Sebuah Foto di Sosial Media

1098 Kata
BSM 13 Naraya dilema. Maju salah. Mundur juga ia tak mampu mengingkari isi hatinya. Naraya hanya mampu menangis dalam kegelapan malam yang kian sunyi di luar bangunan mall. Naraya lelah. Ia lantas duduk di sudut gedung, bersebelahan dengan pintu keluar masuk area parkir mobil. Tempat itu cukup sunyi karena tiap mobil yang masuk memiliki jalan khusus untuk penumpangnya masuk ke area mall. Malam yang sunyi kian menambah syahdu rasa sakitnya yang tengah mendera. Naraya menikmati malam itu dengan terus menangis hingga air matanya kering. Ia menangis hingga tak lagi memiliki alasan untuk menangisi kejadian yang menimpanya. Seharusnya malam ini menjadi malam yang indah untuknya karena Narendra telah memberikannya hadiah barang mewah yang tengah diimpikannya. Tetapi kejadian tadi membuatnya tak lagi berselera untuk memiliki barang tersebut. Ucapan Bu Sarah cukup membuatnya terluka. Puas menangis, Nara membuka ponselnya. Sebuah aplikasi berlogo kamera miliknya tak sengaja tertekan. Gambar pertama yang ia lihat adalah gambar seorang lelaki tengah menggendong seorang wanita cantik dengan kedua tangannya. Senyum gadis itu terlihat natural. Gambar dalam layar itu tampak seperti sepasang kekasih yang tengah dimabuk asmara. "Mas Naren?" kagetnya saat melihat gambar tersebut. Matanya tak lepas dari ekspresi wajah laki-laki dalam gambar tersebut. "Jahat kamu, Mas! Katanya mau nego dengan dia biar mau bantu buat bilang ke mama untuk menolah perjodohan kalian, tapi nyatanya dibelakangku," ucap Nara sedih. Ia tak mampu menahan perih dalam dadanya. Dua kejadian sekaligus yang membuat hatinya terasa seperti luka yang diberi perasan jeruk nipis, perih. Melihat gambar itu, hati Nara semakin tercabik-cabik. Tak ada gunanya ia hidup jika Narendra pun belum apa-apa sudah berani menggendong perempuan lain saat malam hari. Dan dipublikasikan di media sosial pula. Naraya frustasi. Ia yang terluka segera berlari menuju jalan raya. Ia berlari kencang dengan wajah penuh air mata. Bahkan sorot lampu mobil yang hendak melintas pun ia abaikan hingga jarak keduanya hanya tinggal beberapa meter saja. "Awas, Mbakk!" teriak seseorang lantang. Seorang lelaki yang melihat kejadian berbahaya di depannya segera meraih tubuh Nara agar terhindar dari mobil di depan Nara. "Auuww!" pekik Nara saat tubuhnya dan seseorang yang mendekapnya terjatuh di jalan raya. Beruntung tak ada kendaraan lagi yang melihtas sehingga keduanya masih selamat. "Woii hati-hati kalau jalan!" hardik si pengemudi mobil yang hampir saja menabrak tubuh Nara. " Maaf, Pak." Pemuda itu menyahut. Dengan cepat pemuda itu berdiri dan membantu Nara untuk bangun dari posisinya terjatuh. Ia memapah tubuh gadis itu ke pinggir jalan untuk istirahat sejenak. "Kamu ngga apa-apa?" tanya pemuda tersebut setelah Nara duduk di sisi badan jalan. "Iya." Nara hanya mengangguk kecil. Nara kembali teringat akan foto Narendra dengan Fara. Air matanya kembali mengalir deras. Kedua tangannya tertelungkup menutup wajahnya yang basah. "Nih, kasihan tangannya basah karena air matanya," ujar pemuda itu sambil menyerahkan sapu tangan dengan tersenyum. Naraya terdiam. Ia menatap pemuda di sebelahnya dengan kening berkerut. Ada rasa takut dalam dadanya saat tiba-tiba seorang pemuda datang menolongnya dan mengajaknya duduk lebih dulu untuk menenangkan diri. Tetapi tak urung ia menerima uluran sapu tangan dari tangan pemuda itu meskipun dengan ragu-ragu. "Terima kasih." Naraya lalu mengusapkan sapu tangan itu ke permukaan wajahnya yang basah. Ia lantas mengurangi volume tangisannya karena rasa sungkan. Aroma sapu tangan itu harum, membuat hidungnya ingin terus menikmati wangi sapu tangan itu ketika menempel di wajahnya. "Jangan takut, saya orang baik-baik. Saya tak akan menyakiti kamu. Hanya saja tak baik seorang perempuan membahayakan keselamatan dirinya karena sebuah masalah yang masih bisa dicari jalan keluarnya." Pemuda itu mulai bersuara. Tetapi Naraya hanya diam mendengarkan. Meskipun tak menyahuti, ucapan pemuda itu sedikit membuat hati Nara tenang. Ia tak perlu khawatir pemuda itu akan berbuat buruk padanya. "Malam gini lari-larian sendiri di sini, ngga takut?" Naraya kembali tak menjawab. Ia hanya menggelengkan kepalanya sambil terus mengusap sisa air matanya. Pemuda itu menatap Nara tak berkedip. Ia mengamati wajah gadis di sebelahnya yang menyedihkan. "Adakah sesuatu yang menyakitkan yang membuat wajahmu terlihat semenyedihkan ini?" Naraya yang merasa terluka hanya mampu menatap pemuda itu tanpa sepatah kata pun. Ia ragu hendak bercerita. Tak elok rasanya jika asal mengumbar masalah pada orang yang baru saja dikenalnya. Pemuda itu dengan sabar menunggu Nara menjawab pertanyaannya. Ia tak memaksa barangkali Nara tak ingin bercerita. Hanya saja, ia ingin melindungi Nara yang malam ini terlihat menyedihkan di matanya. "Jika tak ingin bercerita tak apa, saya hanya menghawatirkan kondisi kamu yang berbahaya di tempat seperti ini seorang diri." Naraya mendegar ucapan pemuda itu dengan seksama. Tetapi ia hanya menunduk sedih. "Kamu dengan siapa ke sini? Sendirian saja? Mana temanmu?" tanya pemuda itu lagi. Naraya menggeleng. "Aku sendirian di sini." "Jika tak keberatan, mari saya antar pulang. Bahaya di tempat seperti ini seorang diri," tawarnya. Pemuda itu menatap mata Nara lekat. Ia merasa ada kemiripan antara wajah gadis ini dengan wajah gadis cilik yang ia beri permen dahulu. Tetapi bukan karena itu ia menolong, hati baiknya memang gemar menolong sesama sejak kecil. Naraya berpikir sejenak. Benar juga ucapan pemuda di sebelahnya. Ia kemudian mengangguk setuju. Gadis itu juga yakin bahwa pemuda di hadapannya ini adalah orang baik, mengingat sikapnya yang sopan terhadapnya. "Ya sudah, yuk ikut ke parkiran biar kamu ngga perlu nunggu di sini," ajaknya ramah. Naraya pun bangkit. Ia mengikuti langkah lebar pemuda itu menuju parkiran. Hatinya sedikit lega karena ia merasa terlindungi malam ini. Entah apa jadinya jika ia tak bertemu dengan pemuda baik ini. Mungkin ia akan kesusahan mencari kendaraan umum untuk pulang ke rumah. Sementara di sudut halaman mall, Narendra baru selesai menghabiskan rokok di tangannya. Matanya menangkap sosok yang sejak tadi dicarinya. Tetapi, kening Naren mengerut saat melihat pemandangan di depannya. Narendra melihat Nara turut berjalan mengikuti langkah pemuda di depannya. Rasa khawatir seketika merasuki d**a Naren yang sedang bimbang. Pemuda tampan yang bekerja sebagai kepala bengkel di sebuah dealer motor itu segera berlari dan meraih tangan Nara untuk tak mengikuti pemuda berjaket di depannya. "Auuwww!" pekik Nara saat tiba-tiba tangannya diraih oleh Narendra. Ia menggenggam erat tangan Nara. "Mau kemana kamu? Biar aku yang antar!" sahut Narendra cepat. Teriakan Nara pun membuat langkah Aksa, pemuda yang berjalan di depan Nara itu terhenti. Matanya memicing melihat sikap Narendra yang menurutnya terlalu kasar terhadap seorang perempuan. "Hei! Jangan kasar dengan perempuan!" hardik Aksa keras. "Siapa kamu? Mau kamu apakan kekasihku?" sengit Narendra tak mau kalah. "Mas, sudah! Jangan begini! Dia cuma mau nolongin aku aja!" teriak Nara sambil mencoba melepas pegangan tangan Naren yang erat menggenggam tangannya. "Kamu kenal dia sebelumnya?" sahut Naren cepat. Matanya menatap manik cokelat milik Nara dengan tajam seolah singa lapar yang siap memangsa lawannya. Garis-garis emosi di rahangnya membuat nyali Nara menciut untuk kembali berontak. "Kamu kenal?" teriak Naren sambil melirik Aksa yang mematung di belakang Nara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN