Tangis Nara

1017 Kata
BSM 15 "Kenapa begini, Mas," lirih Nara. Tangan yang sudah terangkat untuk mengetuk pintu kembali terjatuh. Kaki jenjangnya tak lagi sanggup menopang tubuhnya berdiri. Nara limbung di depan pintu ruang tamu. Ia tak sanggup menahan perihnya hati, terlebih melihat Naren masih saja peduli dengannya sekalipun sang mama telah mempermalukan dia di depan umum. "Sedikit saja perhatian dari MAs itu malah membuat hatiku makin perih, Mas." Nara terisak. Ia tak mampu menahan getaran bahu akibat isakan di dadanya. Dengan langkah cepat, Bu Fatimah berjalan ke depan setelah mendengar deru kendaraan yang melintas. Dalam hatinya, ia berharap ada Nara dan Naren di depan pintu rumahnya. Sejenak, Bu Fatimah mengintip suasana luar dari balik kelambu yang ia singkap. Namun, betapa kagetnya ia mendapati sang putri tengah limbung sambil menangis di depan pintu rumah. Ia pun segera memutar anak kunci agar sang putri bisa segera masuk ke dalam rumah. Bu Fatimah yang cemas, kini semakin khawatir melihat putrinya kembali dalam keadaan menangis, yang artinya sedang tidak baik-baik saja. Terlebih hanya ada Nara seorang diri tanpa ada Naren yang mendampingi. Dengan cepat, Bu Fatimah meraih tubuh Nara untuk dipapah menuju ruang tamu. "Kamu kenapa kok baru pulang, Nak? Tumben, ngga biasanya seperti ini." Pertanyaan Bu Fatimah semakin membuat d**a Nara berdenyut nyeri. Sekalipun Bu Fatimah tahu bahwa Nara telah melakukan kesalahan dengan pulang terlambat, ia tak sedikitpun emosi. Pasti ada alasan dibalik telatnya sang putri kembali pulang. Nara pun terduduk lemas di kursi ruang tamu. Ia tak tahu harus memulai dari mana untuk bercerita pada Ibunya. "Ada apa, Nak?" tanya Bu Fatimah karena Nara masih saja membisu. Tangannya mengusap punggung Nara lembut dan penuh kasih. Rasa sayang mengalir dari telapak tangannya untuk menguatkan sang putri. Dada Nara tiba-tiba kembali sesak. Napasnya tersengal dengan air mata yang perlahan merembes dari sudut matanya. Ia membayangkan cintanya yang kandas dengan Narendra. Usaha yang telah diupayakan selama ini berakhir sia-sia. Nara menelungkupkan kedua tangannya untuk menutupi wajahnya yang basah. Sang Ibu yang paham bahwa anaknya sedang tak baik-baik saja, segera memeluk Nara dengan penuh kasih. Ia tak buru-buru meminta penjelasan. Bu Fatimah lebih memilih menunggu Nara hingga napasnya kembali normal. Bu Fatimah yang sabar, mau mengerti kondisi putrinya malah membuat Nara tak tega untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya. "Ada yang mau kamu ceritakan dengan Ibu, Nak?" tanya Bu Fatimah setelah beberapa saat, kondisi Nara mulai membaik. Isak tangisnya sudah mereda. Suara lembut Bu Fatimah kembali membuat Nara terisak. "Mas Na-Ren, Bu," ucap Nara terbata. Jari-jari lentiknya sesekali mengusap air yang masih merembes dari sudut matanya. Mata Bu Fatimah menatap Nara penuh tanda tanya. Meskipun begitu ia tetap diam menunggu Nara melanjutkan ceritanya. "Mas Naren dilarang Mamanya untuk dekat denganku. Kami ketahuan jalan di mall tadi. Mamanya marah, Mas Naren diminta untuk menikah dengan gadis pilihannya," ungkap Nara lirih. Pandangan matanya kosong. Dadanya bak tengah diremas-remas. Bu Fatimah mengusap rambut Nara yang berantakan akibat tangisannya. Ia menatap mata Nara yang menunduk tak berani menatap mata Ibunya. "Semuanya berproses, Nak. Yang penting kamu sudah berusaha mengambil hati orangtua Narendra. Kalau usaha kamu tak lagi dihargai oleh mereka ya sudah, kamu tak usah mengharapkannya lagi. Berarti dia bukan jodohmu," lirih Bu Fatimah. Ia berusaha menenangkan hati Nara yang kalut. "Tapi Nara cinta sama Mas Naren, Bu. Hubungan kami sudah lama, Nara terlanjur jatuh cinta sama dia. Nara ngga bisa hidup tanpa dia, Bu," isak Nara lagi. Air mata itu rasanya tak akan bisa berhenti mengalir. Sejak kedatangannya di rumah, matanya terus saja mengeluarkan air mata. Pemandangan di depan mata Bu Fatimah itu membuatnya Iba. Ia ragu hendak menjelaskan penyebab semua yang menimpanya itu. Bu Fatimah hanya mampu menghela napas dalam dan panjang. Ia merasa bersalah bahwa anaknya harus turut merasakan dampak kejadian dimasa lalu yang menimpa dirinya. "Ibu, huuhuuhuu," isakan Nara berubah menjadi tangisan kencang. Bu Fatimah hanya mampu memeluk putrinya itu dalam diam. Dalam hatinya, ia tak henti meminta maaf pada Nara. "Sudah cukup sedihnya, Nak. Masih ada lelaki lain yang baik, yang akan menggantikan posisi Narendra di hati kamu," lirih Bu Fatimah. "Jadi, Ibu juga tak merestui hubunganku dengan Mas Naren? Ibu jahat!" teriak Nara. Ia lantas bangkit dari duduknya dan berlari menuju kamar tidurnya tanpa memperdulikan sang Ibu yang matanya penuh dengan serpihan kaca. Esok pagi di kediamannya, Narendra sedang diliputi rasa amarah yang memuncak. Ia bak pesakitan yang sedang berjuang mendapatkan keadilan. "Ma, Naren cinta sama Nara! Kenapa Mama begitu bersikukuh tak mau menerima Nara?" Naren menuntut jawaban Bu Sarah. Ia bukan lelaki bodoh yang dengan asal menerima keputusan yang orangtuanya berikan tanpa alasan yang jelas. Meskipun sebenarnya Naren sudah paham sebab penolakan Bu Sarah, ia ingin mendengar langsung dari mulut Bu Sarah. Bu Sarah hanya mampu menghela napas dalam. Sebab ia pun tak berani mengungkapkan alasan sesungguhnya penolakan yang ia berikan pada kekasih Naren itu. Tak ada alasan yang cukup meyakinkan untuk menolak selain strata sosial antara keduanya yang sebenarnya bukan hal besar. Namun itu sengaja dijadikan senjata oleh Bu Sarah agar terdengar masuk akal di telinga anak lelakinya. "Dia hanya anak tukang jahit, ngga cocok sama keluarga kita. Malu dong Mama kalau punya besan penjahit gitu. Berbeda dengan keluarga Fara yang terpandang," sanggah Bu Sarah. Ia tak berani menatap mata sang putra. Bu Sarah sok sibuk menikmati makanan di hadapannya. "Penjahit juga pekerjaan halal, Ma. Naren tidak suka dengan Fara! Jangan paksa Naren untuk dekat dengannya!" Naren menyangkal. Ia lalu bangkit dari kursi meja makan yang menjadi tempat perdebatan keduanya. Narendra mengambil segelas air putih dari dispenser yang berada di sebelah meja makan. Ia lalu kembali duduk di kursi yang bersebelahan dengan Mamanya. Anak tunggal Bu Sarah tersebut meneguk air putih itu dengan rakus, berharap dinginnya air itu bisa mendinginkan hati dan pikirannya. Bu Sarah dengan asiknya menikmati sepiring roti berlapis telur yang menjadi menu sarapan keduanya. Ia tak peduli dengan tingkah Naren yang tengah mencari alasan agar ia mau menerima kekasih putranya sebagai menantu di keluarga mereka. Dering ponsel membuyarkan pikiran Naren yang tengah mencari cara untuk meluluhkan hati Bu Sarah. Ia ingin saat bertemu dengan Nara setelah kejadian kemarin, hatinya terasa lega. Tangan Narendra segera membuka pesan itu dan melihat isinya. Betapa hati Naren terkejut melihat gambar yang dikirim oleh Nara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN