikmati perjalanan. Aksa mulai penasaran dengan wajah Nara yang tak asing. Ia mulai mencari tahu asal usul Nara. "Ibuku seorang penjahit. Profesi yang dianggap rendah oleh orangtua kekasih saya." "Ah ya? Padahal penjahit itu keren loh! Ide kreatifnya bisa membuat siapapun yang memakai baju buatannya tampak lebih cantik." "Tapi sayang sekali, Mama Mas Naren tak berpikiran demikian." Wajah Nara memandang arah luar jendela dengan tatapan pias. "Nama kekasihmu Naren?" tanya Aksa. "Iya. Entahlah, bagaimana hubungan kami setelah ini. Ia akan dijodohkan dengan gadis pilihan Mamanya." Nara menatap mata Aksa sejenak, lalu kemudian kembali menunduk. Rasa sesak kembali merenggut kelegaan dalam rongga dadanya. Ia menghela napas dalam untuk menghalau air matanya agar tak lagi menetes. "Duh sedih dong pastinya? Maaf ya aku tak bermaksud mengingatkanmu." "Ngga apa-apa." Nara menunduk. Ia kembali teringat akan nasib kisah cintanya dengan Narendra. Kisah yang telah lama dirajut dan sudah menciptakan benih cinta dan rasa saling memiliki yang kuat membuat dadanya kembali terasa sesak. Nara terdiam dalam lamunannya. Hanya terdengar helaan napasnya saja dan gerakan tangan yang berulang kali mengusap pipinya yang basah. Perjalanan terasa lebih cepat karena memang jalanan sudah lengang. Jam di pergelangan tangan Nara sudah menunjukkan pukul sebelas lebih. Ia bahkan tak peduli pada pesan Ibunya yang telah menunggu balasan darinya sejak beberapa saat lalu. Sejak awal perjalanan tadi Nara sudah menyebutkan alamat rumahnya, sehingga Aksa tak perlu lagi banyak bertanya. Tiba-tiba mobil sudah berhenti di depan gang rumah Nara. "Ini yang mana rumahnya?" tanya Aksa memecah keheningan. Nara yang sejak tadi menunduk, reflek mendongak menatap jalan raya. "Masuk saja, Mas. Seratus meter dari gang. Ada plakat penjahitnya." Suara Nara yang parau membuat Aksa berinisiatif kembali mengajaknya bicara agar tidak larut dalam kesedihan. "Wah keren sudah ada plakatnya. Sudah lama Ibu kamu menjadi penjahit?" tanya Aksa penuh selidik. Ia mulai menebak-nebak siapa Nara sebenarnya. "Sudah lama. Sejak aku belum lahir. Barangkali Mas mau bikin baju, silahkan ke Ibu. Beliau penjahit profesional. Hasil jahitannya selalu memuaskan pelanggan." Nara sudah mulai bisa tersenyum walau tekesan dipaksakan. "Duh kamu pinter banget sih promosi?" Nara tersipu malu mendengar pujian Aksa. Entah mengapa Nara kali ini terasa mudah akrab dengan Aksa meskipun hatinya tetap sakit. Ia sedikit terhibur dengan sikap baik Aksa. Mobil berhenti tepat di depan rumah Nara. Aksa pun merasa tak asing dengan rumah Nara yang tak pernah berubah sejak ia kecil. Maklum, Ibunya yang janda hanya memprioritaskan pendidikan dan biaya hidup yang kian mencekik tiap harinya tanpa memikirkan renovasi rumah. Nara turun dari mobil setelah ia mengucapkan terima kasih. Akhirnya ia pulang degan selamat meskipun hari sudah larut. Tak pernah ia pulang selarut ini selama berpacaran dengan Narendra. Nara berjalan menuju teras dengan langkah gontai. Ia ragu hendak mengetuk pintu. Nara lalu terdiam di teras beberapa saat. Diujung gang, Naren tengah menatap Nara dengan hati lega. Secara tidak langsung ia telah memastikan Nara kembali pulang dengan selamat. Sesuai janjinya pada orangtua Nara. Setelah mobil Aksa kembali ke jalan utama, kini ganti mobil Narendra yang melintas di depan rumah Nara. Ia hanya ingin melihat keadaan kekasihnya itu sebelum meninggalkannya malam ini. Nara yang masih berada di depan pintu merasa tak asing dengan mobil yang melintas barusan. Nara mengamati mobil yang masih terlihat oleh mata kepalanya. "Mas Naren?" lirih Nara sambil memandang mobil yang baru saja melintas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN